-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 282)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Minggu, 09 Oktober 2022


Oleh, Dalem Tehang


PAK Sibli paham bener pola intelijen ya?” ujar pak Waras.


“Pak Sibli kan mantan polisi, pak. Hampir setengah pengabdiannya jadi intel dan reserse. Aku percaya sama analisanya. Pasti ada maksud tersembunyi pada anak itu ke om Mario,” kata Ino, menimpali.


“Oh, pak Sibli ini dulunya polisi to, aku nggak mudeng. Maaf, pak,” kata pak Waras, dengan cepat dan menundukkan wajahnya. Menghormat ke pak Sibli.


“Santai  aja, pak. Sejak muda aku emang polisi. Setelah 25 tahun ngabdi, sekarang bekas polisi, karena dipecat. Status kita disini sama-sama tahanan. Ya status itulah yang bikin kita bisa berteman. Jadi, nggak usah nengok status sebelum kita ditemuin disini, nggak ada gunanya,” jawab pak Sibli, sambil tersenyum ramah.


“Jadi saran pak Sibli buat babe apa soal anak itu?” tanya Asnawi, yang tampak memperhatikan dengan cermat perkataan pak Sibli.


“Hati-hati dan cermat-cermat aja. Kita kan belum tahu apa maksud atau target anak itu. Tapi aku percaya kok, bang Mario punya insting kuat kalau ngenilai orang. Ditambah gaya tarik-ulurnya itu, ngebuat orang yang punya maksud nggak baik, bakalan capek sendiri,” ujar pak Sibli, masih dengan tersenyum.


“Kalau om sendiri gimana nanggepin si Bono itu?” tanya Ino, tiba-tiba.


“Biasa-biasa aja, Ino. Orang mau kenal, ya monggo. Nggak mau, ya sudah. Nggak ada yang perlu dikhawatirin. Aku yakin, Allah selalu jaga dan ngawasi kita. Itu penegasan di Alqur’an. Jadi, ya santai-santai ajalah,” jawabku, dengan enteng.


“Ini yang aku suka dari babe, tetep slow nanggepi apa-apa. Padahal, mungkin hati dan pikirannya lagi kerja, nelaah anak itu juga. Apalagi, ada sinyal perlunya babe hati-hati dan cermat dari pak Sibli,” kata Asnawi.


“Aku pernah dikasih tahu pak Anas. Kata dia, memilih diam dan tenang lebih baik daripada kita berperang dengan ego dan emosi orang lain. Benerkan pak Anas pernah ngajari aku gitu,” sahutku, sambil menatap pak Anas.


Pria seusiaku yang selalu berpenampilan kalem itu, hanya tersenyum. Dan sesaat kemudian, menganggukkan kepalanya. Membenarkan apa yang ku sampaikan.


“Aku mau tanya, pak Anas. Sebenernya apa yang buat orang jadi sadar? Karena lingkungan, paksaan, atau apa? Terlepas dari soal hidayah ya,” tanya pak Sibli, mengalihkan pembicaraan.


“Kalau dari pengetahuan setelah baca-baca buku dan pengalaman selama ini, yang buat seseorang sadar itu ternyata bukan kepinterannya. Tapi, kerendahan hati dan keikhlasannya. Yang mau nerima kelebihan orang lain dan kekurangan diri sendiri,” jawab pak Anas, dengan santai dan kalem.     


“Jadi intinya, jangan sombong gitulah ya. Kalau bahasa kasarnya, jangan kayak nggak nginjek bumi lagi kalau lagi gagah,” lanjut pak Sibli, sambil tersenyum.


“Nah, itu dia, pak. Aku ingetin kita semua ya. Termasuk buatku pribadi juga. Jangan sekali-kali kita sampai berlaku sombong. Kenapa? Karena kesombongan itu bisa ngerusak semua kebaikan apapun yang kita lakuin, baik di dunia maupun akherat,” kata pak Anas.


“Kenapa bisa gitu, pak?” tanya pak Sibli, dengan nada serius. 


“Pertama, sombong itu wujud nyata laku kita kalau nolak kebenaran, sekaligus ngeremehin orang lain. Kedua, nggak akan pernah bisa masuk surga siapa pun yang dalam hatinya ada kesombongan, walau sebesar biji sawi. Ini kata Kanjeng Nabi lo, aku cuma nyampein aja,” tutur pak Anas, tetap dengan gaya santainya.


“Berat juga ya ternyata sekadar urusan sombong aja,” Ino menyela.


“Iya, Ino. Dan emang jangan kita remehin sifat sombong ini. Intinya, mulai sekarang, kita belajar bersih hati aja. Emang nggak mudah. Butuh waktu, tetep ada proses yang harus kita jalani. Perbanyak istighfar. Senandungin terus permohonan pengampunan itu selaras sama detak jantung kita,” lanjut pak Anas.


Asnawi menunjuk ke arah lapangan. Tampak belasan anggota majelis taklim telah bergerak menuju masjid. Untuk menyambut datangnya waktu solat Dhuhur. 


Tanpa dikomando, kami pun bersepakat mengakhiri perbincangan. Dan setelah pak Sibli membayar semua makanan, kami kembali ke kamar masing-masing.     


Selepas dhuhuran berjamaah, aku dan Rudy buru-buru kembali ke kamar. Selain untuk mengikuti apel siang, juga ingin segera istirahat. Akibat semalam kurang tidur. Dan tidak lama kemudian, aku pun lelap dalam kematian sesaat. 


Hingga adzan Ashar terdengar, baru aku bangun. Itu pun setelah Rudy beberapa kali menepuk-nepuk telapak kakiku.  


“Ayo ke masjid, om,” kata Rudy, saat melihatku telah duduk di atas kasur sambil mengucek-ucek mata.


Dengan malas-malasan aku ke kamar mandi. Dan setelah berwudhu, semangat beribadah itu menepis semua kemalasan yang dirasa. Aku mengikuti langkah Rudy yang bergegas menuju masjid. 


Ketika ustadz Umar berdiri untuk menyampaikan kultum, aku bergeser dari tempat solat. Menyandarkan badan di pilar masjid, agar lebih santai mendengarkan pengisian jiwa dan pencerahan otak tersebut. 


Ustadz Umar menjelaskan mengenai tiga amal sederhana yang berbalas surga. Yaitu, memberi makan orang yang lapar, memberi minum orang yang haus, dan memberi pakaian orang yang tidak memiliki pakaian.


“Ketiga amal sederhana yang sangat luar biasa balasannya tersebut, tetap bisa kita lakukan walau sedang menjalani hidup di penjara. Karena itu, jangan pernah berhenti berbuat baik dan berbagi kebaikan. Tidak usah kita berharap balasan dari sesama makhluk, lakukan semua kebaikan semata-mata mencari ridho Ilahi,” tutur ustadz Umar.


Ia juga menguraikan adanya empat hal yang bisa mengangkat manusia ke derajat tinggi, meski amal dan ilmunya hanya sedikit. Yaitu, kesabaran, kesederhanaan, kemurahan hati, dan akhlak yang baik.


“Kita diberi kesempatan oleh Allah untuk berada di rutan ini, justru dilatih untuk terus bisa sabar, hidup dalam kesederhanaan, belajar untuk bermurah hati, serta menjaga perilaku dengan tetap menunjukkan akhlak yang baik. Jadi, kita sesungguhnya memiliki peluang besar untuk diangkat derajat kemanusiaan kita dengan berada di dalam penjara ini. Jangan sia-siakan kesempatan ini, dengan hanya mengeluh atau terus merawat kekecewaan, apalagi terpuruk karena merasa sudah menjadi manusia hina dina,” urai ustadz Umar, dengan panjang lebar.


Mengakhiri tausiyahnya, ustadz Umar membuka buku yang ada di tangannya, berjudul Al Fawaid, dan menguraikan pesan Ibnul Qayyim. 


“Ibnul Qayyim berpesan kepada kita semua, sesama makhluk Allah. Fokuskanlah pikiranmu untuk memikirkan apapun yang diperintahkan Allah kepadamu. Jangan menyibukkan dengan rejeki yang sudah dijamin untukmu. Karena rejeki dan ajal adalah dua hal yang sudah dijamin. Selama masih ada sisa ajal, rejeki pasti datang,” ujar ustadz Umar.   


Sambil berjalan sekeluar dari masjid untuk kembali menuju ke kamar, beberapa kali Rudy menyampaikan kekagumannya akan isi tausiyah ustadz Umar. Aku menyarankan ia untuk mencatat hal-hal penting yang disampaikan oleh dosen dengan keilmuan cukup mapan tersebut. 


Sehingga, kapan saja batin atau pikiran kita memerlukan suplemen untuk menjaga keimanan, tinggal membuka buku dan membacanya kembali. Dengan satu keyakinan, keimanan yang menurun itu akan menaik kembali.


Seusai menaruhkan kain sarung dan kupluk serta berganti pakaian, aku keluar kamar. Bergabung dengan belasan orang yang tengah jogging di lapangan. Sementara, dua tim sedang bermain sepakbola dengan serunya. Juga lapangan volly, semarak dengan adu kepiawaian dua tim yang diselingi dengan canda tawa.


Ketika telah delapan kali memutari lapangan yang cukup luas, tiba-tiba dari belakang, ada yang memanggilku. Ternyata Gerry.


“Kamu, Gerry. Apa kabarmu?” tanyaku, sambil meneruskan langkah dengan terukur.


“Alhamdulillah sehat, bang. Abang juga sehat teruskan,” sahutnya, dan kini berjalan berdampingan denganku.


“Alhamdulillah, berkat doamu. Yang penting jaga kesehatan, Gerry. Yang lain-lain, bakal ngikuti,” jawabku.


Setelah 20 kali putaran, aku pun menghentikan langkah. Menepi di selasar sambil meminum air mineral botol. Gerry masih melanjutkan joggingnya. Sampai kemudian, suara lonceng dari pos penjagaan dalam terdengar. Pertanda bila seluruh penghuni rutan wajib segera kembali ke selnya masing-masing. (bersambung)

LIPSUS