Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 281)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Sabtu, 08 Oktober 2022


Oleh, Dalem Tehang


CUMA, ada yang mesti pak Sibli atur dengan kehadiran pak Anas mulai nanti malem,” ujarku, setelah kami berdiam beberapa saat.


“Apa itu, bang?” tanya pak Sibli, yang spontan mengernyitkan dahinya. Hingga ia menghentikan gerakan tangannya yang akan meminum kopi buatan Rudy.


“Mohon maaf ya, pak Anas. Aku langsung sampein aja ya,” kataku, seraya memandang pak Anas yang hanya diam dan menundukkan wajahnya.


“Iya, silahkan babe lanjutin. Aku serahin sama babe,” jawab pak Anas dengan suara perlahan.


“Jadi gini, pak Sibli. Pak Anas ini profesinya tukang sol sepatu. Sejak dia ditahan hampir delapan bulan ini, sekali pun istri atau keluarganya nggak pernah ngebesuk. Bukannya nggak pengen ketemu pastinya. Tapi, kondisi ekonomi mereka bener-bener nggak memungkinkan buat sekadar biaya dateng ke rutan ini, apalagi yang lain-lain. Pahamkan maksudnya, pak,” kataku, mengurai panjang lebar.


“Siap. Paham aku, bang. Pak Anas nggak usah kecil hati ya. Nggak usah dipikirin soal kewajiban kamar dan lain-lainnya itu. Nanti ku atur gimana yang terbaik. Intinya, kalau kami makan, pak Anas pasti makan. Aku cuma minta, tolong ajari kami ngaji dengan ikhlas,” tanggap pak Sibli dengan wajah sumringah.


“Alhamdulillah. Terimakasih banyak, pak Sibli. Inshaallah, aku bisa jadi guru ngaji yang baik,” kata pak Anas, yang langsung berdiri dan menyalami pak Sibli dengan erat.


Kami semua tersenyum melihat telah menyatunya pak Sibli dan pak Anas. Apalagi, wajah pak Anas yang semula penuh kegalauan, perlahan telah berubah menjadi ceria. Dan keteduhan hatinya tetap terpancar dalam keceriaan wajahnya. 


“Gimana kalau kita sekarang syukuran? Aku traktir kita semua makan bakso di kantin,” kata pak Sibli, kemudian.


“Syukuran apaan, pak? Karena Ino mau pindah ya?” tanya Ino, spontan.


“Pertama, syukuran karena kamar kita dapet guru ngaji. Pak Anas ini. Kedua, syukuran karena Ino ditempatin di kamar baru yang penghuninya lebih sedikit dibanding kamar 19. Ketiga, syukuran karena Allah selalu kasih kita sehat dan bisa ibadah,” urai pak Sibli, dan mengajak kami berenam segera ke kantin.


“Aku nggak diajak ya, pak?” tanya Rudy, yang berdiri di depan pintu kamar.


“Kamu uangnya aja, Rud. Ini lebih kamu perluin ketimbang makan bakso. Urusan makan, kan kamu nggak kurang-kurang sama bang Mario,” tanggap pak Sibli, dan memberi sejumlah uang ke tangan Rudy.


“Alhamdulillah, rejeki anak soleh. Terimakasih, pak,” ucap Rudy, dan mencium tangan pak Sibli.


Kami berenam mengambil tempat di sudut kiri kantin. Duduk berhadapan pada kursi panjang. Menikmati bakso sambil terus berbincang. Penuh keceriaan dan kebersamaan.


Seorang pria berkulit hitam legam dengan rambut keriting, mendekati kami. Aku tahu itu si Bono.


“Ngapain anak itu kesini, be?” tanya Asnawi, yang segera mengenali pria tersebut.


“Dia ada perlu sama aku. Nggak apa-apa. Aku temuin dulu,” sahutku, dan berdiri dari tempat duduk. Pindah ke kursi lain.


Aku melambaikan tangan ke arah Bono. Pria berbadan kurus itu tampak ragu-ragu untuk mendekatiku.


“Kamu mau ketemu sama aku kan?” tanyaku dengan suara agak keras.


“Iya, pengen ketemu sama paman,” katanya, dengan suara terbata.


“Ya sini. Duduk sini. Pesen makanan sama minuman dulu, biar kita enak ngobrolnya. Nanti kami yang bayar, nggak usah khawatir,” ujarku.


Setelah memesan mie ayam dan air mineral, Bono duduk di depanku. Matanya yang tajam tampak kurang bercahaya. Wajahnya yang tirus, agak memucat. 


“Saudaramu yang anggota sipir, semalem sudah temuin aku. Sampein semuanya. Aku perlu tegesin sama kamu ya, kita nggak kenal sebelumnya, dan aku nggak ngerasa ada masalah apapun sama kamu. Jadi, apa maksudmu bilang kalau ada masalah sama aku,” kataku, langsung ke pokok masalah.


“Maaf, paman. Mungkin aku kelewat lebay, ngelebih-lebihin cerita ke saudaraku itu. Tapi memang bener, setelah nemuin paman sama kawan-kawan paman di kantin waktu itu, ada yang nerorku. Mau ngebagalku karena bermasalah sama paman,” kata Bono dengan suara bergetar.


“Siapa yang neror kamu?” tanyaku, penasaran.


“Aku nggak berani ngebukanya, paman. Yang pasti, dia pesen aku harus segera minta maaf sama paman. Kalau nggak, dia bakalan ngehajarku. Jujur, aku takut,” ucapnya lagi.


“Aneh kamu ini. Katanya ada yang neror dan ngejual-jual namaku, tapi kamu nggak mau kasih tahu orangnya. Kali kamu ditakutin sama bayangan aja. Terus sebenernya mau kamu ini apa?” ujarku, tetap mengendalikan diri.


“Aku cuma mau minta maaf sama paman. Cuma itu aja. Biarlah orang yang neror itu cukup aku yang tahu. Maaf bener, paman. Aku nggak berani ngebuka siapa orangnya. Yang penting, aku harus minta maaf ke paman. Dan sekarang, aku sampein permohonan maaf atas perbuatanku waktu itu, yang ngancam paman sama kawan-kawan paman,” tutur Bono, masih dengan suara bergetar, penuh ketakutan.


“Ya sudah kalau gitu. Aku nggak maksa kamu buat kasih tahu siapa yang neror kamu. Maafmu sudah aku terima. Kita nggak pernah ada masalah. Lanjutin kamu makan, aku mau ngobrol sama kawan-kawan. Tinggalin aja kalau sudah makannya, nanti kami yang bayar,” kataku, dan berdiri untuk kembali ke kursi kawan-kawan.


Ketika aku berdiri, Bono juga berdiri. Ia mengulurkan kedua tangannya. Menyalamiku dengan erat dan kembali menyampaikan permohonan maafnya. Ku tepuk-tepuk bahu Bono dengan pelan. Mengirimkan pesan pertemanan.


“Kenapa anak itu tadi, bang?” tanya pak Sibli, setelah aku kembali duduk bersama kawan-kawan di kursi panjang.


Aku pun menceritakan kisahnya. Sejak awal hingga kedatangan seorang sipir tadi malam. Termasuk ungkapan-ungkapan Bono mengenai teror yang diterimanya atas namaku. Mendengar cerita itu, pak Sibli tersenyum.


“Kok malah senyum, pak. Emang ada yang aneh ya?” tanya Asnawi, yang juga melihat pak Sibli tersenyum.   


“Sebenernya sih pengen ketawa, tapi takut dosa, makanya senyum aja,” sahut pak Sibli, kali ini diiringi tertawa kecil.


“Ada yang aneh atau lucu, atau apa ya sama laku anak itu, pak?” kembali Asnawi bertanya.


“Kita ini kan di penjara ya. Terlepas namanya rutan atau lapas. Intinya, ya tetep penjara itulah. Nah, disini emang tempatnya orang jual kisah. Dari yang masuk akal sampai yang nggak pernah kepikir sama kita. Nurut feelingku, anak itu sengaja jual kisah kayak gitu biar bisa kenal sama bang Mario,” urai pak Sibli.


“Apa untungnya dia kenal sama om Mario?” ucap Ino, menyela.


“Aku juga nggak tahu kalau soal itu, Ino. Cuma anak itu yang tahu dan pasti setelahnya ada rencana lain, buat dia bisa makin deket sama bang Mario. Itu trik untuk tahu kelebihan dan kelemahan orang. Jadi ngerapet dulu. Baru setelah kebaca semua, tinggal memainkan apa yang jadi target,” tutur pak Sibli, panjang lebar.


Kami semua mendengarkan perkataan pak Sibli dengan serius. Tampak ada kekhawatiran pada wajah kawan-kawan. Semua menyadari, di dalam penjara, segala kemungkinan apapun bisa terjadi kapan saja. (bersambung)

LIPSUS