Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 260)

Sabtu, 17 September 2022


Oleh, Dalem Tehang  

    

SETELAH solat Dhuhur di kamar, baru aku membuka tiga kantong plastik yang diantarkan tamping dari bawaan istriku. Selain berisi pakaian harian, juga ada beberapa lauk makan, panganan cemilan, vitamin dan cairan pembersih kuman untuk disebar di bak mandi.


Satu kantong plastik lainnya berisikan roti dalam berbagai bentuk dan rasa. Serta beberapa minuman kaleng. Juga ada tiga bungkus rokok, yang dibungkus secara terpisah. Aku meyakini, semua ini merupakan buah tangan kedua adik kandungku.


Aku minta Rudy untuk segera makan dan meminum obat yang ia dapat dari poliklinik. 


“Om nggak mau makan?” tanya Rudy, sambil membuka catering dapur.


“Sudah makan tadi bareng-bareng di tempat besukan. Kamu makan yang banyak dan langsung minum obatnya lo, Rud. Baru dibawa istirahat lagi,” kataku.


Seusai merapihkan pakaian dan berbagai makanan di tempatnya masing-masing, aku merebahkan badan. Ingin tidur siang. Namun, belum lagi bisa memejamkan mata, terdengar suara gaduh dari sebuah kamar di lantai atas.


Buru-buru aku bangkit dari rebahan dan keluar kamar. Saat itu, ada beberapa tahanan yang tampak tengah membopong seorang tahanan lain. Keluar dari kamarnya dan menuruni tangga untuk kemudian setelah melalui pintu masuk Blok B, dilarikan ke poliklinik.


“Kenapa orang tadi, Rud?” tanyaku, saat melihat Rudy akan kembali ke kamar.


“Kata kawan-kawan di kamarnya, ndadak jatuh di kamar mandi, om. Dan langsung nggak sadar. Makanya, buru-buru dibawa ke poliklinik,” kata Rudy.


Aku tidak tertarik untuk mengetahui lebih jauh peristiwa yang baru saja terjadi. Karena setiap pekan, hampir bisa dipastikan, ada saja tahanan yang mendadak sakit. Dan membuat geger. Bahkan, pekan silam, seorang tahanan kejang-kejang di kamarnya pada tengah malam dan langsung meninggal dunia tanpa sempat dilakukan penanganan medis.


Aku pun kembali ke kasur. Merebahkan badan dan tidur. Rudy juga menaruhkan badannya di dekatku. Beralas kasur tipisnya. Sinar matahari yang tidak terlalu terik, membuat kami nyaman beristirahat siang. Sampai kemudian terdengar suara adzan Ashar.


Melihat Rudy masih tidur nyenyak akibat pengaruh obat yang diperolehnya dari poliklinik, aku urung membangunkannya untuk berjamaah di masjid. Perlahan aku keluar kamar. Sendirian. 


Ketika menyelusuri selasar untuk sampai ke masjid melalui bagian samping, beberapa anggota majelis taklim tengah berjalan dengan terburu-buru. Hingga salah satunya menabrakku.


Hampir saja aku terjatuh bila tidak cepat memegang tiang penyangga selasar. Melihatku nyaris jatuh, pria berbadan kurus yang menabrakku itu hanya menengok. Sesaat. Dan kemudian melanjutkan jalan cepatnya. Seakan tidak terjadi apa-apa.


Melihat perilaku pria itu, aku hanya tersenyum dan beristighfar di dalam hati. Semakin ku sadari, untuk terus memaksa diri berendah hati. Memaksa hati untuk tetap dingin. Memaksa pikiran untuk tetap dalam keterkendalian.


Seusai mengikuti solat berjamaah, aku tidak segera beranjak keluar masjid. Tetapi ingin mendengarkan kultum ustadz Umar. Petang itu, dosen sebuah perguruan tinggi ini, mengupas soal iman.


Menurut dia, seorang hamba tidak akan menggapai hakikat iman kecuali setelah menganggap musibah sebagai nikmat, dan nikmat sebagai musibah. Tidak peduli dengan dunia yang dinikmati, dan sama sekali tidak ingin mendapatkan pujian karena ibadah kepada Allah yang ia kerjakan.


“Pada saat manusia sama-sama sehat, maka mereka sejajar dalam iman. Namun ketika bencana menimpa, tersingkaplah siapa yang benar-benar kokoh imannya,” lanjut ustadz Umar.


Ia menambahkan, kalbu tidak akan tenang kecuali dengan iman dan yakin. Dan tidak ada jalan untuk meraih kemenangan serta keyakinan, kecuali dengan Alqur’an. 


“Jika kita dalam kebingungan menghadapi kehidupan ini, beristighfarlah. Karena istighfar termasuk yang dengannya Allah bukakan jalan untuk hamba-Nya,” imbuh ustadz Umar.


Mengakhiri kultumnya, koordinator majelis taklim kompleks rutan ini, menyatakan, langit tidak selamanya cerah, namun langit yang gelap justru mendatangkan kesejukan, dengan lebih mendekat kepada Allah.


Sekeluar dari masjid, aku berdiri di selasar. Menonton kawan-kawan yang tengah bermain bola volly. Aku melihat Aris dan Dika ikut dalam satu tim yang sedang bermain. Sempat terbetik keinginan untuk ikut bermain volly. Namun aku urungkan. Aku lebih memilih jogging berkeliling lapangan sepakbola.


Setelah menaruh kain sarung dan kupluk di kamar, serta mengganti baju koko dengan kaos tanpa lengan, aku kembali ke halaman. Memulai jalan mengelilingi lapangan. Berbaur dengan belasan orang lainnya yang juga sedang berolahraga pada senja itu.


Ketika senja mulai menghilang, petugas di pos penjagaan dalam memukul kentongan. Berkali-kali. Dengan kencang. Pertanda seluruh penghuni rutan wajib kembali ke kamar masing-masing. 


Sambil menyelempangkan kaos di pundak, aku berjalan memasuki pintu utama Blok B. Pada saat bersamaan, Aris dan Dika juga masuk.


“Eh, babe habis olahraga juga rupanya. Tumben sore cari keringetnya. Biasanya pagi,” kata Aris menyapaku. 


“Lagi pengen aja, Ris. Kayaknya badan agak kurang fit, makanya ku bawa bergerak. Biar nggak keterusan rasa kurang enaknya,” sahutku, dengan enteng.  


“Bener itu, bang. Apalagi katanya Rudy lagi demam ya. Abang harus minum vitamin juga lo. Jangan sampai virusnya malah ngenain abang,” kata Dika, menyela. 


“Kalau babe nggak ada vitamin, nanti aku kirim ke kamar. Di kamar kami ada enam orang yang lagi demam, batuk, dan flu. Makanya aku sama Dika ngejaga bener kondisi badan,” ujar Aris.


“Aku punya vitamin kok, Ris. Tadi ayukmu juga kasih tambahan vitamin buat stamina. Yang penting, jaga makan, jaga pikiran, dan jaga kebersihan kamar aja. Inshaallah kita terjaga dari penyakit yang lagi seliweran di rutan ini,” kataku kemudian.


“O iya, bang. Tadi mantan tunanganku dateng. Dia kasih gula aren. Banyak kasihnya. Nanti aku kirim ke kamar ya,” ucap Dika dengan senyum sumringah.


“Aku kan minumnya nggak pakai gula, Dika. Kopi pahit atau teh pahit aja. Kasih ke kawan lain yang suka minum manis aja kalau emang banyak kirimanmu,” kataku.


“Sayanglah kalau dikasih ke orang lain, bang. Enakan buat stok kami aja,” tanggap Dika, sambil tertawa. 


“Jangan pelit-pelit, Dika. Kalau sudah niat mau sedekah, ya lakuin. Kan nggak mesti ke aku. Kirim aja ke kamar bos di 25. Pasti dia seneng,” kataku lagi. 


“Nah, bener itu, Dika. Bos pasti seneng kamu kasih gula aren. Lagian, selama ini kan kita sering pakai hp-nya. Anggep-anggep berbalas budi,” ujar Aris, dengan cepat.  


Dika hanya tersenyum. Tanpa makna. Dan tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Aku dan Aris berpandangan melihat tingkah Dika, seraya tersenyum. (bersambung)

LIPSUS