Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 275)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Minggu, 02 Oktober 2022


Oleh, Dalem Tehang    

  

PEGAWAI kejaksaan yang bertugas menjaga tahanan memanggilku. Setelah mencuci tangan di kamar mandi kecil sel penampungan, aku mendekat ke jeruji besi. Ternyata, ada jaksa yang menangani perkaraku.


“Pak Mario sehatkan? Siap untuk sidang?” tanya jaksa pria bertubuh kecil itu, dengan wajah serius.


“Alhamdulillah, sehat. Siap ikuti sidang, pak,” jawabku, dengan santai. 


Setelahnya, ia memberi isyarat kepada pegawai kejaksaan untuk mengeluarkanku dari sel. Dan usai memakai rompi warna merah bertuliskan “Tahanan”, aku mengikuti langkah jaksa dan pegawai. Menuju ruang persidangan.


Memasuki ruang sidang, telah ada istriku dan Laksa disana. Juga pengacaraku, Makmun, dan kawan-kawannya. Aku duduk berdampingan dengan istri dan adikku Laksa. Tangan istriku memegang erat telapak tanganku. Ada getaran. Pelan. Ada kegalauan yang tidak bisa disembunyikan.


“Bunda tetep tenang ya. Kita ikuti aja alur takdir ini dengan sabar dan ikhlas. Separah apapun ujian, nggak bakal di atas kemampuan kita ngatasinya,” ucapku, berbisik pelan kepada istriku.


Istriku tersenyum. Dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Mencari percik ketenangan. Aku elus kepalanya yang tertutup hijab. Menebar kasih sayang. 


Ada sekitar enam tahanan yang juga akan bersidang di ruangan itu. Mereka duduk dengan tegang, didampingi anggota keluarga masing-masing.


Jaksa memanggil pengacaraku, Makmun. Mereka berbincang sesaat. Dan kemudian, memintaku segera duduk di kursi depan. Kursi pesakitan. Dua hakim memasuki ruangan. Setelah bertanya tentang kondisi kesehatanku, prosesi sidang pun dibuka. 


“Karena ketua majelis hakim berhalangan, maka sidang hari ini ditunda. Dilanjutkan Senin pekan depan,” kata hakim yang membuka persidangan.


Ia melanjutkan, bila ketua majelis hakim yang berhalangan, maka sidang tidak bisa dilanjutkan. Terkecuali, ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat perintah baru. 


“Ketidakhadiran ketua majelis hakim hari ini, semata-mata karena ada keluarga dekatnya yang meninggal dunia. Jadi mohon dimaklumi. Dan sidang saya tutup,” lanjut hakim itu, seraya mengetuk palu.


Aku pun berdiri dari kursi pesakitan. Menyalami kedua hakim anggota, juga kedua jaksa penuntut umum. Aku dekati meja Makmun. Pengacaraku itu menyampaikan, merupakan hal yang biasa sidang ditunda, apalagi karena tengah ada musibah.


“Kami sudah siapkan eksepsi. Berarti minggu depan penyampaiannya. Mas terus jaga kesehatan ya,” kata Makmun, memberi penjelasan.


Pegawai kejaksaan yang mengawalku ke ruang sidang, memberi isyarat untuk aku kembali ke sel. Pada saat kami berjalan, Laksa menyampaikan kepada pegawai itu bila kami ingin menempati kamar sel khusus. 


Aku, istriku Laksmi, dan adikku Laksa langsung diarahkan pegawai itu untuk memasuki kamar sel khusus pada bagian belakang sel masa penungguan sidang. Ruangan yang pada sidang perdana juga menjadi tempat kami berkumpul.


“Alhamdulillah, malahane banyak waktu buat kita ngobrol-ngobrol ya, ayah. Ada aja cara Allah ngaturnya,” kata istriku, saat kami bertiga telah berada di kamar khusus.


“Iya, kita syukuri aja penundaan sidang ini ya, bunda. Nggak ada yang sia-sia,” sahutku, dan memeluk istriku dengan hangat.


Lebih dari dua jam, kami bercengkrama di ruang khusus tersebut. Sambil menikmati makanan kecil bawaan istriku. Sampai kemudian, seorang pegawai kejaksaan memberitahu agar aku segera naik ke kendaraan. Istriku melihat jam di tangannya. Ternyata memang sudah pukul 17 lebih. 


“Semua sudah naik mobil, bos. Tempat bos juga sudah dijagain sama kawannya,” kata pegawai itu kepadaku.


“Oke, terimakasih, pak. Sampai ketemu minggu depan,” ujarku, dan menepuk bahunya. Tanda pertemanan.


Sebelum berpisah, Laksa memberiku sebuah amplop. Berisi sejumlah uang. Ia langsung memasukkan ke kantong bajuku.


“Sekadar buat kakak beli rokok atau pas pengen makan di kantin,” ucap Laksa, sambil menyalamiku. 


Aku tak bisa berucap apa-apa. Seribu kata pun, tidak dapat mengimbangi perhatian dan dukungan lahir batin yang selama ini ditunjukkan Laksa kepadaku dan keluarga.


Setelah berpelukan dengan istri dan adikku Laksa, sambil membawa dua kantong plastik berisi makanan, aku melangkah. Keluar kamar sel khusus, menaiki tangga, dan masuk ke mobil tahanan. Aris langsung mempersilahkan aku duduk di sampingnya. Diapit Dika.


Dari jendela kendaraan berjeruji yang tidak berkaca, aku melambaikan tangan ke arah istriku, Laksmi, dan Laksa. Mereka pun melambaikan tangannya. Lemah.


Sempat aku melihat, istriku mengusap matanya. Menghapus air yang ada disana. Betapapun tegarnya seorang istri, tetaplah didera rasa sedih dan pilu saat berpisah dengan suami yang harus kembali masuk ke sel penjara.       


Setelah suara sirine meraung, tiga kendaraan tahanan bergerak meninggalkan kantor Pengadilan Negeri, untuk kembali ke rutan. Perjalanan beberapa kali melambat, karena sesaknya kondisi jalan. Bersamaan dengan pulangnya para pegawai dan karyawan. Tepat pukul 18.20, kami sampai di kompleks rutan.


Setelah dilakukan pemeriksaan ekstra ketat di ruangan P-2-O, satu demi satu kami memasuki halaman depan kantor rutan. Kembali mengikuti pemeriksaan yang dilakukan sipir pos penjagaan depan. 


“Apa aja isi kantong plastik ini, om?” tanya sipir yang akan memeriksa barang bawaanku.


“Makanan semua. Mulai dari tongseng, tahu tempe, nasi putih, sambel sampai kerupuk. Juga ada makanan-makanan kecilnya, dan minuman sasetan,” jelasku.


“Oke, aku nggak perlu buka lagi ya. Karena sebelumnya kan pasti sudah diperiksa di P-2-O. Ada nggak yang diminta disana,” lanjut sipir berusia sekitar 40 tahunan itu.


“Ada, tadi istriku juga bawain makanan lenggang sama pempek bakar. Diambil sama yang meriksa di P-2-O, bukan minta,” kataku, sambil tersenyum kecut.


Sipir itu hanya tersenyum. Dengan gerakan mengangkat bahunya, ia melangkah untuk memeriksa bawaan Aris, yang berdiri di sebelahku.


“Kalau bisa, Aris sama Dika yang di sebelahnya, nggak usah dibuka-buka lagi bawaannya, pak. Aku jamin bersih,” ujarku lagi.


Sesaat sipir itu memandangku. Ku anggukkan kepala. Ia tersenyum. Dan kemudian berjalan lagi. Melewati Dika yang kelihatan agak tegang, setelah pada pemeriksaan di P-2-O, barang pemberian pakleknya banyak yang disita petugas.


“Kamu paham arti senyuman sipir tadi, Ris?” tanyaku dengan suara pelan kepada Aris yang berdiri tepat di sebelahku.


“Paham, be. Aku aja yang beresin,” sahut Aris, dan segera merogoh kantong celananya. Mengambil selembar uang dan menggenggamnya dengan erat.


Seorang tamping regis mendatangi kami. Meminta dua bungkus rokok. Dengan alasan untuk komandan di pos penjagaan. Aris dan Dika menatapku. Meminta pendapat. Ku gelengkan kepala dengan cepat dan tegas.


“Gimana kalau dia maksa, bang?” tanya Dika, dengan pelan.


“Asal jangan maksa kita bertiga, biarin aja, Dika,” kataku, tetap dengan nada tegas. 


Tamping itu berdiri di depan kami bertiga. Menunggu kepastian. Aku menggelengkan kepala. 


“Bantu dululah, pakde,” kata tamping itu.


“Kamu minta ke yang lain ya. Jangan aku, Aris, dan Dika. Kan banyak yang lain, kenapa harus ke kami,” jawabku, santai.


“Nggak enak minta ke yang lain, pakde,” sahut tamping itu.


“Nah, ini yang nggak bener. Kamu ngerasa enak minta ke kami, tapi nggak enak sama yang lain. Kami punya rokok aja karena dikasih istri, enak amat kamu minta ke kami,” kataku, mulai dengan nada tinggi.


“Jangan pelit-pelit, pakde. Nanti dikerjain orang disini,” tamping itu nyeletuk.


Spontan tanganku bergerak. Memegang kerah bajunya. Mencengkeram lehernya.


“Sekali lagi kamu ngomong dengan nada ngancam, ku buat nangis darah kamu,” ujarku, dengan emosi.


Aris buru-buru melepaskan peganganku ke kerah baju dan leher tamping itu. Wajah tamping regis, memucat. Terkejut dengan ekspresi spontanku. Ku tatap wajahnya dengan amarah yang mulai meluap.


“Aku tahu kamu di kamar berapa. Jangan nyenyak-nyenyak kamu tidur ya. Aku gebukin begitu kamu selip,” kali ini aku yang menebar ancaman.


Dengan gerak cepat, tamping itu meninggalkan posisiku yang berdiri di dalam barisan, karena tengah menunggu tahanan lain yang masih menjalani pemeriksaan. (bersambung)

LIPSUS