-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 271)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Rabu, 28 September 2022


Oleh, Dalem Tehang


RUDY membangunkanku saat adzan Subuh menggema dari corong masjid. Meski masih merasakan kantuk, namun aku paksa untuk membuka mata dan segera bergerak ke kamar mandi. 


“Ayo lagi, Rud,” kataku, setelah mengambil kain sarung dan kupluk.


Rudy yang masih malas-malasan dan kembali menaruhkan badan di kasur tipisnya setelah membangunkanku, akhirnya bergerak juga. Aku tunggu ia di depan kamar. 


Saat itu, situasi puluhan kamar yang ada di Blok B tampak sangat sepi. Hanya terdengar pada beberapa kamar yang penghuninya telah bangun dan akan solat subuh di kamar masing-masing.


Setelah Rudy keluar kamar, kami pun berjalan menuju masjid. Suasana rutan sangat lengang. Dari kejauhan, aku melihat puluhan orang anggota majelis taklim tengah solat sunah di masjid. Solat qobla subuh. 


Tepat saat aku dan Rudy memasuki masjid, solat berjamaah dimulai. Kami pun langsung bergabung di dalam barisan jamaah yang lain.


Dan seperti biasa, selepas solat Subuh berjamaah, ustadz Umar menyampaikan pencerahannya. Kuliah tujuh menit alias kultum yang amat aku tunggu setiap usai solat wajib di masjid.


Ustadz Umar menyampaikan betapa bernilainya melaksanakan solat. Karena demikian tingginya nilai bersujud itu, sehingga seorang ulama terkenal, Ibnu Taimiyah, sampai menyatakan bila orang yang tidak melaksanakan solat, lebih buruk kondisinya daripada pezina, pencuri ataupun pemabuk. 


“Sedang Syeih Shalih Al Utsmani pernah mengatakan, seseorang yang selalu mengerjakan kebaikan, ia juga bersedekah, baik pergaulannya, dan menyambung silaturahmi, namun tidak mengerjakan solat, maka semua perbuatan baiknya itu tidak bermanfaat sama sekali bagi dirinya di sisi Allah,” lanjut ustadz Umar.


Ia mengingatkan, Allah hanya memerintahkan manusia untuk solat dan sabar. Karena dengan dua hal tersebut, kenikmatan hidup di dunia dan akherat akan bisa didapat.


“Saya ingin menyampaikan pesan ulama Hasan Al Bashri, seperti yang ada di dalam buku Syu’abul Iman. Beliau berkata: carilah manisnya ibadah pada tiga perkara, yaitu solat, Alqur’an, dan doa. Jika kalian mendapatkannya, maka jagalah dan pujilah Allah akan hal itu. Namun bila kalian tidak mendapatkannya, ketahuilah bahwa pintu-pintu kebaikan telah tertutup atas kalian,” urai ustadz Umar.


Pria berusia 50 tahunan yang berprofesi sebagai dosen ini, mengajak semua jamaah untuk terus beristighfar. Karena hanya dengan permohonan ampunan tersebutlah, Allah akan menurunkan hidayah-Nya. 


“Senandungkan tiada henti istighfar di dalam sanubari kita. Yakinlah, Allah pasti akan menurunkan hidayah-Nya. Dan inshaallah, kita akan menjadi hamba yang taat dalam solat,” imbuh ustadz Umar.


Menutup kultumnya, ustadz Umar menyampaikan perkataan Imam Syafi’i mengenai tiga hal yang menunjukkan kemuliaan seseorang. 


“Yaitu, menyembunyikan kemiskinan sehingga orang lain menyangka jika ia kaya. Menyembunyikan kemarahan, sehingga yang lain menyangka ia ridha, dan menyembunyikan kesengsaraan sampai orang lain menyangka ia hidup nyaman.


Seusai mendengarkan kultum, aku berdiri untuk keluar masjid. Pada saat bersamaan, Danil pun menuju keluar. 


“Assalamualaikum, abangku,” sapa Danil, dan langsung menyalamiku.


“Waalaikum salam. Alhamdulillah. Wajahmu makin cerah sekarang, Danil,” jawabku, seraya tersenyum.


“Bener ya, bang. Alhamdulillah kalau bener,” kata Danil dengan senyum sumringah.


“Ya benerlah. Beda bener wajahmu sekarang. Bercahaya,” ucapku, apa adanya.


“Alhamdulillah, bang. Aku diajari ustadz Umar untuk jangan sampai batal wudhu. Jadi badanku harus terus suci, walau bukan saatnya mau solat,” beber Danil.


“O gitu. Bagus itu, Danil. Aku mau ikuti juga caramu ini,” tanggapku, dengan serius.


Tiba-tiba ustadz Umar telah berdiri didekat kami. Buru-buru aku menyalaminya dengan kedua tangan. Menghormati seorang guru. Pun Danil melakukan hal yang sama.


“Pak Mario sehat terus ya. Seneng saya kalau bapak ikut solat jamaahan terus,” kata ustadz Umar dengan ramah.


“Alhamdulillah, saya sehat, pak ustadz. Terimakasih banyak atas tausiyahnya selama ini. Banyak ilmu dan pengalaman yang saya dapatkan,” kataku sambil menatap ustadz Umar.


“Jadi begini, pak. Saya sebenarnya bukanlah seorang ahli ibadah, yang di dada ini penuh ilmu. Saya hanya sekadar ingin berbagi, agar kita sama-sama bisa merubah diri ke arah yang diridhoi Allah. Yang pasti, saya ini juga seorang pendosa yang sedang mencari pahala untuk bekal di akherat kelak,” tutur ustadz Umar dengan kalem.


“Tapi bener kok, pak ustadz. Saya banyak mendapatkan pencerahan berkat kultum atau tausiyah selama ini,” ucapku dengan serius.


“Alhamdulillah. Itu semua hidayah Allah. Itu rejeki dari Sang Maha Pemberi untuk pak Mario. Terus saja bersyukur, bersabar, dan ikhlas. Inshaallah, hidup di penjara ini akan bawa hikmah buat kehidupan selanjutnya,” tanggap ustadz Umar seraya tersenyum.


“Terimakasih wejangannya, pak ustadz. Inshaallah, saya bisa menjalankan petunjuknya,” kataku lagi.


“O iya, ada yang mau saya sampaikan kepada pak Mario. Untuk perenungan aja. Ini pesan Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam bukunya Mukhtasar Minhaj al-Qashidin. Beliau menyampaikan begini: Sadarilah, bahwa mayoritas orang berubah menjadi rusak agamanya, karena khawatir dengan komentar negatif orang-orang di sekelilingnya dan ingin mendapatkan pujian dari kawan-kawannya,” tutur ustadz Umar, sambil menatapku dengan tajam.


Aku mengangguk-anggukkan kepala. Mencoba memahami pesan dari ulama terkenal yang disampaikan ustadz Umar tersebut. Rangkaian katanya memang cukup sederhana. Namun penuh pesan yang tidak mudah untuk dipahami dengan mendalam, apalagi dilakoni.


Setelah ustadz Umar memasuki ruangan tempat koordinator majelis taklim, baru aku dan Danil keluar masjid.


“Hebat bener ustadz Umar itu ya, Danil. Bisa hapal ulama ngomong apa dan di buku apa. Alangkah senengnya kalau jadi mahasiswa dia,” ucapku saat kami berjalan menuju selasar.


“Buku pak ustadz emang banyak bener, bang. Dan dia kerjaannya baca buku itulah. Solat, wirid, baca buku. Cuma itu aja yang dia kerjain selama disini,” kata Danil. 


“O gitu. Boleh nggak pinjem salah satu bukunya ya?” tanyaku.


“Setahuku, nggak boleh, bang. Beberapa kawan pernah bilang mau pinjem bukunya, tapi nggak dikasih sama pak ustadz,” jelas Danil.


“Kenapa gitu?” tanyaku lagi.


“Nggak tahu juga aku, bang. Yang pasti, kalau sudah urusan buku, cuma pak ustadz sendiri yang boleh baca. Kalau sudah selesai dibaca, buku-buku itu dikirim ke rumahnya. Pas ada keluarganya besukan,” lanjut Danil.


“Ya sudah kalau gitu, Danil. Aku batalin niat mau pinjem buku sama pak ustadz. Ketimbang ditolak kayak kawan-kawanmu,” ujarku kemudian.


Sesampai di depan pintu Blok B, aku dan Danil pun berpisah. Aku memasuki pintu gerbang, ia melanjutkan langkah menyelusuri selasar untuk sampai ke Blok A. Tempat tinggalnya di kamar khusus anggota majelis taklim.


Ketika masuk ke kamar, Rudy sedang menyiapkan kopi pahit buatku. Dan akan dilanjutkan dengan membuat mie instan.


“Aku mau olahraga dulu, Rud. Taruh aja nanti kopi sama mie rebusku di meja taman. Jangan lupa sama air mineralnya,” kataku, dan setelah menaruhkan kain sarung serta kupluk, langsung keluar kamar lagi.


Saat memasuki sembilan putaran, tampak Aris dan Iyos baru memasuki area jogging di tepian lapangan sepakbola itu. Melihatku berjalan sendirian, mereka sengaja memperlambat langkahnya. Untuk bisa beriringan. (bersambung)

LIPSUS