Oleh, Dalem Tehang
HUJAN telah berhenti. Kami pun selesai menikmati sarapan. Aku meminta kepada Rudy untuk mengelap hingga kering meja dan kursi taman. Dengan gerak cepat, OD kamarku ini melaksanakan tugasnya.
Aku mengajak Ino duduk di kursi taman depan kamarku. Juga membawa cangkir minuman masing-masing. Tampak Ino terus gelisah. Meski ia berjuang keras menutupinya. Aku pun tidak tertarik untuk kembali menanyakan keadaannya.
Menghargai sikap seseorang memang selayaknya lebih dikedepankan, daripada memaksa orang tersebut untuk membuka tabir persoalan yang tengah menghujam pada jiwanya. Karena, kehidupan akan menjadi tenang manakala kita tidak ikut campur urusan hidup orang lain.
“Om, sebenernya ada yang mau Ino diskusiin. Soal rencana pindah kamar itu. Kok sejak semalem, hati ini ragu. Padahal, sudah turun surat mutasi. Rencana malem nanti dieksekusi,” ucap Ino, dengan pelan, setelah berdiam diri cukup lama.
“Buang rasa ragumu, jalani sesuai niat awalmu. Inshaallah, ada kebaikan di kamar yang baru,” sahutku, dengan santai.
“Gitu ya, om. Tapi, gimana kalau hati ragu gini. Kan katanya, tinggalin yang buatmu ragu, agar kamu tetep dalam kebaikan,” sahut Ino, tetap dengan suara pelan.
“Emang bener sih, ada ajaran gitu, Ino. Tapi, nggak semua hal juga kita pakaikan ajaran tersebut buat ngebenerin apa mau kita. Coba telaah lagi ke belakang. Kamu niat pindah kamar itu karena atau buat apa? Bagus kan niatmu? Nah, sekarang apa maumu sudah di depan mata, tinggal jalani aja, kenapa malah ragu?” kataku, panjang lebar.
“Jadi nurut om, jalani aja ya?” tanya Ino, sambil menatapku dengan pandangan serius.
“Ya iyalah, jalani aja, Ino. Buang ragumu. Yakini niatmu baik, dan berdoa agar terus dapat kebaikan. Toh, cuma bergeser kamar aja. Malahan dengan kamarmu di lantai atas, bisa mantau kawan-kawan yang di lantai bawah. Sedang kami yang di bawah, nggak bisa tahu kerjaan kalian di kamar lantai atas. Dari sisi ini aja, kamu sudah dapet kelebihan,” sambungku lagi.
“Terimakasih sarannya, om. Maka Ino sengaja pengen ngobrol sama om ini, karena Ino yakin, om pasti punya pandangan berbeda dan selalu positif ngelihat apapun,” tutur Ino dengan senyum sumringah.
“Kita sudah susah di dalem ini, Ino. Jangan ditambah berat beban susahnya. Kamu perlu tahu, ada empat hal yang bisa ngerusak badan. Kekhawatiran, kesedihan, kelaparan, dan begadang. Nah, hindari aja itu semua, kalau tetep mau sehat dan terus optimis,” ucapku, dengan serius.
“Siap, om. Terimakasih banyak sarannya ya, om. Tapi ngomong-ngomong, kalau Ino sudah di kamar lantai atas, tetep kan cateringnya dibagi dua sama Ino?” ujar Ino, sambil tersenyum penuh arti.
“Soal makanan catering, ya teteplah. Kita tetep bagi dua. Tenang aja. Nanti Rudy yang anter setiap hari dua kali,” sahutku, dan menepuk bahunya. Menenangkan.
“Assalamualaikum. Ganggu nggak ini kalau kami gabung?” sebuah sapaan mengejutkan aku dan Ino yang sedang berbincang dengan pelan.
Spontan, kami menengok ke arah suara. Yang berasal dari belakang tempat kami duduk. Ternyata Asnawi, pak Waras, dan pak Anas yang datang. Penghuni kamar 8 penaling.
“Waalaikum salam. Silahkan gabung sini, Nawi. Pak Waras sama pak Anas ambil posisi masing-masing,” jawabku, dan berdiri untuk menyalami ketiganya.
Berlima kami duduk mengitari meja taman. Asnawi, pak Anas, dan pak Waras telah membawa cangkir berisi minuman masing-masing. Dan menaruhkan di depan tempat duduknya.
“Wah, kayaknya siap bener ini ngobrolnya. Sudah bawa bekal masing-masing,” kata Ino, sambil tertawa.
“Sebenernya sih, karena kami nggak mau ngerepotin babe aja ini mah, Ino. Kita kan tahu, siapa aja yang dateng, kalau nggak disiapin kopi, teh, ya air mineral gelas sama babe. Sesekali nggak buat babe repot kan, boleh aja,” ujar Asnawi, juga sambil tertawa.
“Jadi apa cerita ini, tumben jam segini sudah pada keluar kamar?” tanyaku, memandang Asnawi, pak Waras, dan pak Anas dengan bergantian.
“Kami sengaja minta tamping kunci bukain pintu kamar duluan, karena pengen ngobrol sama babe. Ada yang penting mau disampein sama pak Anas,” kembali Asnawi yang bicara.
Aku tatap pak Anas. Pria hafidz Qur’an yang tersandung kasus togel ini, lebih banyak menundukkan wajahnya. Sementara, pak Waras yang dikenal sebagai tokoh politik dan spesialis doa jika partainya ada acara, duduk santai sambil menghisap rokoknya.
“Pak Anas sampein aja langsung ke babe. Kita kan pernah sekamar sama babe, pastilah dia mau bantu pemikiran,” kata Asnawi lagi.
“Santai aja, pak Anas. Walau hanya beberapa hari kita satu kamar, tapi banyak ilmu dan pengalaman yang aku dapetin dari pak Anas. Jadi, gimana juga, pak Anas adalah guruku,” tuturku, dengan santai.
“Gini lo, be. Tadi aku dikasih tahu, kalau nanti malem mau dipindah kamar. Ke kamar 19. Yang jadi pikiranku, aku ini kan AI. Gimana nanti di kamar baru ini,” kata pak Anas, setelah beberapa kali menarik napas dalam-dalam. Penuh pertimbangan.
“Berarti lukiran sama Ino dong. Ino ini dari kamar 19, mau pindah ke kamar 22,” sahutku dengan cepat.
“O gitu? Jadi kamu mau pindah juga ya, Ino?” Asnawi menyela.
“Iya, surat mutasinya sudah turun. Tapi, kok Ino ragu-ragu. Maka ngobrol sama om Mario, minta pencerahan,” tanggap Ino.
“Nggak usah jadi pusing ya, pak Anas. Sepanjang masih urusan dunia, inshaallah tetep bisa diatur sama manusia. Nanti aku ajak ngobrol kepala kamar 19, pak Sibli. Inshaallah, dia paham kondisi pak Anas,” kataku, menenangkan pak Anas.
“Atau panggil pak Sibli aja ya, om. Biar langsung konkret,” ucap Ino.
“Boleh juga. Panggil tamping kunci. Minta tolong bukain kamar 19 dan ajak pak Sibli gabung disini,” jawabku.
Tidak lama kemudian, pak Sibli telah bergabung dengan kami. Duduk di taman depan kamarku. Ia menyalami kami satu-persatu dengan penuh kehangatan. Aura persahabatan mantan anggota Polri ini, memang sangat kuat.
Rudy keluar dari kamar, dan menawarkan minuman kopi hangat kepada pak Sibli. Kepala kamar 19 itu, menyambut dengan antusias.
“Nah, ini yang ku suka sama Rudy. Baru aja duduk sama bang Mario, pasti dia langsung nawari mau minum apa. Cocok, Rud. Kopi manis,” kata pak Sibli, dan mengacungkan jempol tangannya ke arah Rudy, yang berdiri di pintu kamar sambil cengengesan.
“Apa perintah, bang?” tanya pak Sibli beberapa saat kemudian, sambil menatapku.
“Ini pak Anas. Pernah sekamar sama aku, pak. Di kamar 8. Dia bilang, dapet pemberitahuan kalau nanti malem mau dipindah ke kamar 19. Gabung sama pak Sibli,” kataku, memulai pembicaraan.
“Nah, pas kalau gitu, bang. Kan Ino juga mau pindah ke kamar 22. Nanti pak Anas nempatin bekas bidang Ino,” tanggap pak Sibli, dengan semangat.
“Alhamdulillah, kalau pak Sibli nyambut kehadiran pak Anas dengan baik. Aku pernah sekamar dengan mereka-mereka ini, walau hanya beberapa malem, sebelum ke kamar 20. Jadi kenal baik mereka bertiga ini. Khusus pak Anas, dia ini guru ngajiku, pak Sibli,” jelasku lagi.
“Oh, pak Anas bisa baca Alqur’an ya? Nah, pas bener ini. Aku sama kawan-kawan emang tadi malem lagi ngobrolin gimana caranya bisa belajar baca Qur’an,” kata pak Sibli dengan cepat.
“Alhamdulillah. Allah langsung ngatur apa yang pak Sibli obrolin sama kawan-kawan dengan datengin pak Anas. Dia ini hafal Qur’an, pak Sibli. Jadi, nggak usah nyari guru lain. Selesai itu sama pak Anas. Rudy juga kan, kalau sore ngaji dengan pak Anas,” lanjutku.
“Alhamdulillah. Maha Besar Allah dengan pengaturan-Nya,” kata pak Sibli dan menengadahkan kedua tangan, wajahnya ditatapkan ke langit. Ada rasa syukur berbalut haru. (bersambung)
