Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 263)

Selasa, 20 September 2022


Oleh, Dalem Tehang


SAAT memasuki pintu utama Blok B, suasana telah sepi. Belasan orang yang sebelumnya berada di ruangan tersebut, telah kembali ke kamar masing-masing. Bekas mereka membakar daging burung dara pun, telah bersih. Seakan tidak pernah ada aktivitas semalaman di tempat itu. 


Ketika sampai di kamar, aku melihat Dino dan Basri telah tidur di kasurnya masing-masing. Sementara, Rudy meringkuk di kasur tipisnya, di bawah jeruji besi ruang depan. Melihat situasi kamar semacam itu, aku seakan tidak tahu akan melakukan apa.


Seusai menaruh kain sarung dan kupluk, aku keluar kamar dengan membawa satu botol air mineral. Yang terpikir olehku hanyalah berolahraga. Setelah menaruh botol minuman dan kaos yang ku buka dari badanku, di tepian selasar, aku pun mulai memasuki lapangan. Jalan mengelilinginya. Tanpa alas kaki.


Ketika aku telah beberapa kali memutari lapangan sepakbola itu, datang empat orang lain dari Blok A. Juga melakukan jogging. Kian siang, semakin banyak saja tahanan yang mengisi waktunya dengan berolahraga bebas biaya tersebut.


Pagi itu, aku menambah putaran jalanku. Yang biasanya 15 kali memutari lapangan, kali ini menjadi 20 kali. Terasa lelah memang, namun mengalahkan semangatku untuk terus menjaga kebugaran badan. Aku sangat meyakini kesahihan fatsun; di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat. 


Baru saja aku beristirahat dengan meminum air mineral sambil bersandar pada tiang selasar, tiba-tiba duduk di sampingku seorang sipir dengan pakaian dinasnya. Ternyata, Fani.


“Ngagetin aja kamu ini, Fani,” sapaku, dan menyalaminya.


“Sengaja diem-diem deketin abang, biar kaget. Dan ternyata, abang tetep terkendali,” ucap Fani, sambil tersenyum.


“Maksudnya terkendali apaan?” tanyaku.


“Terkendali pikirannya. Tetep bisa kaget waktu aku diem-diem langsung duduk. Artinya, abang nggak kebanyakan ngelamun selama ini,” jawab Fani, kali ini langsung tertawa ngakak.


Melihat Fani tertawa ngakak, aku pun tertawa. Sipir muda usia ini memang dikenal piawai dalam melahirkan suasana yang cair, friendly, dan merangkul semua penghuni rutan dengan apa adanya. 


“Ngomong-ngomong, abang sempet rasain daging burung dara nggak? Kabarnya, semaleman ada pesta di blok abang,” kata Fani, beberapa saat kemudian.


“Alhamdulillah, sampai saat ini, aku belum rasain daging burung dara yang ditangkep semalem, Fani. Gimana gurihnya, nggak tahu,” sahutku, sambil tersenyum.


“Kok gitu amat ya si Dino sama Basri itu. Masak abang nggak dikasih sama sekali,” tanggap Fani dengan cepat.


“Nggak usah dimasalahin, Fani. Mungkin mereka dan kawan-kawan lain lebih merluinnya ketimbang aku. Urusan rejeki, jodoh, dan maut kan emang rahasia langit. Ngapain kita persoalin,” ucapku, menenangkan.


“Tapi ya nggak wajarlah kalau abang sampai nggak kebagian. Infonya, burung dara yang dipotong semalem ada 107 ekor lo, bang. Masak sih, nyisihin buat abang aja nggak bisa,” kata Fani, menyela.


“Lha, aku kan emang lagi ada di dunia nggak wajar, Fani. Jadi, ya biasa-biasa aja nemuin hal-hal yang nggak wajar. Wong emang kewajaran itu jadi barang langka di dalem sini,” ujarku, sambil tersenyum.


“Abang ini kelewat ngalahan sih orangnya. Jadi sering orang nggak sepandangan,” kata Fani.


“Bukan soal ngalahan ini mah, Fani. Tapi kan emang nggak ada hakku buat dapet bagian dari burung dara itu. Melihara nggak, kasih makan nggak pernah, apalagi ngebeli bibitnya. Jadi, ngapain mersoalinnya. Disyukuri aja yang ada. Yang nggak ada, berarti bukan milik kita. Enteng ajalah ngadepin apa-apa itu, biar tetep fresh,” tuturku lagi. Panjang lebar.


“Itu kantin sudah buka, bang. Ayo kita kesana. Cari-cari sarapan. Kebetulan aku kalau tugas pagi gini, jarang sarapan dari rumah,” kata Fani, beberapa saat kemudian.


Menghargai perhatian sipir Fani yang demikian besar, akhirnya aku pun melangkahkan kaki bersamanya menuju kantin rutan. Sambil menikmati sarapan nasi uduk dan kopi pahit, kami terus berbincang ringan.


Tidak lama kemudian, beberapa orang masuk ke kantin. Mayoritas setelah berolahraga. Diantara mereka tampak Gerry dan Danil.


“Bisa gabung duduk disini, dan?” tanya Gerry kepada Fani. Dengan ramah, sipir lowprofile itu mempersilahkan.


Bukan hanya Gerry yang duduk bergabung denganku dan Fani. Tetapi juga Danil. Mereka membawa sarapan dan minuman masing-masing. Duduk berhadapan denganku dan Fani.


Sambil menikmati sarapannya, Danil memberi isyarat kepadaku untuk menengok ke arah pintu kantin. Saat itu, aku melihat Aris dan Dika, dan di belakang mereka sedang berjalan dengan pelannya, si Abah.


Aku segera berdiri dari kursiku. Menyambut Abah yang memasuki kantin, dan mengajaknya duduk bergabung dengan kami. Aris dan Dika juga ikut duduk di kursi panjang tempat kami.


“Abah mau sarapan apa? Biar aku pesenin,” kata Danil, seusai menyalami napi senior itu dengan kedua tangannya.


“Pengen roti bakar sama teh susu anget aja, Danil,” kata Abah, dengan kalem.


Danil langsung bergerak. Memesan panganan yang diinginkan Abah. Banyak canda dan tawa yang melengkapi sarapan bareng kami saat itu. 


Apalagi beberapa kali, Abah menyampaikan humor-humor segarnya. Pun sipir Fani yang selama ini dikenal jarang bercanda, ternyata memiliki banyak isi mulut yang membuat kami semua tiada berhenti tertawa.    


“Ketawanya jangan kebanyakan, nanti bisa mendadak berubah jadi kesedihan. Yang wajar-wajar aja,” kata Abah, mengingatkan kami. 


“Ini kan ngehibur diri sih, abah. Bukan ketawa diluar batas,” kata Gerry, menyela.


“Maka abah ingetin. Sebab, segala sesuatu yang melebihi batas itu, nggak baik. Abah pengen kalian disini dapet hidayah dan keluar nanti jadi orang baik,” lanjut Abah, dengan gaya khasnya: santai.


“O iya, kabarnya minggu depan ini abah bebas ya. Kasih dong pesen-pesen buat kami,” ujar Aris. 


“Rencananya gitu, Ris. Inshaallah dilancarkan. Doain aja ya sama kalian. Aku pernah dapet pesen dari seorang napi disini, yang sebulan sebelum bebas, kerjaannya di masjid terus. Padahal, tiga tahun lebih sebelumnya, sekali aja dia nggak pernah ke masjid. Apalagi solat,” kata Abah, setelah berdiam beberapa saat.  


“Gimana pesennya, abah?” tanya Aris, penasaran. 


“Sebenernya, lebih pas disebut obrolan ya, bukan pesen. Suatu saat, aku tanya sama kawan napi itu, kenapa kok sebulan mau bebas ini, dia mendadak jadi alim dan ke masjid terus,” kata Abah, melanjutkan.


“Terus apa kata kawan abah itu,” ucap Danil, menyela.


“Dia bilang, karena baru saat itulah hidayah nikmat beribadah ia rasain. Dan dia makin istiqomah setelah lakuin tiga hal,” jelas Abah.


“Apa tiga hal itu, abah?” tanya Danil, tampak penasaran.


“Kata kawan itu, dia jadi khusu’ ibadah karena ninggalin ridhanya manusia, hingga ia bisa bicara tentang kebenaran. Terus dia ninggalin pertemanan sama orang fasik, sehingga kawannya cuma orang-orang soleh aja. Dan yang ketiga, dia ninggalin kelezatan dunia, hingga yang ada di pikiran dan hatinya hanya pengen dapetin kelezatan akherat,” tutur Abah, mengurai.


Kami semua terdiam mendengar apa yang disampaikan Abah. Mencoba memahami betapa tapakan untuk sampai kepada kenikmatan beribadah itu, ternyata, tidak mudah.


“Kalau itu kata kawan abah, kami pengen ada pesen khusus yang bener-bener dari abah,” kata Gerry, beberapa saat kemudian.


“Pesen abah buat kalian semua cuma satu aja. Kalau pengen lihat ajaibnya Allah selesaiin masalahmu, sedekahlah!” ujarnya, dengan serius. 


Kembali kami semua hanya terdiam. Masing-masing mencoba introspeksi diri terkait dengan pesan Abah. Saat itu, ku tatap wajah Abah. Begitu teduh dan penuh dengan kewibawaan. 


Dan terbetiklah serangkai kata di dalam jiwa: betapa aku cemburu kepada orang yang pandai menyembunyikan kebaikannya, dunia tidak melihatnya tapi surga merindukannya. (bersambung)     

LIPSUS