Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 259)

Jumat, 16 September 2022


Oleh, Dalem Tehang 

     

AYAH nggak usah khawatirin kami ya. Cukup doain. Yakin aja, bunda, mbak dan adek pasti kuat jalani semua ini. Ada Allah yang selalu bersama kami,” kata Bulan, sambil tetap menatap mataku tajam-tajam.


“Terimakasih, nduk. Ayah bangga sama kamu, juga bunda dan adek. Kalian benar-benar orang yang tangguh dan teruji,” sahutku, dan memeluk Bulan.


Suara adzan Dhuhur terdengar dari masjid. Pertanda waktu untuk kunjungan pun selesai. Istriku sempat memberi sejumlah uang, namun aku menolaknya.


“Bunda pegang aja, ayah belum ada perlu-perlu amat saat ini,” kataku, dan merangkulnya.


“Tapi kan ayah tetep perlu pegangan. Kalau ada yang ndadak-ndadak,” sahut istriku, Laksmi.


Aku hanya menggelengkan kepala. Aku tahu persis betapa pontang-panting istriku mencukupi kebutuhan keluarga. Menjadi pencari nafkah yang utama. Termasuk mengurus semua kebutuhanku. Hingga ia singkirkan semua hal yang menjadi kepentingan pribadinya.


“Bunda terus jaga kesehatan ya. Ayah selalu doain dan sayangi bunda,” ucapku, sambil memeluk erat istriku Laksmi.


Lama kami berpelukan. Ia menaruhkan kepalanya di bahuku. Kedua tangannya terus mendekapku, erat. Ada senandung keharuan mengakun begitu pelan di dalam batin istriku. 


Ku angkat wajahnya. Ku tatap matanya. Tetap bercahaya. Sayu memang, namun tetap ada sinar kuat dibaliknya. Istriku memang wanita yang tangguh. Ku cium bibirnya. Merekah. Aku rindu akan semua kehangatan kasihnya.


“Ayah, doain mbak terus ya. Mbak sebenernya nggak punya kekuatan selain kekuatan doa, dan nggak punya harapan selain Kun Fayakun-nya Allah. Bunda-lah yang selama ini terus memotivasi,” ujar Bulan, saat berpamitan. 


Tanpa mengucap apapun, segera ku peluk anak gadisku satu-satunya itu. Aku yakin, ia bisa merasakan betapa besar rasa sayang dan bangganya aku pada dia. 


Saat giliran Halilintar yang berpamitan, cah ragil-ku itu hanya memandangiku, baru kemudian mengambil tanganku dan menciumnya. Cukup lama ia cium tanganku. Seakan tengah menghisap kekuatan yang tengah tersalur disana.


“Ayah, jangan beratin adek ya. Tenang aja, tugas jaga bunda dan mbak, pasti adek jalani. Yang adek selalu pengenin adalah doa ayah. Tolong jangan pernah lupa doain adek setelah solat ya,” kata Halilintar dengan menatap mataku.


Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku. Menyahuti permintaan anak bungsuku itu. Dan setelahnya, ku peluk erat badannya. Seakan ingin menyatukan kedua tubuh kami. Wajahnya ia selusupkan ke dadaku. Aku paham, ia tetap membutuhkan kehadiranku sebagai payung dalam ia merangkai kehidupannya.


“Mas, saya sama dek Azka pamit ya. Kami terus doain mas. Jangan beratin apapun yang terjadi. Serahin bulat-buat semuanya kepada Allah. Dalam kondisi seperti ini, saat yang tepat untuk meninggalkan harapan kepada makhluk, siapapun dia,” kata adikku Mohan. Dan kemudian, kami pun berpelukan. 


Selepasnya, Azka mendekat. Dan kami pun berpelukan dengan cukup lama. Ia sempat terperangkap dalam suasana keharuan yang memang begitu mendera jiwa. Hingga sebulir air menetes dari matanya.


Aku antar istri, anak-anak dan adik-adikku sampai mereka akan masuk pintu gerbang ke ruangan P-2-O. Sambil menunggu pintu gerbang dibuka akibat antrian yang cukup panjang, terus ku peluk istriku. Ia juga menyandarkan kepalanya di bahuku. 


“Ayah jangan sakit-sakit ya. Bunda sedih kalau ayah sampai sakit. Jaga makannya. Jaga istirahatnya. Terutama jaga keseimbangan jiwa dan pikiran ayah,” ucap istriku setengah berbisik, sambil terus menaruhkan kepalanya di bahuku.


“Iya, pesen bunda pasti ayah jalani. Bunda juga imbangi waktu buat istirahatnya ya. Anak-anak selalu perluin bunda. Dan sekarang, bunda jadi segalanya buat mereka,” jawabku, juga dengan setengah berbisik.


Sekira 20 menit mengantri, barulah giliran istri, anak-anak dan adik-adikku bisa masuk pintu gerbang ruangan P-2-O. Kembali kami berpelukan, sesaat sebelum mereka masuk ke ruang pemeriksaan akhir, dan setelahnya keluar melalui pintu gerbang utama untuk sampai ke tempat parkiran kendaraan. 


Ketika aku masuk ke pos penjagaan luar, ternyata komandan pengamanannya adalah sahabatku. Yang mengurusku sejak pertama kali masuk rutan.


“Kok besukannya di ruang kunjungan umum, pak. Tetep ajalah pakai ruangan di kantor,” kata dia, begitu aku menyalaminya.


“Anak-anak yang pengen berbaur dengan sesama keluarga tahanan, dan. Nurut mereka, lebih enjoy. Ini juga baru dua kali kami besukannya di ruang kunjungan umum itu,” jawabku, seraya tersenyum.


“O gitu. Padahal lebih privacy kalau di ruangan kantor. Dan nggak perlu umpel-umpelan,” lanjut komandan pengamanan rutan itu.


“Gimana nyamannya anak-anak aja, dan. Yang penting kan tetep bisa ketemu,” kataku, dan kemudian berpamitan untuk kembali ke kamar.


Ketika kakiku memasuki kawasan steril setelah pintu gerbang kawat dibuka sipir, tampak Ino dan pak Sibli baru meninggalkan masjid. Menuju ke jalur yang aku lalui. 


“Habis besukan ya, bang. Gimana kabar keluarga? Sehat semua ya,” kata pak Sibli begitu posisi mereka sudah dekat denganku. Yang memang menghentikan langkah untuk menunggu mereka. 


“Alhamdulillah, pak. Istri dan anak-anak sehat semua. Bahkan enjoy aja. Tadi juga dateng dua adik kandungku. Alhamdulillah,” sahutku. 


“Syukurlah bang. Yang penting keluarga sehat. Mohon maaf atas kejadian tadi malem ya, bang. Untung ada abang, kalau nggak, bisa panjang kasus semalem. Terimakasih banyak atas perlindungannya, bang,” ujar pak Sibli dan menepuk-nepuk bahuku.


Sambil jalan bertiga menuju pos penjagaan dalam, aku sampaikan bila seharusnya yang berhak mendapat ucapan terimakasih itu adalah sipir Mirwan. Karena dialah yang menangani persoalan dan langsung menyelesaikannya tanpa bertele-tele.


“Iya, kalau pak Mirwan piket, aku pasti temui dia, bang. Banyak emang jasa dia. Tapi apapun juga, berkat abang-lah semuanya langsung clear,” sambung pak Sibli.


Sesampai di pos penjagaan dalam, aku melaporkan diri dan menaruhkan sejumlah uang di kotak. “Uang sepemahaman”, sebagai wujud kebersamaan karena telah mendapat kesempatan menerima besukan keluarga. 


“Kok om taruh uang juga di kotak itu, ngapain lagi? Toh, semua sipir yang di dalem juga kenal om,” kata Ino, setengah protes.


“Ino, kita nunjukin saling pengertian atau sepemahaman itu, justru karena saling kenal. Hal sederhana semacam itu, bakal nguatin pertemanan. Lagian, niatin aja sedekah, apa yang kita taruh di kotak itu,” kataku seraya tersenyum.


“Bener juga ya, om. Kalau diniatin sedekah, dapet dua nilai kita. Baik di mata sipir yang jaga, dan dicatet malaikat sebagai pahala juga,” ucap Ino dengan cepat.


Sambil meneruskan langkah menuju pintu utama Blok B, pak Sibli menawari kami untuk makan siang di kantin. Namun aku menolak dengan halus tawarannya. Selain karena sudah makan bersama keluarga di ruang kunjungan beberapa saat yang lalu, juga aku belum dhuhuran. (bersambung)

LIPSUS