Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 274)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Sabtu, 01 Oktober 2022


Oleh, Dalem Tehang


KEBERANGKATAN peserta sidang hari itu, memang lebih cepat. 80-an orang segera dinaikkan pada tiga kendaraan khusus tahanan. Setelah melalui proses administrasi dan pemeriksaan yang ketat.


Seperti sidang pertama, di dalam kendaraan, aku duduk menghadap ke belakang. Berposisi beradu punggung dengan sopir. Berbatas kaca berjeruji. Karena mendapat panggilan lebih dahulu dibandingkan tahanan lain untuk naik ke mobil. Di sebelahku, ada Aris dan Dika.


Kami bisa mendapat tempat duduk yang cukup strategis di dalam kendaraan tanpa AC itu, berkat pengaturan Aris melalui tamping regis yang mengurus keberangkatan tahanan menuju pengadilan. 


Tentu, pengaturan semacam ini tidaklah gratis. Karena tak ada harga yang tidak berbayar pada berbagai sisi kehidupan di dalam rutan. 


Begitu suara sirine meraung, kendaraan pun bergerak. Meninggalkan kompleks rutan. Berjalan beriringan. Membelah keruwetan lalulintas dengan mudahnya, karena sirine yang terus bersuara tanpa henti.


Aku lebih banyak diam sepanjang perjalanan. Karena hati sedang tidak nyaman. Melihat belasan tahanan yang terpaksa duduk di antara kursi tahanan lain yang bisa mendapat kursi. Itu pun banyak yang duduknya berpangkuan.


“Parah bener sekali ini ya, bang. Berjubelan kayak ikan asin aja kita ini,” ucap Dika, setengah berbisik.


“Kalau ikan asinnya, enak, Dika. Berjubelannya ini yang nyesekin hati,” tanggapku, dengan enteng.


“Nggak usah dikeluhin. Nikmati aja, Dika. Paling lama juga 10 kali kita naik mobil tahanan dengan kondisi kayak gini. Setelahnya, nggak lagi,” ujar Aris. Ada senyum kecut di sudut bibir mantan anggota Dewan Yang Terhormat ini. 


Kami pun diam lagi. Sementara, laju mobil tahanan cukup kencang. Acapkali meliuk-liuk membelah kemacetan. Tidak jarang tiba-tiba mengerem mendadak. Sekira 45 menit kemudian, kami sampai di gedung Pengadilan Negeri. 


Satu demi satu, kami diperintahkan turun dan langsung masuk ke sebuah ruangan sel yang memang tersedia. Dua sel khusus disiapkan untuk menampung 80-an tahanan yang hari itu akan bersidang.


Beberapa orang melaksanakan solat Dhuhur, setelah mengambil wudhu di toilet sederhana yang ada di dalam sel. Ada beberapa sajadah teronggok di sudut ruangan. Aku langsung membuka sepatu. Berwudhu dan ikut solat jamaahan.


“Kamu nggak solat, Dika?” tanyaku usai solat, kepada Dika.


“Airnya bau waktu mau wudhu tadi, bang. Jadinya malah pengen muntah,” sahutnya.


“Banyak orang yang wudhu nggak ada yang ngeluhin soal air, kamu aja yang bilang bau. Inget, kalau jarang solat, bakalan lebih cepet disolatin lo,” kataku.


Tanpa menjawab lagi, Dika membuka sepatunya. Dan buru-buru ke kamar mandi berukuran sangat kecil itu, untuk wudhu. Selama ia solat, aku terus memandangi anak muda yang memiliki potensi besar ini. 


“Serius amat ngelihat Dika, be. Kenapa?” tiba-tiba Aris melontarkan pertanyaan. Membuatku terkejut.


“Seneng aja ngelihat Dika ini, Ris. Anaknya selalu ceria, terus optimis, dan langsung bergerak kalau dikasih tahu yang bener,” ujarku, dengan santai.


Beberapa anggota keluarga tahanan mendekat ke teralis besi. Berbincang. Membawa bingkisan. Banyak yang saat itu mengisi waktu sebelum sidang dengan bercengkrama, dan makan siang. Suap-suapan melalui jeruji besi.


“Mana istrimu, katanya mau dateng?” tanyaku kepada Aris.


“Nanti kayaknya, be. Aku lupa kasih tahu, kalau mestinya dia ke depan sel aja. Kan ada tempat keluarga tahanan,” jawab Aris.


Ruangan sel berukuran sekitar 6 x 8 meter itu, sangat pengap. Karena berisi lebih dari 35 orang, dan tidak ada satu pun kipas angin. Juga tidak ada ventilasi untuk keluar-masuk udara selain jeruji besi.


Ditambah, banyak yang sedang asyik menghisap rokoknya. Melepaskan beban pikiran dan perasaan melalui dorongan asap dari mulutnya. Karena sekecil apapun, akan duduk di ruang sidang dengan posisi sebagai pesakitan, pasti membawa ketegangan tersendiri. 


Beberapa tahanan yang tidak merokok, tampak ingin menyampaikan protes. Namun, tidak menyuarakannya. Karena mereka menyadari, bila bertoleransi meski makan hati, lebih baik daripada melahirkan konflik sesama tahanan.


Satu demi satu, tahanan mendapat panggilan. Untuk keluar sel, memakai rompi warna merah dengan tulisan “Tahanan”, dan selanjutnya digiring ke ruang persidangan. 


Aku melihat jam di tangan. Pukul 13 lebih 30 menit. Istriku Laksmi dan adikku Laksa belum menunjukkan tanda-tanda kehadirannya. Kegelisahan pun perlahan melanda jiwa. Ku tundukkan kepala. Menatap lantai sambil berdoa. Memanggil istriku, Laksmi. 


“Bang, itu ayuk kan. Yang berdiri di tangga,” kata Dika, beberapa saat kemudian, sambil melihat ke arah tangga menuju ruangan sel tempat kami berada.


Aku berdiri dari duduk ndeprok di ruang sel penungguan sidang. Dan melihat ke arah tangga. Ternyata benar. Istriku Laksmi dan adikku Laksa, berdiri disana. Matanya tampak mencari-cari dimana posisiku. Karena saat itu, ada dua sel diperuntukkan bagi tahanan yang akan bersidang.   


Aku mendekat ke jeruji besi. Dan melambaikan tangan. Laksa melihat posisiku terlebih dahulu. Ia langsung memberitahu istriku. Begitu melihat posisiku, dengan langkah terburu-buru, istriku mendekat ke pintu masuk berkawat di depan sel, yang dijaga pegawai kejaksaan.


Tampak ia berbicara kepada pegawai kejaksaan yang bertugas menjaga tahanan. Dan beberapa saat kemudian, pintu depan dibuka. Istriku dan Laksa masuk. Mendekat ke sel, termpatku berada.


“Maaf, ayah. Kirain tadi belum sampai sini. Bunda sama Laksa malahan santai duduk di warung depan sambil ngobrol,” kata istriku, dan menyalamiku dari balik jeruji besi. Laksa juga menyalami, bahkan mencium tanganku.


“Emang berangkatnya lebih cepet tadi kok, bunda. Dhuhuran aja solatnya disini,” kataku, seraya mengelus-elus tangan istriku.


“Kok lebih cepet berangkatnya, kenapa, kak?” tanya Laksa.


“Yang sidang hari ini banyak, dek. Lebih dari 80 orang. Jadi berangkatnya dicepetin. Nggak tahunya, jadwal sidang ya tetep aja, setelah para hakim dan panitera selesai istirahat siang,” jelasku, seraya tersenyum kecut.


Aris dan Dika mendekat ke jeruji besi tempat kami berbincang. Dengan penuh hormat, keduanya menyalami istri dan adikku Laksa.


“Istrimu nggak dateng, Ris?” tanya istriku, Laksmi.


“Inshaallah dateng, yuk. Cuma dia kan nggak tahu kalau kami masuk sini dulu sebelum sidang. Jangan-jangan, dia malah nungguin di ruangan atas,” sahut Aris.


“O gitu, maka kasih info itu yang jelas, Ris. Ini aja ayuk sama adek Laksa dateng terlambat, karena nggak nyangka kalian sudah ada disini. Waktu sidang kemarin kan, berangkatnya dari rutan setelah solat Dhuhur. Ternyata sekarang dicepetin,” ucap istriku, Laksmi.


Adikku Laksa meminta pendapatku, apakah ingin segera di-bon untuk masuk ke ruangan khusus di bagian belakang, atau tetap di sel yang sekarang.


“Tanggung kayaknya, dek. Nanti aja abis sidang. Kan banyak yang sidang hari ini, inshaallah kakak duluan, jadi bisa lama nunggu semua selesai sidang. Kita bisa ngobrol lama juga,” kataku.


Istriku Laksmi sepakat. Ia memberikan salah satu bungkusan yang dibawanya. Untuk aku makan siang. Sedang yang lainnya, tetap ia pegang. Nanti saat aku akan kembali ke rutan, baru diberikan.


“Ayah makan aja dulu ya. Ini ada tongseng sama lauk lain, bunda pegang aja. Bunda sama Laksa ke atas aja ya. Sambil nunggu Makmun sama tim pengacaranya dateng,” kata istriku, Laksmi.


Beberapa saat kemudian, ia dan Laksa meninggalkan sel penampungan. Dan langsung naik ke ruangan atas. Tempat berbagai sidang digelar.  


Aku mengajak Aris dan Dika makan siang. Satu bungkus nasi berlauk telor bulat dan rendang, kami makan bertiga. Bukan soal kenyang yang menjadi ukuran, namun kebersamaan. 


Dan benarlah kata banyak orang, ada kalanya kita dipaksa untuk menerima suatu keadaan, tanpa perlu dimintai persetujuan. (bersambung)

LIPSUS