Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 268)

Minggu, 25 September 2022


Oleh, Dalem Tehang    

 

NAH kan Mika. Kamu denger sendiri gaya om kamu ini. Ada aja isi mulutnya yang buat kita ketawa,” kata Bos, masih sambil tertawa.


“Jarang-jarang lo om Mario ngomong yang buat ketawa gini, Bos. Berarti emang om Mario bener-bener mau ngehibur Bos,” tanggap Almika, dengan tersenyum.


“Jadi gini, Mika. Bos tadi cerita, gimana kuatnya kepentingan pribadi di dunia politik. Katanya, nggak ada kawan atau lawan yang abadi, karena yang ada cuma kepentingan. Nah, itu semua buat Bos makin ruwet pikirannya. Apalagi, timnya yang dulu sudah cerai-berai. Nyelametin badan masing-masing. Nggak ada lagi yang mau merhatiin dia,” tuturku mengurai.


“Emang urusan politik ngeselin gitu ya, Bos?” tanya Almika, menatap ke arah Bos yang berdiri santai.


Sang Bos yang masih menjabat bupati itu, hanya tersenyum kecil. Sesaat kemudian, wajahnya tampak berubah. Memerah. Menahan rasa kesal dan letupan amarah.


“Kalau nurut aku, Bos. Sebenernya dunia politik itu bisa dibuat asyik. Caranya, ubah pandangan negatif selama ini. Yang dunia politik itu penuh intrik, berpembawaan saling curiga, penuh ekspresi prengat-prengut, dan saling jegal. Kemas aja, kalau urusan politik sekarang penuh dengan suasana yang riang-gembira, yang bersorak-sorai, yang penuh canda tawa, dan ngebebasin anggota tim buat lakuin apa aja, yang penting positif buat semuanya,” kataku, beberapa saat kemudian.


“Nggak gampang ngerubah persepsi itu, bang. Diperluin keseriusan tokohnya. Juga kesepahaman anggota tim,” ucap Bos, menyela.


“Ya, kan emang urusan dunia ini nggak ada yang gampang, Bos. Apalagi kalau dipikirin terus. Makin kepikiran, makin ruwet itulah. Makanya, jangan serius-serius amat mikirin soal dunia. Karena sudah ada yang ngaturnya,” tanggapku.


“Ah, sudah dulu diskusinya. Ayo, kita balik ke kamar, bang. Sudah mau maghrib,” kata Bos, sambil menarik tanganku. Bergerak dari selasar untuk kembali ke kamar.


“Kami ke kamar dulu ya, Mika. Kalau lagi bete di menara jaga, main aja ke kamar om,” ujarku kepada sipir Almika.


“Siap, om,” sahut Almika, dan berjalan menuju menara jaga di bagian belakang rutan.  


Sesampai di kamar, aku langsung mandi. Seusai berganti pakaian dan memakai kain sarung, duduk di kasurku. Membaca Alqur’an. Mengisi waktu menunggu adzan Maghrib dengan menelaah isi kandungan kitab suci. Begitu panggilan untuk solat berkumandang, aku tutup Alqur’an, dan berjalan ke masjid.


“Rudy ikut ke masjid ya, om. Sudah sehatan sekarang,” kata Rudy, yang terburu-buru masuk kamar mandi untuk berwudhu.


Aku dan Rudy jalan berdampingan menuju masjid. Solat Maghrib petang itu tampak lebih sedikit jamaahnya. Jauh dari hari-hari biasanya. Selepas solat jamaah, sempat aku ingin menanyakan hal tersebut kepada ustadz Umar. Namun, Rudy mengajakku untuk segera ke kamar.


Kembali aku melanjutkan membaca Alqur’an setelah sampai di kamar. Rudy juga mengulang pelajaran membaca kitab suci seperti yang telah diajarkan oleh pak Anas. Suara kami cukup kencang. Terdengar sampai di luar kamar. Kami berhenti melakukan kegiatan tersebut saat terdengar adzan Isya dari masjid.


“Mau ke masjid, om?” tanya Rudy.


“Ya iyalah, Rud. Emang mau ngapain juga kalau nggak jamaahan di masjid,” jawabku, tegas.


“Rudy izin solat di kamar aja ya, om,” kata dia. Aku hanya menganggukkan kepala. Dan setelah berwudhu, aku langsung ke masjid.  


Ustadz Umar menyampaikan kultum begitu solat berjamaah selesai. Dengan suara khasnya, ia menyatakan, perlu keikhlasan dalam menjalankan ibadah.


“Sebab, ketika kita khawatir amalnya tidak diterima oleh Allah, maka rasa khawatir tersebut memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dibanding amal itu sendiri,” kata ustadz Umar. 


Ia mengingatkan, jika ada tokoh agama yang mengatakan, untuk apa solat kalau tidak khusu’, maka jangan didengarkan.


“Karena keinginan untuk menjadi sempurna itu, bentuk keangkuhan manusia. Datanglah kepada Allah dengan segala persoalan dan kelemahan kita. Dengan merangkak dan terseok-seok pun tidak mengapa,” lanjut ustadz Umar.  


Ia menguraikan, berubahnya seorang manusia karena tiga hal. Yaitu, disebabkan ia tengah dekat dengan kekuasaan, dilanjutkan dengan sebab ia berkuasa, dan yang terakhir, disebabkan oleh kekayaan yang ia miliki setelah sebelumnya hidup miskin.  


Mengakhiri kultumnya, ustazd Umar yang merupakan dosen sebuah perguruan tinggi itu, mensitir perkataan filosof Muhammad Jalaluddin Rumi, untuk dijadikan perenungan. 


“Bila kamu ingin mempelajari suatu rahasia, hatimu harus melupakan tentang rasa malu dan martabat. Kamu adalah orang yang dicintai Tuhan, namun kamu mengkhawatirkan apa yang orang katakan,” tutur ustadz Umar, kemudian. 


Sesampai di kamar, seperti biasanya, aku langsung menulis catatan harian di buku yang memang secara khusus aku persiapkan. Termasuk mencatat semua isi kultum rutin yang disampaikan ustadz Umar. Dan setelah merapihkan kain sarung, juga membersihkan tempat tidur, aku mengajak Rudy untuk makan malam.


Usai Rudy mencuci piring yang kami gunakan untuk makan malam, aku minta dia menutup pintu kamar dan duduk di kursi ruang depan. Karena aku akan telepon istriku.


“Santai aja sih, om. Nggak perlu mantau luar juga kalau om mau telepon mah,” ucap Rudy. 


“Ya emang nggak masalah sih, Rud. Cuma kan jangan nyolok amat kalau om lagi teleponan pas ada sipir yang muncul. Tetep saling ngejaga dan ngehormati itu lebih baik, ketimbang dianggep nggak tahu diri,” balasku.


Rudy pun memahami bagaimana aku mengedepankan kewaspadaan dan menjaga kesepahaman. Akhirnya ia mengikuti permintaanku. Menutup pintu kamar dan ia duduk di kursi ruang depan. Memantau keadaan. 


“Assalamualaikum, bunda,” kataku, begitu hubungan telepon tersambung.


“Waalaikum salam. Ayah sehat terus ya. Alhamdulillah, kami semua sehat. Ini baru selesai makan malem. Ayah sudah makan apa belum?” kata istriku Laksmi dengan nada penuh ceria.


“Alhamdulillah, ayah sehat. Syukur semuanya sehat ya. Ayah juga barusan makan. Makan malemnya pakai apa ya, bunda,” sahutku.


“Syukur kalau ayah sudah makan. Jangan telat-telat makannya ya, ayah. Tetep jaga kondisi badan. Kami makan pakai tongseng, tempe goreng, cumi goreng ditambah ayam goreng. Cah ragil ayah kan pemakan ayam goreng, jadi harus selalu ada ayam goreng,” urai istriku. 


“Alhamdulillah. Kok ada tongseng? Bunda beli ya,” ucapku.


“Iya, tadi sore bunda kan temeni anak-anak beli buku bacaan. Sekalian beli lauk. Nduk ayah pengen makan tongseng, katanya inget ayah yang suka sama tongseng,” kata istriku, tetap dengan suara ceria.


“O gitu, syukur kalau anak-anak mau rasain juga makanan kesukaan ayah. Besok siang kan ayah sidang, kalau sempet bungkusin tongseng ya, bunda. Biar ayah bawa ke kamar, buat lauk makan malem,” pintaku.


“O, ayah pengen juga to rupanya, oke besok bunda bawain. Besok bunda tetep sama Laksa ke pengadilan dampingi ayah. Ayah yang tenang ya. Berdoa aja. Ini nduk ayah mau ngomong,” ujar istriku lagi.


Dan sesaat kemudian, terdengar suara Bulan, anak gadisku satu-satunya.


“Ayah, kok jarang telepon sih? Nggak aman ya?” tanya dia, begitu kami bicara.


“Sebenernya aman-aman aja sih, nduk. Cuma kadang ayah nggak enak aja kalau mau telepon sering-sering,” kataku. Apa adanya.


“Ayah nggak boleh ngerasa nggak enak gitu. Sepanjang aman, ya telepon-telepon ajalah. Kami kan nggak tahu gimana kondisi ayah di dalem, maka kami nggak berani setiap saat telepon. Jadi, ya harus ayahlah yang telepon,” ucap Bulan dengan suara tegas.


“Oke, nduk. Nanti ayah usahain sering telepon yo. Sing penting, tetep saling doa. Inget, sekolahmu yang utama dan ojo tinggal solat,” jawabku.


“Iya, ayah. Yang penting ayah tetep jaga kondisi badan. Nggak boleh sakit-sakit. Mbak nangis kalau sampai ayah sakit. Doa mbak nggak putus buat ayah dan ayah pasti kuat ngadepin situasi apapun,” sambung Bulan, dengan nada tegas dan tegar.


Ketegasan dan ketegaran Bulan sontak membuat semangatku membara. Meyakini jika tiada derita yang tidak berakhir, dan tiada keterpurukan yang tak menemui jalan kebangkitan. (bersambung)

LIPSUS