Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 265)

Kamis, 22 September 2022


Oleh, Dalem Tehang


SUARA adzan Dhuhur mengejutkan kami yang masih berbincang ringan di gazebo.


“Cepet amat sudah dhuhur ya,” kata pak Edy, yang tampak tengah bersemangat untuk diskusi.


“Emang kalau hari Minggu, rasanya putaran waktu itu lebih cepet, pak Edy. Nggak tahu juga kenapa,” sahut Dika dengan santai.


“Iya juga ya. Padahal sebenernya tetep sama. Satu menit tetep 60 detik, dan sejam ya 60 menit. Kenapa bisa gitu ya, pak Edy?” ujar Aris, sambil memandang pak Edy.


“Karena kalau hari Minggu, kita ngerasa secara batin waktunya libur. Nyantai dan kongkow-kongkow aja. Jadi waktu kayaknya lebih cepet berputarnya,” jawab pak Edy, sekenanya.


“Emang kalau hari lain kita ada kerjaan? Nggak juga kan, pak. Tetep nganggur itulah,” Dika menyela dengan cepat.


“Ya nggak tahu juga aku, kenapa kalau hari libur kok rasanya waktu berputar cepet gitu. Yang pasti buatku, karena kita sudah tersugesti selama ini kalau waktu buat santai itu, emang terbatas. Yang di otak kita cuma kerja, kerja, dan kerja,” urai pak Edy lagi.


Tanpa ingin mendengarkan perdialogan lebih lama, aku pun berpamitan. Kembali ke kamar, mandi dan ingin segera ke masjid. Aris dan Dika juga mengikuti langkahku. Meninggalkan gazebo.


“Be, tunggu aku ya. Bareng ke masjidnya,” ujar pak Edy, yang juga bergerak dari gazebo dan masuk ke kamarnya.


Beberapa saat kemudian, aku dan pak Edy berjalan keluar pintu utama Blok B menuju masjid. Pada saat bersamaan, tampak pak Waras, pak Anas, dan Asnawi keluar dari kamar 8, juga akan berjamaah di masjid.


“Assalamualaikum,” sapaku, dan menyalami ketiga kawan yang pernah satu kamar denganku itu.


“Waalaikum salam. Alhamdulillah babe terus sehat dan istiqomah berjamaah di masjid,” sahut pak Anas, sambil melepas senyum tulusnya.


“Alhamdulillah, kita diberi sehat dan tetep dapet hidayah untuk terus beribadah ya, pak. Itu rejeki yang luar biasa dari Allah,” sahutku, juga sambil tersenyum.


Ketika kami berlima tengah berjalan di selasar, mendadak ada dua tahanan sedang berkejaran dan terlibat baku hantam. Spontan, pak Edy dan Asnawi bergerak. Memisahkan mereka.


“Jangan dipisah. Ngapain kalian ikut campur. Aku gebukin juga kalian nanti,” sergah salah satu tahanan berbadan kurus, dengan nada tinggi.


Pak Edy dan Asnawi menghentikan upaya untuk memisahkan mereka. Tampak keduanya terhenyak oleh ancaman pria itu. Aku dekati pria berbadan kurus yang tengah dalam amarah tinggi itu.


“Mau apa kamu? Mau nyoba kekuatan? Ayo, maju sini. Aku lipat kalian semua nanti,” kata pria kurus itu, sambil menatapku dengan penuh emosi.


Aku hanya tersenyum. Ku minta pak Edy dan Asnawi menjauh. Kini aku berhadapan dengan pria itu. Berjarak sekitar satu meter. Tiba-tiba terdengar suara sepatu laras berlari ke arah kami. Ternyata tiga orang sipir, salah satunya Fani.


“Ada apa, bang?” tanya Fani, yang langsung berdiri di antara aku dan pria kurus berkulit hitam legam dengan rambut keriting tersebut.


“Mereka ini tadi kelahi. Kami pisahin. Eh, malah ngancam. Coba bawa ke pos sana. Perlu dijajal juga kekuatan orang ini. Hantem pakai buntut sapi aja dulu, mlepuh nggak badannya. Kalau emang kebel beneran, nanti habis solat, aku yang nyoba kekebelannya,” kataku kepada Fani.


Tiga orang sipir itu langsung menggelandang kedua tahanan yang terlibat perkelahian ke pos penjagaan dalam. Aku dan kawan-kawan melanjutkan langkah menuju masjid.


“Ada-ada aja ya, be. Jaman gini masih juga mau main gebuk aja,” ucap Asnawi dengan tersenyum.


“Yang repot itu, sudah di dalem penjara gini masih aja pengen ngebangun eksistensi diri dengan kejagoannya. Dia lupa, di atas langit ada langit,” kata pak Edy, dengan santai.


“Atau bisa jadi, dia nggak tahu pak kalau di atas langit itu ada langit,” kata pak Waras, menyela.


Selepas mengikuti solat berjamaah, aku cukup lama duduk tepekur di sudut masjid. Merangkai permohonan pengampunan dan perlindungan kepada Yang Maha Pemberi. Begitu khusu’nya, hingga seakan aku tengah duduk sendirian menghadap Sang Ilahi. Berurailah air mata menyertai penghibaanku.


Sampai kemudian, sambil menarik napas panjang, aku akhiri proses permunajatanku siang itu. Dan saat ku buka mata, ternyata ada Asnawi sedang duduk di sampingku. Berjarak sekitar 45 cm.


“Ngapain kamu, Nawi? Kalau mau motong kuku, ada gunting di kamarku,” kataku, menyapa pria tersangkut kasus penjambretan yang tengah menggigit-gigit kuku jari tangannya.


“Iseng aja, be. Aku ini nungguin babe dari tadi. Kita diajak pak Edy makan di kantin. Pak Waras sama pak Anas sudah duluan. Aku disuruh nemenin babe,” kata Asnawi.


“O gitu. Ya maaf, kalau kamu nunggunya agak lama, Nawi. Maklum, kalau lagi dateng kepengen bersentuhan langsung sama Yang Kuasa, nggak ku sia-siain kesempatan itu,” ujarku, dan beranjak meninggalkan masjid untuk menyusul pak Edy dan kawan-kawan yang sudah ke kantin lebih dulu.


“Bukan agak lama tadi itu mah, be. Tapi emang lama. Cuma aku maklum kok. Namanya hati lagi sreg pengen ngomong sama Langit, ya jangan diganggu,” sahut Asnawi.


Siang itu, suasana kantin penuh sesak oleh puluhan orang yang makan. Meski banyak juga yang hanya berbincang dengan sesama. Pak Edy mengambil posisi di kursi panjang paling sudut belakang.


“Kok seneng amat mojok gini sih, pak. Kalau mau nambah makanan, jadi agak jauh ngambilnya,” kataku, begitu bergabung dengan pak Edy, pak Waras, dan pak Anas.


“Justru biar sekali ambil yang banyak, be. Jadi nggak perlu bolak-balik ke tempat makanan. Lagian, mojok gini kan lebih asyik. Nggak keganggu sama yang lain,” ucap pak Edy, seraya tersenyum.


Aku meminta Asnawi memesankan makanan berlauk telor bulat sambel goreng dan ikan asin gabus. Juga sebungkus kerupuk dan satu botol air mineral.


“Sekalian nasi tambahnya buat babe, Nawi. Kalau sudah ketemu ikan asin, babe bisa kalap makannya,” kata pak Waras sambil tertawa.


“Kok pak Waras tahu kalau babe ini pemakan ikan asin?” tanya pak Edy.


“Kami kan pernah beberapa hari satu kamar, pak. Jadi hapallah lauk kesukaan babe. Jangan kan ada nasi, ngegado ikan asin aja dia suka bener,” tanggap pak Waras, sambil tertawa ngakak.


“Aneh juga ya kalau dipikir-pikir babe ini. Ngopi nggak mau pakai gula, tapi ngegadoin ikan asin, suka banget,” pak Anas, nyeletuk.


“Aku ini anak nelayan, pak. Sejak kecil biasa bergaul sama ikan. Dan hobiku, emang ngebuat ikan asin. Sampai akhirnya aku ngerasa, lauk paling enak itu ya ikan asin itulah. Apalagi sekarang, kan banyak ikan bagus-bagus yang diasinin, jadi makin ngegila aku kalau ketemu ikan asin,” tuturku, dan tertawa.


“Emang kalau urusan makan, nggak bisa disama-samain. Pengaruh bawaan atau kebiasaan sejak kecil. Kayak aku, makan sama lauk apa juga rasanya kurang, kalau nggak ada tempe sama sambel,” kata pak Edy, juga sambil tertawa.


“Yang pasti, kita makan gini sambil ngomongin makanan, jadi lebih nikmat. Tapi jangan lupa baca bismillah dan bersyukur makannya,” ujar pak Waras, kembali tertawa.


“Iya bener itu, pak Waras. Cuma kadang kita kehilangan nikmat karena sadar kalau harga makanan begini mahal,” kata Asnawi, yang terus menyuapkan nasi ke mulutnya.


“Nggak usah dikhawatirin soal harga mahal itu, Nawi. Dalam buku Hilyatul Aulia, ada cerita begini. Ada seseorang yang bertanya kepada Salamah bin Dinar. Tidakkah kau lihat harga makanan dan barang sekarang ini mahal? Tanya orang itu. Dijawab oleh Salamah: Apa yang membuatmu khawatir? Sesungguhnya, Dzat yang memberi kita rejeki ketika harga makanan dan barang murah, Dia jugalah yang akan beri kita rejeki saat harga-harga menjadi mahal,” tutur pak Anas, dengan kalem.


“Gitu ya, pak. Jadi tetep pede aja ya kita sama situasi sesulit apapun,” kata Asnawi.


“Kita emang harus tetep pede, Nawi. Ada ulama yang bilang begini; kalau selama hidupmu sejak lahir sampai saat ini sudah diberi Allah banyak kemudahan, lalu kenapa kamu merasa nggak yakin kalau Allah pasti bisa memberimu kemudahan di sisa hidupmu? Yang penting, kita yakin punya Allah. Itu aja kuncinya,” sambung pak Anas, tetap dengan gaya khasnya; kalem.


Tiba-tiba datang dua pria ke meja kami. Aku mengenali, mereka adalah orang yang tadi berkelahi di selasar saat kami akan ke masjid. Yang dipisah pak Edy dan Asnawi namun justru mengancam. Spontan Asnawi berdiri. Berhadapan dengan mereka. (bersambung)

LIPSUS