Oleh, Dalem Tehang
SELEPAS maghriban berjamaah di masjid, aku kembali mengaji. Membaca Alqur’an. Duduk di kasur, di kamarku. Di luar, terdengar suara riuh. Rudy masuk ke kamar, ke tempatku mengaji. Memberitahu, bila mutasi penghuni kamar sedang dilaksanakan.
“Ternyata banyak yang mutasi, om. Termasuk om Heru juga pindah. Dari kamar 18 ke kamar 12. Jadi bukan cuma om Ino dan pak Anas aja,” kata Rudy.
“Mutasi gini kan biasa sih, Rud. Kenapa kamu kayaknya jadi gupek gitu?” tanggapku, dengan santai.
“Takut aja, om. Ngedadak Rudy juga dimutasi ke kamar lain,” ucapnya dengan polos.
“Ya nggaklah, Rud. Kamu kan dijamin Dino sama Basri. Lagian, kalaupun dipindah, ya jalani aja. Pasti ada baiknya juga,” kataku, menenangkan.
“Masalahnya, bukan soal pindah kamarnya itu, om. Tapi gimana kelanjutan hidup Rudy disini, kan masih lama juga harus selesaiin hukuman,” lanjut anak muda itu.
“Nggak usah khawatirin sesuatu yang belum kejadian, Rud. Dan kalau pun terjadi, pasti ada aja jalan keluarnya. Pede ajalah,” jawabku.
Hujan mendadak turun dengan derasnya. Tanpa memberi pertanda sebelumnya. Rudy berlari ke luar kamar. Mengangkat handuk yang ia angin-anginkan di tempat menjemur pakaian khusus penghuni Blok B.
Aku kembali melanjutkan membaca Alqur’an. Perlahan dan terus mencoba memahami dengan seksama setiap makna yang terkandung pada setiap ayatnya. Hingga adzan Isya menggema. Seusai menutup kitab suci, aku langsung solat di atas kasurku. Karena hujan masih terus tumpah dengan derasnya dari langit.
Aku mengajak Rudy makan malam. Berlauk ikan asin sambel, telor rebus, dan kerupuk. Untuk penghangat badan, aku minta dibuatkan teh pahit. Dan setelah menikmati sebatang rokok, aku kembali ke kasur. Menulis catatan harian dan mengungkap perasaan.
Hawa malam ini begitu dingin, akibat hujan deras tiada henti sampai dinihari. Mendadak, badanku menggigil. Demam. Panas dingin tidak karuan. Setelah meminum obat, memakai jaket dan celana training panjang, aku mencoba untuk tidur.
Namun, tidak bisa juga ku ajak mata ini memejam. Rasa badan yang tidak karuan, menimbulkan kegelisahan. Hingga adzan Subuh menggema membelah keriuhan suara air dari langit yang mengenai atap kamar, tak sekejap pun aku bisa tidur.
Badan terus bergetaran tidak beraturan. Panasnya juga cukup tinggi. Hingga mata pun terasa panas. Aku paksakan untuk segera berwudhu. Begitu terkena air, badan kian kuat gemetarnya.
Hingga aku buru-buru keluar kamar mandi dan merebahkan diri ke kasur. Menarik selimut. Mencoba mengendalikan getaran yang semakin tidak beraturan.
Sekitar 15 menit kemudian, baru aku bisa mengendalikan diri. Getaran di badan telah berkurang, meski sesekali masih muncul. Hawa panas masih menyusup di sekujur badan. Dan setelah solat Subuh, aku buat minuman hangat. Energen.
Tersadarlah aku saat merasakan Energen yang ku minum dengan perlahan, begitu pahit. Aku ambil sepotong roti, dan memakannya. Juga pahit. Penyakit typusku kambuh. Penyakit bawaan badanku. Hanya dengan terus mengucap istighfar, aku mencoba bertahan.
Saat itu, ingin sekali menghubungi istriku. Namun aku tahu, pada jam-jam seperti itu, ia tengah sibuk di dapur seusai melaksanakan subuhan. Untuk menyiapkan sarapan anak-anak sebelum berangkat ke sekolah.
Aku terus melipat kakiku. Meringkuk di atas kasur. Menutupi sekujur badan dengan selimut. Menunggu waktu agak siang, untuk menghubungi istriku.
Ketika waktu menunjukkan pukul 07.30, aku pun mengaktifkan hp, dan langsung menghubungi istriku melalui video call. Aku tahu persis, di jam itu ia telah meninggalkan rumah untuk menuju ke kantornya.
“Assalamualaikum, bunda,” kataku, begitu istriku mengangkat hp-nya. Karena aku video call, ia langsung menepikan kendaraannya, untuk melanjutkan pembicaraan kami.
“Waalaikum salam. Subhanallah. Ayah kenapa? Sakit ya? Pucet gitu mukanya,” kata istriku, saat melihatku berselimut dan masih menggeletak di kasur.
“Agak demam sejak semalem. Kayaknya typus ayah kambuh ini, bunda,” jelasku, dan tetap mencoba untuk tersenyum.
“Ya sudah, ayah yang tenang ya. Minum vitamin aja dulu. Nanti bunda beliin obat cacing, bunda usahain bisa ke rutan siang nanti. Tapi kalau nggak bisa, bunda titip ke Almika atau Fani aja. Siapa di antara mereka yang hari ini piket,” ujar istriku.
“Iya, bunda. Terimakasih ya. Bunda tetep tenang ya. Inshaallah, ayah nggak kenapa-kenapa kok. Cuma kambuh aja typusnya,” kataku.
“Makannya dijaga ya, ayah. Bukan soal rutinnya aja, tapi juga kebersihannya. Jangan capek-capek pastinya. Atur ritme kegiatan dengan lebih cermat. Istirahatnya juga harus dijaga waktunya. Ingeti lo, ayah sudah nggak bisa begadang-begadang lagi,” tutur istriku, panjang lebar.
“Iya, bunda. Doain ayah ya,” ucapku dan memberi isyarat untuk mengakhiri pembicaraan.
“Bunda sama anak-anak terus doain ayah. Tetep tenang ya, ayah. Istirahat aja dulu. Bunda usahain hari ini obat typus sudah ayah terima dan langsung diminum,” sahut istriku dan mengakhiri perbincangan.
Seusai menyimpan kembali hp di balik rak panjang, aku merebahkan badan di kasur. Sambil mengingat-ingat, ada kesalahan makan dimana, hingga mendadak penyakit bawaanku muncul.
Akhirnya terjawab. Saat makan bakso siang kemarin di kantin bersama pak Sibli dan kawan-kawan, aku terlampau banyak memberi sambel. Sehingga rasa pedasnya melewati batas yang biasa aku nikmati.
Ketika Rudy telah bangun, aku minta dia pesan bubur ayam ke kantin. Juga tidak perlu membuatkan aku kopi pahit, karena aku memilih meminum air putih hangat.
“Om kenapa? Demam ya?” tanya Rudy, sambil memegang badanku.
“Wow, panas amat badannya, om,” lanjut Rudy.
“Iya, demam, Rud. Nggak apa-apa kok. Yang penting, gimana caranya kamu usahain bisa dapet bubur ayam itu. Kalau lagi sakit gini, om harus makan bubur. Nggak bisa nasi biasa, apalagi nasi cadong,” kataku, mencoba tetap tenang.
Tanpa tahu kapan mulainya, ternyata aku tertidur. Sampai Rudy membangunkan dan menaruhkan mangkok berisi bubur ayam.
“Alhamdulillah. Terimakasih buburnya ya, Rud. Ayo, kita sarapan,” ujarku, sambil duduk dari tempat tidur.
“Tadi Rudy beli nasi ayam goreng, om. Nggak apa-apa ya. Lagi kepengen aja,” ujar Rudy, seraya tersenyum.
“Iya nggak apa-apa, Rud. Ayo makan bareng, kamu duduk sini aja,” ujarku, mengajak Rudy sarapan sambil duduk di dekat tempat tidurku.
Bubur ayam yang biasanya gurih dan cukup nikmat, kali ini terasa pahit. Makin yakin, jika aku tengah didera oleh typus. Kambuh lagi penyakit bawaanku itu. Selepas sarapan dan meminum vitamin, aku kembali merebahkan badan. Mencoba untuk melanjutkan tidur.
Saat matahari semakin tinggi, mengeringkan tanah yang semalaman dibasahi air hujan, aku tergerak untuk ke masjid. Selain untuk menghirup udara segar, juga ingin solat dhuha. Dengan berjalan pelan, sampailah aku di rumah Allah. Banyak anggota majelis taklim yang telah ada disana. Mengaji dan belajar agama.
Seusai melakukan solat dhuha empat rokaat dan belum sempat berdoa, mendadak badanku kembali demam, hingga bergetaran. Rasanya tidak karuan. Aku bergeser, ke teras samping, merebahkan badan. Mencoba mengendalikan keadaan.
Mendadak, seorang anggota majelis taklim menendang kakiku dengan cukup keras.
“Kalau mau tidur, di kamar aja, pak. Ngapain ke masjid kalau cuma buat tidur,” kata pria bertubuh gemuk dengan kulit hitam itu, sambil menatapku yang menggeletak di lantai.
“Aku lagi demam, pak. Barusan solat dhuha, karena gregesan maka aku geletak. Bukan tidur,” sahutku, dengan suara pelan.
“Kalau sakit, ke poliklinik sana. Bukan tiduran di masjid,” lanjut pria itu, masih dengan tetap menatapku.
Perlahan, aku duduk. Dan setelah mengatur tenaga, aku pun berdiri. Pria yang membangunkanku dengan kasar itu, masih tetap berdiri di tempatnya. Ingin memastikan, bila aku tidak melanjutkan tidur di masjid.
“Maaf, pak. Terimakasih sudah menegurku,” ujarku, dan bergerak untuk keluar masjid.
“Ya sudah sana. Ke poliklinik aja kalau nggak sehat,” sahutnya, dengan enteng.
Ketika baru beberapa langkah aku berjalan, tiba-tiba Danil datang.
“Abang kenapa, sakit ya?” kata dia sambil memegang tanganku.
“Panas amat badan abang,” lanjutnya, penuh kekhawatiran.
“Demam aja, Danil. Nggak apa-apa kok. Tadi habis solat dhuha, gregesan badan ini, jadi aku geletak. Eh, ditegur sama orang itu dengan cara kasar,” kataku, sambil menunjuk pria yang menegurku dan masih menatapku dengan pandangan tajam.
“Kasar kayak mana, bang? Masak sih?” tanya Danil, dan memandangku dengan wajah serius.
“Ngebanguninnya pakai nendang kaki. Ya sudah, nggak apa-apa. Kali kalau nggak dengan cara itu, aku bisa keterusan tidurnya,” jelasku, mencoba tetap tersenyum.
Spontan, Danil menunjukkan jarinya ke arah pria yang menegurku, dengan penuh emosi. Aku tarik tangan Danil. Saat ia menatapku, ku gelengkan kepala.
“Jangan emosi, Danil. Ini semua ujian. Ngetes kesabaran kita. Santai ajalah,” ucapku, seraya memeluk Danil.
“Caranya itu yang nggak pantes, bang. Yang ginian ini sering buatku kehilangan sabar,” balas Danil, masih ada emosi yang meletup.
Aku tersenyum. Residivis ini memang memiliki karakter yang cepat tersulut. Ia mulai menemukan alur peredaman emosinya yang acap meluap, setelah menjadi anggota majelis taklim. Aku tidak ingin, ia kembali pada gaya beringasnya yang telah dikikis perlahan dengan mendalami ajaran agama. (bersambung)
