Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 262)

Senin, 19 September 2022


Oleh, Dalem Tehang     


MALAM itu, suasana di Blok B penuh dengan gegap-gempita. Canda tawa. Kegiatan menangkap puluhan burung dara, ternyata menjadi hiburan tersendiri untuk penghuni sel. Namun, semua itu tidak membuatku memilih meninggalkan keasyikanku sendiri; menulis.


Hingga kemudian tanpa aku sadari, aku lelap dalam tidur. Sementara, buku dan pulpen tergeletak di sampingku. Tertimpa guling yang menggelinding. Aku tersadar, saat Rudy menepuk-nepuk telapak kakiku dengan pelan.


“Om, yang lurus dulu tidur itu. Jangan melintang kayak gini,” ucap Rudy, sambil menggeserkan salah satu kakiku yang turun dari kasur.


Seraya meluruskan badan dengan posisi kasur, aku sempat menatap jam di dinding kamar. Menunjukkan waktu pukul 02.30 WIB. 


“Masih ngantuk, Rud. Tanggung tidurnya. Lanjut dulu ya,” kataku dan menarik selimut. Memulai lagi untuk tidur.


Melihat aku kembali tidur, Rudy dengan langkah perlahan meninggalkanku. Ke ruang depan dan masih aku dengar saat ia membuka pintu kamar. Rudy kembali ke taman depan, bergabung dengan kawan-kawan yang lain. Yang suara obrolannya terdengar cukup kencang dan ramai.


Aku baru benar-benar terbangun saat suara adzan Subuh menggema. Merayapi semua kamar di rutan. Setelah menaruhkan buku dan pulpen di tas kecilku, merapihkan kaleng minuman dan roti serta rokok beserta asbaknya, serta membersihkan kasur dan menyandarkannya di dinding, aku pun turun dari lantai tempat tidur dan ke kamar mandi. Wudhu. 


Saat keluar kamar untuk ke masjid, tampak banyak orang tengah bercengkrama. Mulai dari taman depan kamarku hingga ke ruang pintu masuk blok. Mereka berbincang penuh keceriaan sambil menikmati daging bakar dari burung dara yang selama ini berada di kawasan Blok B. 


Beberapa di antara mereka menawariku untuk mencicipi daging burung dara tersebut. Yang dibakar dengan dilumuri kecap, serta dimakan tanpa nasi dengan dicelupkan ke sambal botol. Namun, aku tidak tertarik untuk ikut merasakannya. Aku meneruskan langkah menuju masjid.


Selepas mengikuti jamaah Subuh, aku duduk di bagian samping kiri bangunan masjid. Menyandarkan badan di dinding. Ingin mendengarkan kultum yang biasa disampaikan oleh ustadz Umar. Pencerahan batin dan pengisian jiwa ini, sangat aku sukai. 


Sambil berdiri di depan para jamaah, ustadz Umar memulai kultumnya. Ia menguraikan pentingnya memiliki kepercayaan diri.


“Saat kamu jatuh, berdirilah. Jangan menunggu ditolong orang. Karena tidak jarang, orang akan menghindar ketika kita sedang tidak berdaya,” kata ustadz Umar. 


Ia melanjutkan, dalam kondisi separah apapun, teruslah berjuang sendiri. Dan jangan sekali-kali menunjukkan kelemahan kepada orang lain.


“Biar saja orang lain meremehkan. Tapi, jangan remehkan diri kita sendiri. Jadilah hebat tanpa bantuan, tetaplah survive tanpa menyusahkan,” ucap ustadz Umar dengan menggebu-gebu. 


Dengan kepercayaan diri yang tinggi, menurut ustadz Umar, seorang muslim tidak akan pernah takut akan kehidupannya di dunia. Karena meyakini bila takdir Allah adalah pasti. 


Ustadz Umar menambahkan, dengan kepercayaan diri yang tinggi, memang akan membuat kita tidak banyak teman. Karena kebanyakan orang, ingin berteman untuk memanfaatkan. Bagi orang yang memiliki kepribadian kuat berupa kepercayaan diri yang tinggi, teman semacam itu tidak akan mampu bertahan lama.


“Semakin sedikit kita berteman, kian sedikit pula kita tertekan. Dan setelah kita berjalan sendirian, baru akan paham jika kita hanya memerlukan diri sendiri, Allah, dan beberapa orang saja,” lanjutnya.


Ustadz Umar menguraikan kriteria manusia itu ada tiga. Yaitu ada yang seperti makanan, selalu dibutuhkan oleh orang lain. Ada yang seperti obat, diperlukan oleh orang lain saat sakit, dan ada pula yang seperti penyakit, selalu dibenci oleh orang lain.


Ia mengajak jamaah untuk terus bermuhasabah. Karena hal itu merupakan kewajiban bagi orang yang ingin terus memperbaiki dirinya. Dan rumah tahanan merupakan pondok pesantren yang sangat tepat bagi orang-orang yang telah menyadari dan menebus kesalahannya di dunia untuk menuju kepada kehidupan yang lebih baik. 


“Kalau orang masuk pondok pesantren biasa itu, mayoritas masih bersih dan ingin memiliki keilmuan dunia akherat dengan baik. Tapi kalau masuk rutan, ini pesantrennya orang-orang bermasalah yang ingin mengisi sisa umurnya dengan meraih kebaikan dunia akherat. Jadi, kita wajib untuk terus bermuhasabah. Introspeksi diri,” urai ustadz Umar. 


Ditambahkan, bila kita merasa besar, periksalah hati kita. Mungkin sedang bengkak. Jika kita merasa suci, periksalah jiwa kita. Mungkin itu putihnya nanah dari luka nurani. 


“Jika kita merasa tinggi, coba periksa batin kita. Mungkin sedang melayang kehilangan pijakan. Dan bila kita merasa wangi, periksalah ikhlas kita. Mungkin itu asap dari amal yang hangus dibakar riya,” tutur stadz Umar lagi.


Menutup kultumnya, ustadz Umar kembali mengingatkan penting rasa percaya diri. 


“Saat kita punya rasa percaya diri yang tinggi, maka tidak ada orang yang berani meremehkan. Dan itulah mental pemenang,” katanya dengan penekanan. 


Ketika aku sedang mencari sandal di depan pintu masjid, ustadz Umar menepuk bahuku. 


“Gimana kabarnya, pak?” tanya dia, dengan ramah.


“Alhamdulillah sehat. Pak ustadz sehat terus ya. Saya seneng dengan tausiyahnya. Banyak ilmu dan ketenangan yang saya dapatkan,” kataku, terus terang.


“Alhamdulillah. Rejeki Allah yang paling indah itu memang sehat, pak. Dan kita terus diberi-Nya keindahan rejeki itu. Terus bersyukur ya, pak. Yakinlah, takdir Allah pasti lebih indah. Meski untuk menikmatinya, kita harus berurai air mata bahkan merasa terhina,” ucap ustadz Umar, dengan penyampaian yang santun.


“Inshaallah, pak ustadz. Mohon terus bimbingannya,” sahutku, seraya menundukkan badan.


“O iya, ngomong-ngomong kenapa pak Mario tidak tertarik untuk masuk majelis taklim?” tanya ustazd Umar. Kali ini nada suaranya cukup serius.


“Mohon maaf, pak ustadz. Bukannya saya tidak tertarik, namun saya merasa masih lebih ingin belajar sendiri. Selain saya ingin, mulai tumbuh suburnya kebutuhan akan beribadah di hati ini, benar-benar alami. Bukan karena terkondisikan oleh situasi yang mau tidak mau saya harus melakukannya,” jawabku, dengan hati-hati.


“Belajar agama itu memerlukan guru, pak. Kalau belajar sendiri, dikhawatirkan akan salah menangkap dan akhirnya membuat ibadah kita tidak sesuai kaidah. Kalau soal kita dipaksa oleh keadaan, ya memang untuk beribadah itu harus dipaksa. Nanti seiring waktu, akan menjadi kebiasaan dan kebutuhan,” tanggap ustadz Umar dengan panjang lebar.


“Terimakasih pencerahannya, pak ustadz. Doakan agar Allah terus memberi hidayah kepada saya,” ucapku, mengakhiri perbincangan. Dan setelahnya, aku berpamitan, menyalami ustadz Umar dengan kedua tanganku. 


Ustadz Umar memandangku. Tampak masih ada yang ingin ia sampaikan. Namun aku meneruskan langkah. Berjalan pelan menuju arah kamarku. 


Saat berjalan seraya menundukkan wajah di lingkungan rutan yang masih demikian sunyi, mendadak terbayang wajah istriku, Laksmi. Yang aku yakini, saat itu ia tengah duduk tepekur di atas sajadah dengan memakai mukenanya. 


Sambil menaruhkan tangan di dada, aku bicara untuk istri yang amat ku sayangi: “terimakasih sudah bertahan sejauh ini, terimakasih sudah mau mengerti jika ada hal-hal berat yang harus dihadapi, terimakasih sudah menjadi kuat meski telah menanggung beban berat.” (bersambung) 

LIPSUS