Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 261)

Minggu, 18 September 2022


Oleh, Dalem Tehang 

    

SUARA adzan Maghrib menggema. Seakan memayungi seluruh kompleks rutan yang berpenghuni 1.300-an orang itu. Puluhan orang berduyun-duyun menuju masjid. Pun belasan sipir. Meninggalkan semua aktivitas untuk bersujud kepada Sang Pencipta.


“Om, aku belum ke masjid ya. Solat di kamar aja. Masih sering gregesan ini badan. Ditambah kliyengan,” kata Rudy, ketika melihatku memakai kain sarung.


“Ya sudah. Nggak usah dipaksain ke masjid juga, Rud. Yang penting tetep solat,” sahutku, dan bergegas keluar kamar untuk mengikuti jamaahan di masjid. 


Sekembali dari masjid, tampak Dino, Basri, dan beberapa tamping sedang berbincang di kursi taman depan kamar. Sekelebat aku mendengar rencana mereka untuk menangkapi puluhan burung dara malam nanti. 


Aku teringat perkataan sipir Mirwan, kemarin malam. Bila pada Sabtu malam Minggu, akan dilakukan pembersihan terhadap semua burung tersebut. Karena diindikasikan menjadi sarana penyusupan kiriman narkoba jenis sabu-sabu.


Namun aku tidak menghentikan langkah. Terus masuk ke kamar. Dan naik ke lantai tempat tidur. Seusai merapihkan seprai, sarung bantal, juga guling, dan membersihkannya dengan menggunakan sapu lidi, aku mengambil Alqur’an. Membuka kitab suci. Membaca satu ayat diteruskan dengan memahami maknanya. Begitu seterusnya. Hingga adzan Isya berkumandang.


Kembali aku keluar kamar, untuk solat berjamaah di masjid. Pada saat memasuki ruang pintu masuk blok, aku bertemu dengan beberapa tahanan yang selama ini menjadi tamping, juga akan ke masjid.


“Seneng aku sama om ini, selalu ke masjid pas waktu solat. Jujur, karena ngelihat om inilah aku termotivasi buat solat ke masjid,” kata Udin, tamping kebersihan yang sehari-hari juga usaha asongan rokok. 


“Alhamdulillah. Ya, mau ngapain juga kita disini kalau nggak ke masjid, din. Kan nggak ada gawean juga,” sahutku seraya tersenyum.


“Ngomong-ngomong, kalau om punya baju koko yang sudah nggak dipakai, aku mau lo. Bajuku cuma satu inilah buat solat. Selainnya kaos semua, ada lima potong,” ucap Udin, melanjutkan.


“Ada, nanti aku kasih ke kamu, din. Yang penting baju atau kaos itu bersih. Suci. Nggak harus baru atau bagus juga,” kataku.


“Terimakasih sebelumnya ya, om. Kalau om perlu rokok, ambil aja. Catet sendiri aja di buku yang ada disana,” ujar Udin, dengan wajah serius.


“Iya, nanti kalau rokokku habis, aku bilang ke kamu. Terimakasih sebelumnya juga ya, din,” kataku lagi.


Selepas jamaahan Isya, dengan terburu-buru aku kembali ke kamar. Saat memasuki pintu blok, langkahku terhenti. Ada enam sipir sedang berbincang serius dengan Dino dan Basri. 


“Silahkan lanjut aja, pak. Kami lagi ada obrolan sedikit,” kata Basri, mempersilahkan aku melanjutkan langkah menuju kamar.


Sesampai di kamar, Rudy tengah duduk di kursi ruang depan. Tampak ia baru selesai makan malam, juga meminum obatnya. Piring dan gelas yang baru digunakannya, masih tergeletak di meja. 


“Gimana rasa badanmu, Rud? Sudah mendingan?” tanyaku.


“Alhamdulillah, om. Lebih baikan emang. Cuma kadang, masih gregesan gitu. Heran juga, kok demamnya nggak hilang-hilang,” kata Rudy, dengan santai.


“Entengin pikiran aja, Rud. Yakini kalau kamu segera sembuh. Yang penting, jaga makan dan minum obatnya. Istirahat aja dulu. Urusan kamar nggak usah dipikirin,” kataku lagi.


“O iya, om. Tadi Rudy denger, om Dino sama om Basri dan sipir sama tamping, lagi rencanain mau nangkepin burung dara, seperti yang disampein pak Mirwan waktu itu. Om dikasih tahu nggak,” ujar Rudy, beberapa saat kemudian.


“Iya, om juga tahu kok, Rud. Ya biar aja mereka lakuinnya. Ngapain juga kita ikut nimbrung kalau nggak diajak. Nambah-nambah urusan aja,” jawabku, santai.


“Jadi om nggak dikasih tahu, apa diajak ya,” kata Rudy, dengan cepat.


“Nggak, Rud. Ya nggak apa-apa. Om malah seneng, nggak nambah-nambah urusan. Lagian, nggak gampang nangkepin burung dara itu. Mereka kan posisinya rata-rata di teras kecil lantai atas itu. Salah-salah ngelangkah, malahan jatuh ke tanah,” sahutku.


“Jadi sekarang, om mau ngapain?” tanya Rudy, seraya menatap wajahku dengan serius.


“Mau nulis. Kalau laper, nanti ngemilin roti aja. Terus tidur,” kataku, sambil tersenyum.


“Aneh om ini. Orang lagi mau pesta daging burung dara, malahan tidur,” celetuk Rudy.


“Yang pesta ya biar pestalah, Rud. Yang penting kan nggak saling ganggu,” kataku dengan cepat.


Sesaat kemudian, aku telah duduk di atas kasur. Sebuah buku dan pulpen ada di depanku. Disamping kasur, ku taruh satu kaleng minuman susu dan satu bungkus roti. Juga terdapat satu bungkus rokok berikut korek serta asbaknya.


Aku isi malam Minggu dengan menuliskan seluruh aktivitas harian dan peristiwa yang terjadi di rutan hari ini. Begitu terfokusnya aku dengan kegiatan yang menjadi hobiku ini, sehingga tidak menyadari bila ada seseorang yang telah duduk sekitar satu meter dari tempatku, sejak beberapa saat yang lalu. Hingga kemudian ia berdehem. Barulah aku menengokkan wajahku.


“Masyaallah, kamu Mirwan. Ngagetin aja. Sudah lama ya,” kataku kepada sipir Mirwan yang tengah duduk santai di dekatku.


“Om ini emang luar biasa ya. Kalau lagi konsentrasi sama sesuatu, nggak peduli dengan lingkungan mau kayak apa. Jangan-jangan ada bom meledak juga, om nggak kepengaruh,” tutur Mirwan, sambil tertawa. 


“Namanya lagi lakuin sesuatu yang kita sukai itu, emang gesahnya beda, Mirwan. Sepenuh hati dan pikiran. Nggak bisa diukur sama keramaian yang ada di sekeliling,” jelasku, juga sambil tersenyum. 


“Itu kawan-kawan sudah pada mau bergerak nangkepin burung dara, om mau ikutan nggak,” ucap Mirwan, kemudian.


“Nggaklah, Mirwan. Om di kamar aja,” balasku, singkat.


“Nunggu kiriman dagingnya aja ya, om,” lanjut Mirwan, sambil tertawa.


“Ya gitu sih maksud om. Itu juga kalau ada yang ngirim. Kalau nggak juga, ya nggak masalah. Namanya rejeki, kan emang sudah ada yang ngatur,” ujarku, juga tersenyum. 


Terdengar suara aktivitas di luar kamar. Cukup ramai dengan gerakan maupun perkataan berisi perintah dan arahan. Juga sesekali terdengar suara tawa.


“Aku keluar dulu ya, om. Ngelihat kawan-kawan nangkepin burung daranya. Karena malem ini, semua harus habis. Besok pagi kepala rutan pasti sidak. Kalau ada yang masih keliaran, bisa kena amuk kami dan kita semua,” kata Mirwan, dan beranjak meninggalkan tempatku. 


Sepeninggal Mirwan, aku kembali konsentrasi pada kegiatanku sendiri. Menulis. Tiba-tiba, tanganku bergerak sendiri. Menorehkan rangkaian kata: sibuk terberat adalah taat, dan taat terberat adalah sabar terhadap keadaan. (bersambung)

LIPSUS