Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 266)

Jumat, 23 September 2022


Oleh, Dalem Tehang  


KALIAN mau apa?” tanya Asnawi dengan nada garang. 


Postur tubuh Asnawi yang tinggi besar, memang tepat untuk ia memposisikan diri sebagai pengawal. Kedua pria itu menyalami Asnawi, sambil menundukkan wajahnya. Menghormat.


“Kami dateng kesini mau minta maaf. Nggak ada maksud lain,” kata pria bertubuh kurus dengan kulit hitam legam dan berambut keriting itu. Suaranya bergetar, menahan haru dan takut.


“Emang ada salah apa kalian sama kami? Kita nggak pernah saling kenal ya. Jadi, nggak ada urusan sama kalian,” kata Asnawi, masih dengan nada garang.


Kami semua yang menyaksikan peristiwa itu hanya diam. Bahkan, pak Edy tetap asyik menikmati minuman kopi es yang ada di depannya. Di sisi lain, aku tidak menyangka bila Asnawi yang selama ini kalem, banyak senyum, dan selalu mengalah, ternyata memiliki mental petarung yang tangguh.


“Kita emang nggak kenal sebelumnya. Cuma tadi aku kan ngomong kasar, bahkan nantang kawan-kawan. Jadi, aku mau minta maaf dan pengen berkawan,” lanjut pria itu.


“Nama kamu siapa?” tanya Asnawi, sambil menatap dua pria yang berdiri di depannya.


“Aku Bono, dan ini Usup. Kami di Blok C selama ini. Cuma beda kamar,” jelas pria kurus yang mengaku bernama Bono itu.


“Ya, sudah. Kami sudah maafin kalian. Sekarang pergi dari sini. Kami nggak mau ngelihat muka kalian ada di kantin selama kami masih ada disini,” ujar Asnawi, dengan tegas.


Setelah menganggukkan kepalanya, Bono dan Usup meninggalkan kami. Dan langsung keluar kantin seperti perintah Asnawi. Sepeninggal keduanya, beberapa waktu kami semua masih berdiam diri.


“Nggak nyangka, ternyata kamu ini galak juga ya, Nawi,” ucapku, memecah keterdiaman.


“Sebenernya nggak juga sih, be. Cuma, ketimbang babe dan kawan-kawan yang bereaksi, kan lebih baik aku aja. Yang paling muda disini kan aku,” jawab Asnawi, sambil tersenyum.


“Nawi ini emang jagoan sebenernya, be. Cuma dia nggak sombong, apalagi pongah. Rendah hatinya itu yang luar biasa,” ucap pak Waras. 


“Sudah ah, ngapain ngomong soal begituan. Yang penting, kita tetep bisa seneng, sehat lahir batin, dan ibadah dengan khusu’. Soal lain-lain urusan dunia mah, nggak usah dipikirin,” kata Asnawi, menyela. 


“Kalau ngelihat gaya Nawi ini, aku inget perkataan Mbah Moen. Kiyai sepuh itu pernah bilang: memintarkan orang yang benar itu, lebih mudah ketimbang membenarkan orang yang pintar,” ujar pak Anas. 


“Apa hubungannya perkataan beliau sama aku, pak?” tanya Asnawi. 


“Ya, nggak ada hubungannya emang, Nawi. Aku cuma pengen nyampein aja. Kita kan baru aja berhadapan sama orang yang nggak pinter tapi bener. Dua orang yang kelahi tadi maksudku. Mereka nggak pinter, karena adu jotos kok di rutan. Tapi, mereka punya jiwa yang bener, bersikap gentlemant mau minta maaf. Nah, ngajak orang kayak gitu jadi pinter, lebih gampang ketimbang ngebenerin orang yang keminter,” urai pak Anas.


“Tugas Nawi kalau gitu buat ngajak mereka ke jalan yang bener,” kata pak Edy, seraya tertawa.


“Emangnya aku ini bapak asuh ya, pak,” sahut Asnawi dengan cepat, juga sambil tertawa.


Suasana makan siang bersama di kantin saat itu, memang penuh dengan kehangatan dan kebersamaan. Apalagi panas mentari tidak begitu menyengat. Membuat semilir angin yang cukup deras menjadi lebih terasa kehadirannya, meski tak kan pernah bisa melihat penampakannya.  


Seusai membayar semua makanan, pak Edy mengajak kami kembali ke Blok B, untuk selanjutnya masuk ke kamar masing-masing.


Ketika akan masuk kamar, langkahku spontan terhenti. Rudy tengah duduk di tengah pintu sambil makan.


“Ngapain kamu makan duduk di tengah pintu gini, Rud?” tanyaku, terheran.


“Biar dapet angin, om. Panas di dalem,” kata dia, sambil terus menikmati makan siangnya. Dari catering langgananku.


“Panas apaan? Kenapa nggak kamu hidupin itu kipas anginnya,” kataku lagi. 


“Rudy kan masih belum fit bener, om. Kalau kena kipas angin, nanti malah nggak sembuh-sembuh,” jawab Rudy.


“Kipasnya jangan diarahin ke posisi kamu dong. Arahin aja ke tembok, kamu dapet pantulan anginnya. Masak gitu aja harus diajarin sih, Rud,” ujarku, mulai emosi.


“Iya juga ya, om. Maaf om. Nggak kepikir sama Rudy,” ujarnya, dan buru-buru mengatur posisi kipas angin yang ada di ruang depan.  


Sambil masuk ke dalam kamar, aku mengucap istighfar di dalam hati. Memang kalau tidak sabar-sabar, ada saja yang bisa mendadak melecut tidak terkendalinya emosi.


“O iya, om. Rudy lupa kasih tahu. Semalem om dapet kiriman burung dara bakar. Cuma kepala semua. Ada 10 potong kepala,” kata Rudy, beberapa saat kemudian dan membuka lemari tempat makananku.


Saat melihat tumpukan kepala burung dara di dalam piring yang dipegang Rudy, aku tersenyum. Setelah menerimanya dan mengucap Alhamdulillah, ku serahkan lagi piring berisi 10 kepala burung dara itu ke Rudy.    


“Kok dikasih ke Rudy lagi, om. Emang om nggak mau makannya?” ucap dia, menatapku.


“Buat kamu aja, Rud. Om sudah makan barusan di kantin,” jawabku. Pendek.


“Alhamdulillah. Terimakasih ya, om. Enak lo gadoin kepala burung dara itu, om,” kata Rudy lagi dan mulai menikmati kepala burung dara bakar.


Melihat keasyikannya menggigit-gigit kepala burung dara itu, aku tersenyum. Dan meninggalkan Rudy untuk masuk ke kamar. Merebahkan badan. Istirahat siang.


Ternyata cukup nyenyak tidur siangku. Sampai suara adzan Ashar pun tidak aku dengar, hingga akhirnya Rudy menepuk-nepuk telapak kakiku. Membangunkan.


“Nyenyak amat tidurnya, om. Adzannya sudah dari tadi. Kirain Rudy, om sudah ke masjid,” kata Rudy ketika aku membuka mata.


“Jadi sekarang sudah mulai solat ya di masjid?” tanyaku, sambil mengucek kedua mata yang masih berat.


“Sudah selesai solatnya, om. Lagi kultum kayaknya. Maaf, om. Tadi Rudy nonton tivi di depan kamar 25. Jadi nggak tahu kalau om masih tidur,” jelas dia.


Tanpa menjawab perkataan Rudy, aku turun dari lantai tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Berwudhu. Setelah melaksanakan solat Ashar di kamar, aku keluar kamar. Ingin bermain tenis meja di depan kamar 25. Tempat bos besar berada.


“Kemana aja bang? Kayaknya sudah seminggu kita nggak setemuan,” sapa bos besar, sang bupati muda usia, dengan ramahnya.


“Ya adalah, Bos. Disini-sini aja. Nggak mungkin juga kan aku keluyuran di luar rutan,” sahutku, sambil tertawa.


“Bisaan aja abang ini. Kangen sebenernya ngobrol bercandaan sama abang. Cuma pikiranku juga lagi ruwet, jadi males keluar kamar,” kata bos dengan suara serius.


“Apalagi yang diruwetin sih, Bos. Lepas-lepasin aja semua yang ganggu kenyamanan pikiran dan perasaan,” kataku, mencoba mencairkan suasana.


“Pengennya sih gitu, bang. Tapi tetep ada aja ruwet di pikiran ini,” tanggap sang bupati.


“Kita main pingpong aja yok, Bos. Lepas-lepasin keruwetan itu,” ajakku seraya mengambil bed yang ada di kursi depan kamar bos.


“Nggak seru kalau main pingpong sekarang ini, bang. Enakan jogging aja yok. Kelilingi lapangan sampai capek. Setelah habis maghriban bisa tidur nyenyak nanti,” tutur Bos, kemudian.


Atas nama pertemanan, akhirnya aku pun bersepakat untuk kami berolahraga jogging mengelilingi lapangan sepakbola. Keluwesanku dalam bersikap ini juga, karena ingat pesan istriku Laksmi: jangan merendahkan diri untuk mendapatkan sesuatu, tetapi rendahkanlah hati untuk memberi sesuatu.


Keruwetan pikiran dan kegundahan perasaan sang bupati, ternyata menambah kekuatan fisiknya. Setelah 25 kali memutari lapangan, baru ia kelihatan kelelahan. Sementara, aku sendiri sudah ngos-ngosan. Nyaris putus napas rasanya. (bersambung)

LIPSUS