Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 267)

Sabtu, 24 September 2022


Oleh, Dalem Tehang

   

SAMBIL bersandar pada tiang selasar, aku dan sang bupati menikmati air mineral botol yang dibawakan OD kamarnya. Karena keringat membuat kaosku basah kuyup, akhirnya ku lepas dari badan. Menghindari masuk angin.


“Abang perhatiin yang main volly itu. Kelihatannya yang sebelah kanan bagus mainnya. Masing-masing pemainnya pinter manfaatin peluang. Tapi nurut hitunganku, tim itu bakal kalah,” kata Bos, sambil matanya terus mengarah kepada dua tim yang tengah bermain volly, sekira 10 meter dari tempat kami duduk. 


“Bagus mainnya kok bakal kalah, gimana ceritanya, Bos?” tanyaku, yang akhirnya juga melihat dengan cermat kedua tim volly yang tengah bertanding tersebut.


“Karena mereka lebih ngedepanin kemampuan personalnya, bang. Sebagai sebuah tim, nggak ada kekompakannya. Kepentingan pengen dapet nama atau dikenal aja yang buat mereka nunjukin main bagus itu,” jelas sang bupati. 


Aku pun mencermati gaya permainan tim volly yang dikatakan Bos. Dan ternyata benar. Ketika lawannya melakukan perlawanan sengit dengan kekompakan pemainnya, tim yang semula unggul itu akhirnya mengalami kekalahan.


“Hebat perhitungan Bos. Bisa pas kayak gitu analisanya. Kocar-kacir habis pemain tim sebelah kanan. Bahkan kayak baru bisa main volly aja. Padahal tadi banyak yang punya pukulan kenceng menggelegar,” kataku, seusai pertandingan volly dimenangkan tim sebelah kiri.


“Analisaku itu dari pengalaman aja sebenernya, bang. Sekuat apapun sebuah tim, kalau yang ditonjolin ego personal dan kepentingan pribadi, pasti nggak bakal menang,” ucap Bos, sambil tersenyum.


“Tapi bukannya justru kemampuan personal itu yang dibutuhin buat bikin tim yang tangguh, Bos?” tanyaku.


“Itu nggak salah, bang. Tapi yang lebih penting adalah kesadaran buat nyatuin hati dan pikiran kalau semuanya berada dalam satu tim. Baru kemampuan menyusul. Jangan dibalik,” tanggap Bos.


“Nggak mudahlah Bos buat nyiptain tim kayak gitu. Lagian, kepentingan pribadi kan susah dilepasin. Apalagi kalau masih pengen dapet nama sendiri,” ucapku, menyela.


“Itu emang masalahnya kalau kita bicara ngebentuk tim, bang. Mau nggak mau, ego atau kepentingan pribadi ya harus disingkirin. Yang diduluin kebersamaan tim. Cuma aku sendiri, walau paham teorinya, tapi nggak bisa bentuk tim yang solid, yang berkarakter, punya integritas, dan loyalitas tinggi,” beber Bos dengan suara pelan.


“Yang Bos alami emang kayak mana?” tanyaku, tertarik dengan pernyataan sang bupati. 


“Kayaknya sih di depanku, tim itu emang solid. Berkarakter, punya dedikasi, dan loyalitas tinggi. Tapi begitu aku, katakanlah sebagai kapten tim kena masalah, masing-masing anggota tim nyelametin dirinya. Bahkan banyak yang ngaku nggak pernah masuk dalam timku. Sakit hati sebenernya aku sama kenyataan itu. Tapi seiring perjalanan waktu, aku ketawain aja. Ternyata, begitu rendah mental mereka,” urai Bos, dengan suara serius.


“Artinya, kepentingan pribadi itu tetep yang utama ya, Bos,” tanggapku.


“Iya, kenyataannya emang gitu, bang. Maka bener kata orang, kalau dunia politik itu kebersamaannya karena kepentingan. Bermusuhannya pun karena kepentingan. Itulah akhirnya dikenal dengan sebutan nggak ada kawan atau lawan abadi, karena yang ada hanya kepentingan,” lanjut Bos.


“Aku rasa sih bukan cuma dunia politik aja yang ngedepanin kepentingan pribadi itu, Bos. Tapi ya semua lini hidup ini. Cuma, karena selama ini Bos banyak berkecimpung di dunia politik, maka kesana larinya,” kataku, menimpali.


“Gitu ya, bang. Aku kira, hanya di dunia politik aja kepentingan pribadi itu yang dominan,” ucap Bos.


“Nurut pengamatanku, semua sisi kehidupan ini pasti munculin kepentingan pribadi duluan, Bos. Lha, tadi aja yang tanding volly, Bos bilang masing-masing pemain pengen nunjukin kehebatannya sendiri, kan terbukti. Orang pengen jadi tamping sampai mau bayar jutaan, kan karena kepentingan pribadinya jelas, biar bisa lebih bebas keluar masuk kamar selnya. Gitu juga yang jadi OD, kan nyata-nyata ada kepentingan pribadinya, biar bisa tetep hidup sewajarnya di rutan ini,” kataku, mengurai. 


“Bener juga ya, bang. Jadi salah ya aku, kalau selama ini ngenilai cuma dunia politik aja yang kepentingan pribadinya lebih diutamain ketimbang kebersamaan. Karena nyatanya, emang semua lini kehidupan ini pasti diisi sama kepentingan pribadi itulah,” tutur Bos, beberapa saat kemudian.


“Sebenernya nggak salah juga, Bos. Karena dunia politik itu kan emang dunia Bos selama ini. Makanya Bos paham bener sama dunia itu,” ujarku.


“Kok abang bisa paham kalau semua sisi kehidupan pasti diisi sama kepentingan pribadi, gimana ceritanya?” tanya Bos, sambil menatapku dengan serius.


“Ngamatin aja sih, Bos. Ya dari ngamati kehidupan sehari-hari di rutan inilah. Disini kan kayak dunia kecil, Bos. Seribu lebih orang dengan karakter yang berbeda-beda, dengan latar belakang pendidikan, profesi, dan kemampuan maupun pengalaman kehidupan masing-masing, dipaksa oleh keadaan untuk menyatu di tempat ini. Yang aku amati, tetep aja pada akhirnya kepentingan pribadi itulah yang diutamain, Bos,” tuturku panjang lebar.


“Bener juga, bang. Ngapain kita cari kesimpulan dengan ngurai apa yang kita alami selama di luar ya, kalau kenyataannya di dalem ini lebih banyak yang bisa kita jadiin pelajaran,” ujar Bos, setengah bergumam.


“Ya nggak salah juga nelaah pengalaman selama kita hidup di luar, Bos. Apapun itu, semua pernah kita alami. Tapi kenyataan kalau kita lagi di dalem, ya nggak salah juga kalau kita jadiin tempat belajar, sekaligus nyari pengalaman dari sisi lain. Dan sebenernya, sadar nggak sadar, sekaranglah mata kita terbuka lebar, kalau ternyata dunia ini sempit,” kataku lagi.


“Maksudnya dunia sempit itu kayak mana, bang?” tanya Bos, sambil mengernyitkan dahinya.


“Bos bayangin aja, isi rutan ini kan nggak kurang dari 1.300 orang. Segitu banyak orang, cuma diem di lahan nggak lebih dari empat hektare. Ditempatin di kamar-kamar. Dikurung dengan tembok keliling setinggi delapan meter. Hidup, makan, mandi, sampai ada yang mati pun disini. Tapi, di tempat sempit ini ada ribuan karakter manusia, ada ribuan kebiasaan, ribuan perilaku, dan sebagainya. Yang semuanya bisa nyatu karena dipaksa oleh keadaan dan lingkungan. Nah, ini semua kan bisa kita jadiin pelajaran. Sempitkan sebenernya dunia ini, kalau mau kita pelajari,” kataku kembali mengurai.


“Inilah yang aku suka dari abang. Sering berpikirnya terbalik dari kelaziman. Makanya aku sering kangen, pengen ngobrol-ngobrol dan diskusi kayak gini,” ucap Bos, seraya tersenyum. 


“Anggep-anggep aja kita latihan berpikir keluar dari teori yang selama ini ada, Bos. Toh, sepanjang nggak nyakitin orang, apapun yang jadi pikiran kita nggak bakal nimbulin masalah. Lagian, jangan karena badan terkurung, terus otak kita jadi tumpul. Justru harus terus diasah, Bos,” lanjutku dengan bersemangat.


Bupati berusia sekitar 42 tahun itu tampak tersenyum. Matanya terus menatap wajahku. Sesekali ia mengangguk-anggukkan kepalanya. 


“Ngomong-ngomong, sebenernya apa kepentingan pribadi abang dengan nyampein semua tadi. Kan kata abang, pasti kepentingan pribadi itu diduluin,” kata Bos, sambil terus menatap wajahku dengan serius.


“Ngebuat Bos biar lupain keruwetan yang lagi dirasain aja. Kan dengan aku ngomong ngalor-ngidul yang kata Bos terbalik dari kelaziman itu, akhirnya pikiran Bos teralih dari hal-hal yang bikin ruwet pikiran,” jawabku, dengan cepat.


Spontan Bos tertawa ngakak. Dan melemparkan botol air mineralnya yang sudah kosong ke badanku. Aku pun tertawa. Sesaat kemudian ia berdiri dari duduknya, dan bergerak untuk merangkulku. Aku pun buru-buru berdiri. Membiarkan ia merangkul badanku yang tanpa memakai kaos serta masih berkeringat. Aku tahu, itu cara dia mengekspresikan rasa bahagianya. 


“Om Mario sama Bos ini kayak Upin Ipin aja rangkulan gitu,” tiba-tiba sebuah suara mengejutkan kami yang masih berangkulan. Ternyata, sipir Almika telah berdiri di dekat kami sambil tersenyum lepas. 


“Kamu nggak tahu Mika, gimana cerdiknya om kamu ini buat aku lupa sama keruwetan pikiran selama beberapa hari ini,” kata Bos, sambil melepaskan rangkulannya ke badanku.


Sipir Almika menatapku dengan pandangan penuh keheranan. Melihat ekspresinya, aku pun tertawa. 


“Emang apa ceritanya, om?” tanya sipir Almika, tetap menatapku.


“Ya Bos kan bilang, kalau pikirannya lagi ruwet. Om jawab, ngapain mikirin si ruwet. Kan dia sudah bebas minggu kemarin,” sahutku, tetap sambil tertawa.


Akhirnya, kami bertiga pun sama-sama tertawa. Sampai terpingkal-pingkal. (bersambung)  

LIPSUS