-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 270)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Selasa, 27 September 2022


Oleh, Dalem Tehang

 

MAAF kalau Mika saranin om main. Karena kenyataannya, emang banyak terdakwa yang pasti cari peluang buat ngeringanin hukumannya. Coba aja om tanya kawan-kawan yang mau sidang besok. Mika yakin, mayoritas pasti main,” tutur sipir muda usia berbadan gagah itu, penuh ketenangan.


“Saranmu bagus, Mika. Om hargai bener. Nanti om obrolin dulu sama tante dan keluarga ya. Karena, inti dari ikut permainan itu kan perlu uang. Kalau om, dalam kondisi kayak gini, ya mana punya uang,” jawabku, dengan hati-hati.


“Mika paham kok, om. Mika saranin juga, om terus jaga ketenangan dan kesabaran. Makin lama om di dalem, makin banyak aja ujiannya. Bukan cuma om yang rasain, tapi juga keluarga,” imbuh Almika.


Tamping waserda dengan gerobak berisi makanan yang dijajakannya, masuk Blok B. Almika berteriak, meminta dua bungkus minuman bandrek dan roti bakar. Aku bergerak ke kamar, akan mengambil uang sekalian gelas dan piring.


“Om, biar Mika yang bayar,” ujar Almika, dan langsung mengeluarkan uang dari kantong celananya.


Perbincangan kami terus berlanjut, sambil sesekali meneguk minuman bandrek dan mengunyah roti bakar. Yang mahal tapi memang lumayan enak. Tepat tengah malam, Almika baru saja akan berpamitan saat seorang tamping keamanan masuk ke Blok B dan menemuinya.


“Dipanggil komandan, pak. Ada tim razia gabungan masuk,” kata tamping itu kepada Almika.


“Oke. Mika pamit ya, om. Tetep jaga kesehatan dan terus kendaliin diri aja. Mika yakin, om akan baik-baik aja,” ucap Almika dan menyalamiku.


Baru saja Mika melangkah, belasan orang masuk ke Blok B dengan langkah cepat dan berjalan tegap. Beberapa di antaranya memakai pakaian dinas sipir, namun banyak pula yang memakai atribut Polri dan BNN.


“Ini bapak ngapain diluar?” tanya salah satu petugas berpakaian BNN, saat melihatku masih berada di luar kamar.


“Kami baru selesai ngobrol, pak. Ada yang kami diskusiin,” kataku, sambil menunjuk sipir Almika.


“Apa yang kalian diskusiin?” tanya petugas itu lagi, dengan nada curiga.“Besok kan om ini mau sidang. Jadi tadi kami bicara soal langkah-langkah ke depannya,” Almika menjelaskan.


“Oke. Sekarang bapak masuk kamar. Saya minta semua kamar dijaga di depannya oleh satu petugas. Pantau gerakan yang mencurigakan,” lanjut petugas berpakaian BNN itu, seraya memandang kepada belasan orang yang berdiri tegap di belakangnya.


Seluruh petugas bergerak dengan cepat. Menjaga masing-masing kamar yang ada di Blok B. Dino dan Basri buru-buru masuk ke kamar dan langsung merebahkan badan di kasur masing-masing.


Aku duduk di ruang depan. Karena masih ingin menikmati minuman bandrek yang tersisa, juga roti bakar. Petugas razia dari BNN yang tadi menegurku, berdiri di balik jeruji besi. Menatapku dengan tajam.


“Bapak belum bisa tidur, atau memang biasa begadang dan baru tidur pagi hari?” tanya petugas itu, dengan wajah serius.


“Biasanya juga sudah tidur, pak. Ini tadi karena beli bandrek dan roti bakar, sayang kalau nggak dihabisin. Mubazir,” jawabku, dengan santai.


“Kamar ini isinya berapa orang?” tanya dia lagi.


“Empat orang, pak!” sahutku, pendek.


“Kok sedikit sekali isinya?” ucapnya, dengan nada heran. 


“Karena kamarnya memang kecil, pak. Itu aja yang satu tidurnya di lantai depan ini,” jelasku, sambil menunjuk Rudy yang tergeletak dalam kenyenyakan tidurnya.


Tampak petugas BNN tersebut penasaran. Ia membuka pintu kamar, dan masuk ke dalam. Melihat kondisi kamar dengan berkeliling. Matanya tampak sangat cermat. Tidak hanya itu. 


Ia juga masuk ke kamar mandi. Memeriksa satu demi satu peralatan mandi dengan teliti. Pun kompor gas, teko listrik, juga magiccom tidak lepas dari pemeriksaannya.


Lemari pakaian dan tempat penyimpanan makanan yang menempel di dinding, juga dibuka. Diperhatikan dengan seksama. Baju-baju diangkat satu demi satu. Dan setelah diperiksa, ditaruh lagi seperti semula. Tidak dihamburkan ke lantai seperti jika petugas rutan yang melakukan pemeriksaan.


“Disini ada hp nggak?” tanya petugas itu, tiba-tiba. Aku menggelengkan kepala.


“Masak iya. Di kamar kepala blok nggak ada hp,” celetuknya, disertai senyum sinis. Aku merespon hanya dengan mengangkat bahu.


Mendadak petugas itu keluar kamar. Memanggil anak buahnya yang memegang alat pendeteksi telepon seluler. Ia ambil alat tersebut. Dan seluruh kamar, kembali disisir. Termasuk sekitar rak kecil memanjang yang dibaliknya ku sembunyikan hp pemberian sipir Almika.


Cukup lama petugas itu mendeteksi dengan alatnya di sekitar rak kecil, yang diatasnya ku taruh foto keluarga dalam bingkai nan cantik, juga Alqur’an dan beberapa buku bacaan. Termasuk kotak kecil tempat obat-obatan dan vitamin.


Sebenarnya, hatiku dag-dig-dug tidak karuan saat petugas BNN menyisir rak tersebut. Aku khawatir, keberadaan hp yang ku sembunyikan, terdeteksi oleh alat canggih itu. Namun, sampai ia selesai melakukan penyisiran, tidak terdengar tanda apapun dari alat yang dipegangnya.


“Bener kata bapak, kamar ini bersih. Sebenernya, kami ngerazia narkoba. Tapi, kalau ada barang terlarang masuk ke rutan, ya tetep kami amankan,” kata petugas itu, dan kemudian keluar kamar.


Lega hatiku saat ia telah keluar kamar. Alhamdulillah, ucapku dalam hati sambil mengusapkan kedua tangan ke wajahku. Pintu depan segera aku tutupkan kembali dengan rapat. 


Dan setelah menaruhkan gelas serta piring yang baru aku pakai untuk menikmati minuman bandrek dan roti bakar ke kamar mandi, aku pun naik ke kasurku.


“Alhamdulillah, nggak kedeteksi botol kita di balik rak ya, pak,” kata Basri dengan suara pelan. 


Aku sempat terkejut mendengar suaranya. Karena aku mengira, ia telah tidur. Ternyata, selama beberapa waktu ini, ia hanya mengatupkan matanya saja. Mengesankan tengah tidur nyenyak. 


“Iya, Alhamdulillah. Karena botol dalam posisi nggak aktif, jadi nggak terdeteksi sama alat itu,” sahutku, juga dengan suara pelan.


“Sebenernya nggak juga, pak. Mau nggak aktif juga, alat itu bisa ngebaca posisi botol dimana. Kecuali dimasukin kasur kayak punyaku sama Dino. Diselipin di tengah-tengah bagian dalem kasur,” kata Basri lagi, sambil membuka seprai kasurnya dan menunjukkan belahan kecil di sudut kasur untuk ia memasukkan hp-nya.  


Aku mengangguk-anggukkan kepala dan mengagumi kecerdikan Basri serta Dino. Begitu piawainya mereka menyimpan hp-nya.


“Kenapa kalau dimasukin kasur nggak terdeteksi sama alat tadi?” tanyaku, penasaran.


“Nggak tahu juga sih, apa alasan ilmiahnya, pak. Tapi itu juga harus kasur yang pakai kapuk lo, pak. Kalau kasur dari busa, ya tetep kedeteksi,” jawab Basri.


“O gitu. Jadi kalian emang selama ini sengaja pakai kasur dari kapuk, bukan yang busa, karena buat nyimpen botol ya,” ujarku, menyela.


Basri tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Aku kembali menganggukkan kepala berkali-kali, seraya tersenyum. Benarlah kata banyak orang, di saat kondisi terjepit, kreativitas bagi mereka-mereka yang bermental baja, akan terus berkembang.


“Kalau aku justru heran sama botolnya pak Mario. Kok nggak kedeteksi sama alat tadi. Karena pengalaman kawan-kawan sebelumnya, nyimpen di balik rak ini dalam kondisi nggak aktif pun, tetep ketahuan,” kata Basri, beberapa saat kemudian.


“Nah, aku juga nggak tahu kenapa. Kali alatnya pas nge-hank waktu dipakai buat ngedeteksi disini tadi,” sahutku, dengan enteng. 


Terdengar suara pintu kamar dibuka, dan suara sepatu laras masuk. Ternyata komandan pengamanan yang membantuku sejak awal masuk rutan, yang datang. 


“Aman aja kan, pak?” tanya dia, sambil menatapku. Yang masih duduk di atas kasur.


“Alhamdulillah aman, dan,” jawabku, pendek.


“Syukur kalau gitu. Ya sudah, istirahat aja. Nggak usah pengen ngelihat atau pengen tahu, apa yang lagi terjadi di kamar lain,” sambung sang komandan, dan beranjak meninggalkan kamarku.


Sekeluarnya komandan pengamanan rutan, aku pun merebahkan badan. Dan membaca beragam doa sebelum menutupkan mata. Menikmati kematian sesaat dalam kondisi lingkungan yang tengah tegang. (bersambung) 

LIPSUS