Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 250)

Rabu, 07 September 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang    

   

ABANG sama Aris semangat bener olahraga sambil ngobrolnya. Sampai-sampai aku panggil dari tadi nggak respon juga,” kata Gerry, begitu aku dan Aris masuk kantin dan duduk di kursi panjang bersamanya.


“Sekali mendayung, dua tiga pulau dilalui, Gerry. Kan olahraga bareng babe bisa sambil tuker pikiran. Makanya pandangan kami nggak kemana-mana,” sahut Aris, seraya tersenyum. 


“Emang apa sih yang diobrolin?” tanya Gerry, setelah memesankan aku dan Aris air mineral botol dan siomay goreng.


“Yah, sebenernya sih hal klise aja. Karena kita lagi ditahan, anak-anak sering kena bully kawan-kawannya di sekolah. Sampai anakku pengen pindah sekolah karena nggak tahan,” ujar Aris.


“Oh, sama dong. Anakku juga ngalami kayak gitu. Tapi istriku langsung protes ke pihak sekolah. Kalau yang nge-bully nggak disanksi, dia mau pindahin anakku. Akhirnya ditengahi oleh pihak sekolah. Orangtua yang nge-bully ditemuin sama istriku. Mereka minta maaf dan janji nggak akan lagi anaknya berbuat yang sama. Clear sudah,” kata Gerry, panjang lebar.


“Jadi bagusnya, istriku temui kepala sekolah ya. Sampein komplain soal adanya aksi bully itu. Kalau nggak ada tanggepan positif, baru ambil langkah lain. Gitu kali ya,” ucap Aris, dengan hati-hati. 


“Bener, gitu, Ris. Itu yang dilakuin istriku. Sekarang anakku sudah sekolah kayak biasa lagi,” tanggap Gerry.


“Assalamualaikum. Selamat pagi, adek haji,” sebuah suara khas yang sangat ku kenal, menyapaku dari arah belakang. Saat itu, posisiku memang duduk membelakangi pintu masuk kantin.


“Waalaikum salam, abah,” sahutku, dan langsung bangun dari kursi untuk menyalami napi senior yang dituakan di rutan ini.


Gerry dan Aris juga ikut bangun dan menyalami Abah. Saat itu, pria berpostur tinggi besar yang sebentar lagi akan bebas itu, datang ke kantin seorang diri.


“Duduk sini aja, abah. Kita bergabung,” ajakku, seraya menarik kursi untuk ditempati Abah.


“Kok sendirian, abah? Tumben?” tanya Gerry.


“Pengen jugalah sesekali abah jalan sendirian. Jadi bisa kongkow sama kawan-kawan yang lain kayak gini,” sahut Abah, seraya tersenyum. 


Gerry memanggil tamping kantin. Diminta memesankan makanan dan minuman yang diinginkan Abah.


“Ada nasi uduk jengkol goreng nggak. Sama susu coklat hangat,” kata Abah kepada pelayan kantin. 


“Ada, abah. Itu aja pesennya. Apa masih ada yang lain,” jawab tamping pelayan kantin.


“Tambah air mineral botol sama rokok aja. Sudah cukup itu,” kata Abah lagi.


Sesaat,  kami sama-sama diam. Seakan saling menunggu siapa yang akan memulai pembicaraan. 


“Adek haji ini rupanya sering olahraga ya. Tadi abah ngobrol sama sipir di pos. Dia bilang, pak Mario itu tiap pagi pasti jogging di lapangan,” Abah memulai obrolan.


“Nggak setiap pagi juga, abah. Tapi memang sering. Ya, jaga kesegaran badan aja. Biar nggak gampang sakit,” sahutku.


“Jaga kebugaran badan emang penting disini. Kita nggak ngelihat aja, kalau sebenernya disini tempat kumpulnya berbagai virus penyakit. Makanya pas, kalau adek haji dan kawan-kawan rajin olahraga. Biar badan tetep imun ngadepin virus,” lanjut Abah.


“O iya, abah. Ngomong-ngomong mana pengawal yang selama ini selalu sama abah. Biasanya, mereka langsung nyusul kalau abah sudah cukup lama di kantin,” ucap Gerry, mengalihkan pembicaraan.


“Sekarang abah mah jalan sendiri aja, Gerry. Nggak punya pengawal lagi. Sudah abang limpahin ke adek haji buat ngurus mereka,” kata Abah dengan nada sedikit geram.


“Maksudnya dilimpahin ke bang Mario buat ngurus mereka, gitu ya, abah?” tanya Gerry. Penasaran.


“Iya, sejak beberapa hari lalu, 12 anak-anak binaan abah sudah diserahin ke adek haji ini. Sekarang, abah nggak punya pengawal atau anak buah lagi,” lanjut Abah, seraya menatapku.


“Kami semua kan anak buah abah. Mereka-mereka yang kemarin, juga tetep anak buah abah. Nggak ada yang berubah. Hanya, abah suruh aku buat mastiin pembinaan untuk mereka aja,” tanggapku dengan hati-hati. 


“Jadi, Danil dan kawan-kawan sekarang koordinasinya sama bang Mario ya, abah?” kembali Gerry bertanya.


“Iya, semua ditangan adek haji inilah. Terserah dia, mau diapain itu anak-anak. Cuma abah seneng, dapet kabar kalau Danil sama Jhon sudah masuk majelis taklim. Kagum abah sama adek haji,” kata Abah, dengan tersenyum.


“Apa? Danil sama Jhon masuk majelis taklim? Nggak salah, bang?” ucap Gerry penuh keheranan. Sambil menatapku.


“Iya, Alhamdulillah. Sejak kemarin sore, mereka berdua sudah gabung di majelis taklim. Abah sudah denger ya kabar soal ini? Padahal, aku baru mau lapor,” kataku.


“Jarum jatuh di rutan ini aja abah pasti tahu, adek haji. Apalagi sepak terjang bekas anak buah. Pasti terpantau,” sahut Abah, seraya tersenyum.


“Sekalian lapor ini, abah. Danil dan Jhon memang maunya ke majelis taklim itu. Nanti Iwan dan yang lain-lain mau buka asongan,” kataku, yang langsung dipotong oleh Abah.


“Adek haji nggak usah sampein rencana apa buat mereka. Jalan-jalani aja. Abah yakin, niat dan jalurnya nuju kebaikan. Nggak semua rencana kita perlu disampein ke orang lain. Karena buat yang nggak suka, dia akan dengan berbagai cara buat ngegagalinnya,” tutur Abah dengan suara serius.


Aku terdiam. Hormat atas sikap hati-hati dan waspadanya abah dalam melakoni kehidupan di rutan ini. 


“Kalian mesti cermat-cermat hidup di rutan ini. Karena senyuman pun memiliki banyak saku. Begitu istilahnya,” ujar Abah, beberapa saat kemudian.


“Maksudnya gimana, abah?” tanya Aris yang sejak tadi hanya menjadi pendengar.


“Ya, istilahnya, senyuman disini punya banyak saku atau makna. Di salah satu saku senyumannya, seseorang itu menaruhkan perasaan pura-pura kuat dan baik-baik saja. Pada saku yang lain, senyuman itu ekspresi dari pura-pura bahagia dan ngedukung rencana kita. Dan di sisa saku senyuman lainnya, bisa saja menyimpan beragam air mata,” ujar Abah, panjang lebar.


“Maksudnya, supaya kita jangan pernah gegabah atau lengah ya, abah,” kata Aris, menyela. 


“Selalu waspada dan muhasabah, itu yang utama. Teruslah tebar kebaikan dan kelembutan. Jauhi perilaku kasar dan arogan. Istilah abah; diam bersama kesabaran. Tapi, selalu siap tempur dengan kejam dan ganas, jika sudah tidak ada pilihan,” lanjut Abah, dengan suara tegas. 


Suara mengaji dari masjid, terdengar dengan kencangnya. Tersadarlah kami semua, bila pelaksanaan solat Jum’at segera akan berlangsung. Setelah membayar semua makanan dan minuman, kami pun bersalaman. Meninggalkan kantin untuk kembali ke kamar masing-masing. 


Kecuali Abah. Tokoh napi senior itu, hanya bergeser tempat duduk saja. Kali ini, ia memilih kursi paling sudut. Sambil setengah merebahkan badannya di kursi kayu, ia tampak kembali asyik menyedot rokok ditangannya. Dari mulutnya terdengar celetukan pelan: ada waktu untuk berharap, dan ada waktu untuk berhenti. (bersambung)

LIPSUS