Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 264)

Rabu, 21 September 2022


Oleh, Dalem Tehang

        

SINAR mentari semakin tinggi, dan asupan panasnya mulai terasa, aku bersama sipir Fani berpamitan. Meninggalkan kantin duluan. 


“Tinggalin aja, be. Nanti aku sekalian yang bayar sarapannya,” kata Aris, ketika aku dan Fani berpamitan.


“Oh ya. Alhamdulillah. Terimakasih, Ris. Barokah,” sahutku, dan berjalan meninggalkan kantin. 


Sambil berjalan menyelusuri selasar, Fani mengingatkanku untuk terus menjaga kebugaran tubuh. Selain mengendalikan pikiran dan perasaan. Karena bila sampai jatuh sakit di dalam rutan, rasanya akan sangat-sangat menderita. 


“Terutama jaga makannya, bang. Jangan sampai telat, apalagi nggak makan,” ucap Fani dengan serius.


Aku dan Fani berpisah tepat di pintu masuk Blok B. Dia melanjutkan langkahnya menuju pos penjagaan dalam, sedang aku berbelok masuk ke arah kamar tahanan. Sesampai di kamar, aku langsung mandi.


“Om sudah sarapan?” tanya Rudy, begitu aku keluar kamar mandi.


“Sudah, Rud. Kamu jangan nggak sarapan. Habis itu, lanjutin minum obatnya, biar cepet fit lagi,” kataku.


“Nggak apa-apa ya makan mie instan aja, om,” kata Rudy lagi.


“Baiknya jangan makan mie dululah, Rud. Beli aja kamu nasi sama lauk di kantin sana,” ucapku, seraya memberinya sejumlah uang untuk ia membeli sarapannya.


Sepeninggal Rudy, aku melipat pakaian kotor dan memasukkan ke dalam kantong plastik khusus tempat baju kotor. Pada saat bersamaan, datang Iwan. Tamping kebersihan yang juga usaha asongan rokok ini, tampak senyum-senyum saat melihatku.


“O iya, lupa, Wan. Aku kan janji mau kasih kamu baju koko ya. Buat kamu solat,” kataku begitu sadar maksud kedatangan Iwan.


Ku buka lemari pakaian, dan aku ambilkan sebuah baju koko. Yang selama ini, hanya aku pakai untuk solat Jum’at saja.


“Ini, Wan. Mudah-mudahan nggak kebesaran sama kamu ya,” kataku dan memberikan baju koko ke tangan Iwan yang hanya berdiri di pintu.


“Alhamdulillah. Kalaupun kebesaran, ya nggak apa-apalah, om. Nambah semangat ibadah aku jadinya. Terimakasih ya, om,” ucap Iwan dan menyalamiku, sebelum meninggalkan kamarku.


“Itu Iwan ngapain, om? Dikasih baju ya?” tanya Rudy, yang telah kembali dari membeli makanan di kantin.


“Iya, kemarin dia bilang pengen baju koko buat solat. Kebetulan om kan ada tiga baju koko. Salah satunya, om kasih ke dia, Rud,” jelasku kepada Rudy.


“Tahu gitu, Rudy duluan yang minta sama om. Rudy kan cuma punya dua baju, om. Lainnya kaos oblong semua. Lain kali, kasih Rudy-lah om,” tutur OD kamarku itu. Ada nada memelas dalam perkataannya.


Spontan aku mengambil baju koko yang tergantung pada hanger di sudut ruang depan. Tanpa bicara apapun, aku berikan pakaian tersebut kepada Rudy.


“Dikasih ke Rudy ini, om? Alhamdulillah. Terimakasih ya, om,” kata Rudy, sambil mendekap baju koko pemberianku ke dadanya. Tampak ada bahagia yang menyeruak di wajahnya.


Saat Rudy mulai menkmati sarapannya, aku keluar kamar. Menuju gazebo yang ada di depan kamar 34. Ingin menonton televisi. Beberapa orang sedang rebahan disana, sambil menikmati tayangan berita olahraga sepekan. 


“Pakde seneng nggak nonton olahraga? Kalau nggak, kita pindahin channelnya,” kata seorang pria berusia 30 tahunan yang tengah memegang remote televisi.


“Seneng kok. Ya sudah, mana yang lagi ditonton, lanjut aja. Aku kan cuma pengen cari hiburan sambil nikmati angin aja,” sahutku, dan ikut merebahkan badan di gazebo yang cukup luas itu.


Tiba-tiba, ada yang memberiku bantal dari samping kepalaku. Saat aku menengokkan wajah, ternyata pak Edy.


“Wah, dikasih bantal ya kalau nongkrong di gazebo ini. Terimakasih, pak Edy,” kataku, seraya menerima bantal yang diberikan kepala kamar 34 itu. Yang selnya memang tepat berada di depan gazebo.


“Daripada tangan babe kesemutan karena dijadiin bantal, kan enakan pakai bantal beneran,” tanggap pak Edy, dan tertawa.


Aku pun cukup serius mengikuti tayangan televisi. Yang mengupas kegiatan olahraga dalam satu pekan. Terutama pertandingan sepakbola luar negeri. 


Sampai kemudian ada yang menepuk kakiku. Pak Edy ternyata duduk bersandar di tiang gazebo, tepat di dekat kakiku. Juga menonton acara di televisi. 


“Kenapa, pak?” tanyaku dengan setengah mengangkat kepala dari bantal.


“Ada yang cari babe ke kamar. Aris sama Dika kayaknya,” ucap pak Edy, sambil matanya menatap ke arah kamarku. 


“Ya sudah biar aja, pak. Kalau emang ada perlu, nanti mereka juga balik lagi,” sahutku, enteng.


“Eh, mereka kesini, be. Kayaknya dikasih tahu Rudy, kalau babe lagi nonton tivi disini,” lanjut pak Edy, beberapa saat kemudian.


Dan benar saja. Tidak kurang dari 8 menit, Aris dan Dika sampai di gazebo. Langsung duduk di samping pak Edy. Aku tetap saja merebahkan badan dengan mata tertuju ke pesawat televisi.


Cukup lama Aris dan Dika hanya diam, dan ikut menonton tayangan televisi saat itu. Sampai kemudian pak Edy menyampaikan ke aku bila ada mereka berdua.


“Eh, kamu Ris. Sama Dika juga ya. Asyik ini nonton perkembangan Liga Inggris. Banyak klub-klub besar bertumbangan. Bakalan makin seru persaingan ke depan,” kataku, dan bangun dari merebahkan badan.


“Serius amat nontonnya sih, be. Kayak fans berat Liga Inggris aja,” ucap Aris, seraya tersenyum.


“Aku ini dulu pemain bola, Ris. Kiper. Cuma gara-gara kecelakaan motor dan patah tulang bahu, pensiun. Jadi sampai sekarang, tetep ikuti perkembangan dunia sepakbola,” tuturku.


“Pasti pernah taruhan juga ya, bang?” tanya Dika, menyela.


“O iya. Dulu kalau pas piala dunia, aku pasti taruhan, Dika. Tapi, sama adekku Laksa aja. Nggak pernah sama orang lain. Taruhannya juga cuma sebungkus rokok,” kataku, dan tertawa.


“Jadi gini, be. Kami ini sengaja pengen ngobrol sama babe. Besok kan kita mau sidang lagi. Gimana persiapannya?” tiba-tiba Aris mengalihkan pembicaraan.


“Iya, Senin besok emang aku sidang lagi. Kamu juga ya, Ris. Emang apa yang harus disiapin? Kalau pakaian buat sidang, kemarin sudah dibawain ayukmu. Jadi ya nggak ada masalah,” jawabku, dengan enteng.


“Aku juga sidang besok itu, be. Maksudku, gimana pembicaraan sama lawyernya. Persiapan mereka di persidangan,” jelas Aris.


“Ngapain kita nanyain soal begituan, Ris. Mereka kan pengacara, sudah biasa sidang. Lebih tahulah mereka ketimbang kita,” ucapku, tetap dengan santai.


“Ya nggak gitu jugalah, be. Kita kan tetep perlu diskusiin sama lawyer langkah-langkahnya,” sambung Aris.


“Emang apa persiapanmu, Ris?” kataku, balik bertanya.


“Tadi, habis dari kantin, aku ke wartelsus. Telepon lawyerku. Kami diskusi panjang lebar. Katanya, aku harus sampein apa adanya semua masalah yang melilitku. Targetnya, biar bukan aku aja yang kena dalam kasus ini,” urai Aris. 


“O gitu. Ya, ada bagusnya omongan lawyermu itu, Ris. Cuma, kamu ada bukti nggak buat narik yang lain-lain dalam masalahmu ini? Kalau cuma omongan tanpa data dan fakta, ngapain disampein. Saranku, bertahan dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Nggak usah mikir demi ringanin hukuman, kamu harus ngakuin atau sampein sesuatu yang bukan sebenernya. Yakin aja, kalaupun kebenaran kalah saat ini, ia akan mencari jalan untuk menunjukkan keberadaannya suatu saat nanti. Nggak tahu kapan itu,” kataku, panjang lebar.


“Jadi, baiknya aku harus gimana ya, be?” tanya Aris. Tampak wajahnya diliputi kebimbangan.


“Aku saran ya, Ris. Maaf ini, be. Sebaiknya kamu nggak nyari-nyari kesalahan orang lain. Apalagi, kalau nggak punya bukti, data atau fakta. Jalani aja takdirmu ini dengan sabar dan ikhlas,” kata pak Edy, dengan suara serius.


“Tapi enak amat orang-orang yang selama ini kecipratan uang Aris, nyantai aja bebas keliaran. Aris yang keluar uang, malahan yang dipenjarain,” ucap Dika, menyela dengan cepat.


“Hei, anak muda. Kamu perlu tahu ya, di antara pendosa yang paling buruk adalah yang sibuk ngebahas atau nyari-nyari kesalahan orang lain. Kita ini semua pendosa, tapi ya janganlah jadi pendosa yang paling buruk. Sebagai pendosa, bertaubatlah banyak-banyak. Ini semua sudah takdir, jangan dilawan. Disyukuri dengan sabar, tenang, dan ikhlas aja. Roda kehidupan itu pasti berputar. Yakin aja sama itu,” kata pak Edy, panjang lebar.  


Wajah Aris mendadak memerah. Sedangkan Dika langsung menundukkan wajahnya. Perkataan pak Edy memang sangat keras dan apa adanya. Khas dunia penjara; terjauhkan dari kelembutan yang justru acapkali menjebak pikiran dan perasaan. (bersambung)

LIPSUS