-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 278)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Rabu, 05 Oktober 2022


Oleh, Dalem Tehang


PUNYA masalah sama aku? Aku ngerasa nggak ada masalah sama siapa pun disini. Siapa emangnya dia itu?” tanyaku, heran dengan penuturan sipir tersebut.


“Namanya Bono, om. Dia tadi cerita, kalau sempet bermasalah sama om, dan ada yang neror dia. Dia pengen ketemu om untuk nyelesaiin masalahnya,” kata sipir itu.


“Bono? Bono mana ya?” tanyaku lagi.


“Orangnya kurus, rambutnya keriting, om. Kulitnya hitam legam gitu. Dia di Blok C,” kata sipir teman Almika, memperjelas. 


“O iya. Tahu aku. Dia waktu itu kelahi sama orang di selasar, pas aku sama beberapa kawan mau ke masjid. Dipisah malah marah. Bahkan ngancam kami. Untung dateng sipir Fani sama kawan-kawan sipir. Akhirnya, dia di bawa ke pos jaga,” kataku, panjang lebar.


“Iya, bener itu, om. Terus katanya, sempet nemuin om di kantin. Dia mau minta maaf, tapi om tolak. Malah om usir dari kantin,” ujar sipir itu lagi.


“Iya, dia emang dateng nemuin aku dan kawan-kawan waktu kami lagi makan di kantin. Asnawi yang nanggepin dia. Bukan kami nggak mau terima minta maafnya, tapi karena emang nggak ada masalah sama  kami, ya nggak perlulah minta maaf. Memang, Asnawi nyuruh dia keluar kantin setelah nyampein maafnya, tapi nggak ngusir pulalah,” uraiku lanjut.


“Jadi gimana baiknya nurut om? Dia itu masih saudaraku,” ucap sipir itu. Wajahnya tampak begitu serius.


“Kalau aku, nggak ngerasa ada masalah sama dia. Justru mestinya, kamu tanya ke dia, kenapa bisa bisa ngerasa ada masalah sama aku. Jangan dibolak-balik urusannya,” kataku, tetap dengan santai.


“Ya syukur, kalau om nggak ngerasa ada masalah. Sebab, jujur aja ini om. Sejak peristiwa itu, ada yang neror dia. Bakalan ngebagal dia karena jadi musuh om,” kata sipir itu, menambahkan.


“Nah, cari aja siapa yang neror dia itu. Aku nggak pernah suruh siapapun buat lakuin gituan. Ngapain juga neror-neror, nambah-nambah urusan aja,” ujarku lagi.


“Oke kalau gitu, berarti clear ya, om. Besok aku suruh Bono nemuin om ya. Biar plong hati dia. Sebab, sejak kejadian itu, dia nggak berani keluar kamar. Takut tiba-tiba ada yang narik ke kamar lain dan digebukin,” tutur sipir tersebut.


“Iya, nggak apa-apa, suruh aja dia nemuin aku. Sampein juga, aku sama sekali nggak ada masalah sama dia. Kenal juga nggak, gimana mau ada masalah,” sahutku.


Setelah berbincang beberapa saat dan menikmati martabak Bangka dan roti kasur, sipir Almika beserta temannya, berpamitan. Kembali ke pos jaga masing-masing.


“Jaga kondisi lo, Mika. Jangan mentang-mentang piket, terus nggak istirahat sama sekali. Kan tetep bisa gantian sama yang lain,” kataku, mengingatkan Almika.


“Siap, om. Enaknya piket di pos menara itu, karena bisa gantian jaganya, om. Dan kalau lagi tidur, nggak ada yang ngeganggu, karena nggak kelihatan,” jawab Almika, sambil tertawa.


“Bukan, pak. Kenapa kok seneng tugas di pos menara? Emang ada apa disana?” tanya pak Edy, menyela. 


“Tempatnya kan tersendiri, pak. Bisa pantau seluruh kompleks rutan ini dengan mudah. Gerakan mencurigakan sekecil apapun, kami pasti tahu. Dan, nggak perlu bersinggungan sama kawan-kawan penghuni,” jelas Almika.


“Jadi lebih kepada karena nggak mau bersinggungan sama penghunilah ya,” tanggap pak Edy, seraya tersenyum.


“Nggak gitu juga sebenernya sih. Nyatanya, aku masih mau gabung disini. Cuma maksudnya, ya sesekali aja atau ngenal beberapa orang aja, nggak masalah. Intinya, ngehindari hal-hal yang bisa bawa mudharat aja,” ucap Almika, tersenyum.


Sesaat kemudian, sipir Almika bersama temannya meninggalkan Blok B. Aku, pak Edy, dan Rudy masih duduk di taman depan kamar. Sinar bulan yang redup, tampak membayang di tembok lantai 2 kamar tahanan. 


“Sudah mau bulan purnama lagi ini, be. Cepet bener perjalanan hari-hari disini,” kata pak Edy, sambil melihat sinar bulan yang mengenai tembok kamar tahanan.


“Aneh om ini. Ngerasain hari-hari cepet berganti, malahan ngeluh. Banyak orang justru ngerasa lama bener pergantian hari selama di tahanan ini,” kata Rudy, menimpali.


“Bukan gitu maksudnya, Rudy. Aku bilang kayak gitu, karena ngukur umur. Maksudnya itu, makin cepet jatah hidup ini berkurang. Padahal, masih banyak dosa, masih belum banyak ibadah, dan masih banyak obsesi yang mau dilakuin keluar dari sini nanti,” jelas pak Edy, panjang lebar.


“Kalau soal jatah umur mah, nggak usah dipikirinlah, om. Itu rahasia Allah. Kalau kita sadar masih banyak dosa, banyak-banyak aja minta ampun, bertaubat, dan ibadah. Kalau soal apa yang mau dilakuin setelah keluar nanti, ya nanti aja mikirinnya kalau sudah bener-bener keluar,” tanggap Rudy, sambil cengengesan.


“Nggak bisa gitu juga, Rudy. Kita tetep mesti punya rencana setelah keluar dari sini. Nggak bisa nunggu nanti,” ujar pak Edy, menimpali.


“Iya kalau kita masih punya umur pas waktunya bebas nanti, om. Kalau nggak ada umur lagi, kayak mana. Jadi baikan, kita lakuin aja yang terbaik selama disini. Jangan kan nanti-nanti, satu jam lagi aja kita nggak tahu masih hidup apa nggak,” kata Rudy, tidak mau kalah berdiplomasi.


“Sudah dulu ngobrolnya. Ini sudah lebih tengah malam. Baikan kita masuk kamar. Solat hajat. Wirid dan berdoa. Ketimbang ngelamun nunggu kantuk,” kataku, menengahi.


Dan beberapa saat kemudian, aku dan Rudy telah masuk kamar. Pun pak Edy, kembali ke kamarnya. Saat aku telah memulai solat di atas kasur, terdengar Rudy ke kamar mandi. Berwudhu. Anak muda usia itu mulai merasakan kenikmatan dalam beribadah.


Sampai adzan Subuh menggema, aku baru menyelesaikan prosesi peribadatan. Pun Rudy. Dan kemudian ia mengajakku segera ke masjid. Rintik hujan menyertai langkah kami saat keluar blok menuju masjid. Puluhan anggota majelis taklim berlarian agar tidak terkena curahan air dari langit tersebut. 


Kekhusu’an persujudan kepada Sang Khaliq kian indah dengan suara air hujan yang jatuh mengenai atap masjid. Senandung alam yang bersahutan mendendangkan kenyamanan. 


Seperti biasa, seusai solat berjamaah, ustadz Umar menyampaikan tausiyahnya. Ia memulai dengan mengutip perkataan seorang ulama, yang menjelaskan mengenai tipu daya iblis pertama kali.


“Ibnul Jauzi mengemukakan, tipu daya iblis yang pertama kali terhadap manusia adalah menghalangi mereka dari belajar ilmu agama. Karena ilmu adalah cahaya, sehingga jika iblis telah berhasil memadamkan cahaya lampu manusia, ia akan menjerumuskan manusia ke dalam kegelapan dengan sekehendaknya,” kata ustadz Umar. 


Itu sebabnya, sambung ustadz Umar, waktu dan kesempatan kita di penjara inilah saat yang tepat untuk memperbanyak belajar agama, sehingga iblis tidak akan lagi menggoda kita ke depannya. Dan yakini, Allah pasti punya maksud baik, mengapa kita semua ditepikan dari hiruk-pikuk semesta dengan memasukkan ke dalam penjara ini.


“Dan kata Imam Syafi’i, jika kalian berada di jalan Allah, berlarilah kencang. Jika sulit, tetaplah berlari, meski hanya lari-lari kecil. Bila kalian lelah, berjalanlah. Apabila semua itu kalian tidak mampu lagi melakukannya, tetaplah maju walau harus merangkak, dan jangan pernah sekalipun berbalik arah,” tegas ustadz Umar dengan suara yang menggelegar.       

Ia menambahkan, apapun yang terjadi kepada setiap makhluk di muka bumi ini, merupakan bagian dari takdir. Di antara buah iman kepada takdir adalah ketenangan dan ketentraman jiwa terhadap berbagai ketetapan Allah.


Mengakhiri kultumnya, ustadz Umar mengemukakan, para sahabat dan tabi’in memiliki konsep, barang siapa yang mencela saudaranya karena dosa-dosanya, sedangkan saudaranya itu telah bertaubat kepada Allah, maka si pencela tidak akan meninggal dunia kecuali ia akan mengalami dosa saudaranya tersebut. (bersambung)  

LIPSUS