-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 276)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Senin, 03 Oktober 2022


Oleh, Dalem Tehang


KENAPA jadi emosian ya babe sore ini. Padahal, belum makan tongsengnya. Gimana coba kalau sudah dapet suplemen daging kambing. Ada yang salah ngomong  dikit aja, jangan-jangan bisa meledak nggak karuan ini si babe,” kata Aris, sambil tersenyum.


“Sesekali ngegertak balikkan nggak apa-apalah, Ris. Masak kita digertak diem aja. Apalagi, tamping yang lakuinnya. Kalau sipir atau pegawai rutan, ya masih mikir-mikir juga,” tanggapku, dan tertawa. 


“Denger omongan abang tadi, aku jadi inget yang pernah disampein tunanganku lo,” kata Dika, menyela.


“Emang dia ngomong gimana, Dika?” tanya Aris, penasaran.


“Dia pernah bilang gini: jangan bicara kasar ke aku. Sekeras apapun watakku, sejudes apa juga sifatku, sebawel kayak mana juga bawaanku, hatiku tetep rapuh kalau dibentak,” urai Dika, sambil tertawa. 


Mendengar apa yang diucapkan Dika, aku dan Aris pun spontan tertawa. 


“Terus kamu jawab apa?” tanya Aris lagi.


“Ku bilang, bisa aja aku menyakitimu, seperti kamu menyakitiku. Tapi aku takut, kamu nggak sekuat aku,” jelas Dika, dan kali ini tertawa ngakak.


Saking kerasnya tertawa Dika, semua tahanan yang masih berdiri rapih mengikuti proses pemeriksaan sampai menengokkan wajahnya. Melihat ke arah anak muda berwajah ganteng ini. Banyak di antara mereka yang kemudian tersenyum. Tanpa tahu apa yang membuat Dika tertawa. 


Sadar menjadi perhatian, Dika pun menghentikan tawanya. Dengan menutup mulutnya memakai kedua telapak tangan.


“Kamu ini kebiasaan Dika. Kalau ketawa sering nggak mikir,” kata Aris, memberi teguran.


“Gimana dong, masak ketawa sambil mikir. Ya nggak bisalah, Ris,” sahut Dika, dan kembali menahan tawanya.


“Ya sudah, tahan ketawamu, Dika. Jangan kebablasan. Cukup ketawanya sebagai ekspresi stres karena banyak bawaanmu yang kena sita di P-2-O tadi,” kataku, menengahi.


Sontak, Dika kembali tertawa. Bahkan lebih nyaring suaranya. Sehingga sipir yang masih melakukan pemeriksaan, menengokkan wajahnya. Mencari sumber suara tertawa itu. Aku langsung mengangkat tangan. Memberi isyarat. Sipir itu hanya tersenyum, dan kembali melakukan tugasnya. 


Sekitar 20 menit kemudian, pemeriksaan pun selesai. Pintu gerbang yang berdiri menjulang tinggi dari kawat baja, pemisah halaman depan kantor rutan dengan kawasan steril bagi tahanan, dibuka. Aris bergerak, mendekati sipir dan meng-kimel-kan uang yang telah digenggamnya sejak tadi.


Kami kembali berjalan dengan rapih menuju pos penjagaan dalam. Untuk melapor kehadiran dan mengikuti pengecekan personil. Berdiri tegak dalam empat barisan, kembali diabsen satu-persatu. 


Sementara dari arah masjid, tampak puluhan anggota majelis taklim berjalan di selasar. Pertanda solat Maghrib berjamaah telah selesai. 


Begitu usai mengikuti pengecekan personil, aku berjalan dengan cepat menuju kamar. Untuk mengejar waktu solat Maghrib. Setelah menaruhkan dua kantong plastik berisi makanan dari istriku di lantai kamar dekat kasur, aku ke kamar mandi. Wudhu dan melaksanakan solat.


Usai solat, ku panggil Rudy. Untuk mengatur penempatan makanan bawaanku di lemari. Dan setelah mandi, aku mengajak Rudy ke masjid, untuk solat Isya berjamaah.


“Nggak capek tah, om. Kalau capek, solat di kamar aja,” kata Rudy, menyahuti ajakanku.


“Kalau perlu, jalan sambil merangkak juga nggak apa-apa, asal bisa jamaahan di masjid, Rud,” sahutku, dan bergegas keluar kamar.


Rudy buru-buru mengambil kain sarung dan kopiahnya. Mengejar aku yang sudah berjalan menuju masjid. Sesampai di Rumah Allah, adzan berkumandang. Rudy ke tempat mengambil wudhu karena tadi ia belum sempat bersuci.


Pelaksanaan solat Isya berjamaah malam itu, penuh kehidmatan. Ustadz Umar mengimami dengan kekhusu’annya. Puluhan orang demikian penuh konsentrasi menjalani ibadahnya. Dan seusai doa bersama, dilanjutkan dengan kultum.


Ustadz Umar menyampaikan perlunya untuk tetap merasa bahagia. Dengan cara tidak membenci, tidak mengeluh, terus berprasangka baik, merendah diri, mudah memaafkan, menghindari permusuhan, bersedekah, selalu tersenyum, dan tidak iri dengki. 


“Bila kita salah, perbaiki. Kalau gagal, coba lagi. Dan ingat, pasrah bukan berarti menyerah. Serahkan semua urusan kehidupan ini kepada Allah. Caranya, dengan tidak meninggalkan solat dan selalu sabar dalam situasi apapun,” ucap ustadz Umar. 


Ia menambahkan, kehidupan ini warna-warni, akan menjadi naif kalau kita berkata; jahat itu hitam dan baik itu putih. Dan akan tiba saatnya, kita berterimakasih kepada masa sekarang ini. 


“Mungkin, sekarang kehidupan kita memang pedih, terpuruk, dan terhina. Tapi, itulah yang mengajarkan kita untuk tetap berdiri tegak di atas kaki sendiri serta lebih dewasa menghadapi permasalahan di dalam kehidupan ini,” sambung ustadz Umar.


Dengan gayanya yang khas, ustadz Umar mengajak jamaah untuk terus introspeksi diri. Dengan demikian, perlahan tapi pasti akan menemukan tahapan menuju kebaikan. 


“Jangan tunjuk ke langit di atas sana, karena kita pasti tak akan bisa melintasinya. Kita tidak akan dapat meng-isra’-kan  diri menggapai mi’raj-Nya. Tapi, tunjuk ke langit itu di dalam diri kita sendiri. Karena hakekatnya, langit adalah batin kita dan bumi adalah jasad kita,” imbuh ustadz Umar.


Mengakhiri kultumnya, ustadz Umar menyampaikan pesan kepada para jamaah yang tengah berjuang meraih kemuliaan dari dalam penjara. 


“Bersabarlah, semua akan baik-baik saja. Allah hanya sedang menguji, sejauhmana keyakinan kita akan pertolongan-Nya. Yakinlah, Allah hanya ingin agar kita yakin, keraguan kita-lah yang membuat Allah belum bisa mewujudkan keinginan kita. Maka, mari sama-sama kita buang rasa takut, pasang perisai keberanian, hadapi dengan penuh keyakinan bersama Allah. Semua akan baik-baik saja,” tuturnya, mengakhiri kultum.   


Saat akan meninggalkan masjid, Danil dan Jhon menyapaku. Kami pun bersalaman dan saling bertanya kabar masing-masing. 


“Aku heran ngelihat ustadz Umar itu, bang. Bawaannya happy terus. Nggak pernah aku lihat wajahnya murung,” kata Danil, ketika kami berjalan menuju selasar.


“Dulu, ada seorang sahabat yang pernah bilang ke aku gini, Danil. Jangan pernah iri sama kebahagiaan orang lain. Bisa jadi, itu pertama kalinya dia bernapas lega, setelah dadanya sesak nahan kesedihan yang sangat lama,” tanggapku, dengan santai.


Danil tampak tersenyum. Jhon dan Rudy yang berjalan di depan kami, mengangguk-anggukkan kepalanya. Sama-sama mencoba memahami, bila yang tampak di permukaan, tidak selalu menggambarkan kondisi jiwa seseorang yang sesungguhnya. (bersambung)

LIPSUS