Oleh, Dalem Tehang
“SEKARANG abang mau kemana, biar ku anter,” kata Danil, dan terus memegang tanganku.
“Balik ke kamar ajalah. Istirahat di kamar,” ucapku, pelan.
Danil terus berjalan mendampingiku dengan memegang tanganku. Erat. Memapah. Meski aku menolak untuk ia anter kembali ke kamar, pria yang baru beberapa waktu mendapat hidayah dengan mendalami ajaran agama ini, memaksa untuk tetap mengantarku sampai di kamar.
Saat akan memasuki Blok B, aku minta ia melepaskan tangannya yang terus memegang tanganku.
“Aku pegangin ini karena takut abang ndadak jatuh,” kata Danil.
“Cukup kamu yang tahu aku lagi lemah gini, Danil. Nggak perlu orang yang lagi nonon tivi di ruang masuk blok, akhirnya tahu semua kalau aku lagi sakit,” jawabku, dengan pelan.
Danil memahami sikapku. Ia melepaskan tangannya. Namun tetap mendampingiku berjalan dengan jarak yang sangat dekat. Hingga aku sampai di kamar. Setelah aku merebahkan badan di kasur, ia menyelimutiku. Baru kemudian pamitan.
“Kalau abang mau ke poliklinik, suruh OD cari aku ya, nanti aku kawal,” ujar Danil, sebelum meninggalkan kamarku.
“Oke, terimakasih banyak, Danil,” sahutku, dan mencoba memejamkan mata yang terasa begitu panas.
Aku paksakan untuk tidur. Mengkiati agar demam yang begitu mendera raga, tidak demikian terasa. Sampai terdengar suara adzan Dhuhur, baru aku terbangun. Dengan perlahan, aku ke kamar mandi. Wudhu. Sempat muncul kekhawatiran, akan kembali bergetaran tidak karuan badanku karena terkena air. Dan ternyata, kekhawatiranku terjadi.
Begitu terkena air, badanku langsung menggigil. Buru-buru ku selesaikan wudhu dan setengah berlari, naik ke kasurku lagi. Meringkukkan badan, mengendalikan getaran akibat serangan menggigil yang demikian kencang. Sekira 10 menit kemudian, baru aku kembali normal.
Seusai dhuhuran di kasur dilanjutkan dengan membaca doa sebentar, kembali aku tiduran. Rudy datang, mengajakku makan siang. Aku meminta ia untuk membeli bubur ayam lagi.
Dan siang itu, kembali aku makan bubur. Dilanjutkan meminum obat penurun panas serta vitamin.
“Ke poliklinik aja, om. Rudy anter,” kata Rudy, setelah ia menaruhkan air putih hangat di rak yang ada di atas tempat tidurku.
“Nggak usah, Rud. Belum tentu dapet obat yang pas. Om sudah telepon orang rumah, minta dikirim obat om,” jawabku, dengan tetap merebahkan badan di kasur.
“Emang om ini sakit apa?” tanya Rudy.
“Penyakit bawaan kambuh, Rud. Typus,” kataku.
“Oalah, om ini punya typus ya. Makannya harus dijaga bener kalau gitu, om. Juga jangan capek-capek,” ujar Rudy, dengan wajah serius.
“Bener itu, Rud. Kayaknya kemarin makan bakso di kantin itu, om kebanyakan kasih sambel. Jadi ngerangsang penyakit bawaan om kambuh,” kataku lagi.
“Ya sudah, bawa istirahat aja, om. Kalau bisa, bawa tidur. Biar cepet pulih. Kalau pengen apa-apa, panggil Rudy aja. Rudy paling duduk di taman depan, nggak jauh-jauh,” lanjut Rudy, dan meninggalkanku.
Kembali ku pejamkan mata. Mengendalikan pikiran dan perasaan. Menyenandungkan istighfar di dalam jiwa. Mengakui akan kelemahan diri. Mengakui akan keperkasaan Illahi. Ketika adzan Ashar menggema, Rudy menepuk telapak kakiku dengan pelan.
“Om mau solat sekarang? Apa Rudy masakin air dulu buat om wudhu, biar nggak ngegigil badannya,” kata Rudy, dan menatapku penuh keprihatinan.
“Nggak usah, Rud. Om biasain tetep pakai air dingin yang ada di bak aja. Nanti juga pelan-pelan hilang ngegigilnya kok,” jawabku, dan perlahan bangkit dari tiduran.
Saat aku wudhu, Rudy berdiri di pintu kamar mandi. Mengawasiku. Dan kembali, begitu terkena air, badanku langsung menggigil. Dengan cepat, aku selesaikan prosesi wudhu. Dan selanjutnya dipapah Rudy untuk kembali ke kasurku. Kali ini, cukup lama aku mengendalikan diri, baru getaran di badanku, berhenti.
“Rudy tinggal ke masjid ya, om. Nggak apa-apa ya,” ucap Rudy, setelah melihatku normal kembali.
“Iya, ke masjid-lah, Rud. Om solat disini aja,” kataku, dan dengan pelan, ku mulai penghambaan seorang makhluk kepada Sang Khaliq.
Selepas solat dan berdoa, kembali aku merebahkan badan. Memejamkan mata. Mencoba untuk tidur. Namun, pikiranku melayang kemana-mana. Dan akhirnya, aku harus mengakui kenyataan, bila sakit di rutan memang deritanya berkali-kali lebih berat dibanding di luar penjara.
Dengan pengakuan itu, aku memantapkan hati untuk terus beristighfar. Aku tarik kembali pikiran yang melayang tak tentu arah, menuju kepada sumbernya. Jiwaku. Senandung permohonan pengampunan pun terus bertalu. Hingga aku pun kembali tidur.
Begitu lelapnya aku, sampai adzan Maghrib dari masjid di dalam rutan, tidak terdengar. Beruntung, Rudy membangunkanku. Buru-buru aku berwudhu. Ku buang jauh-jauh kekhawatiran akan kembali menggigilnya badanku. Ternyata, masih tetap menggigil, meski getarannya lebih lemah.
Baru saja aku selesai maghriban, terdengar suara sepatu laras masuk kamar. Aku sudah hapal, itu sepatu sipir. Dan benar. Berdiri dengan gagahnya sipir Fani di dekatku. Berpakaian dinas lengkap, sipir yang teman saat kuliah ini, langsung duduk di sampingku.
“Abang sakit apa?” tanya dia, dengan serius.
“Kayaknya penyakit typus kambuh, Fani,” jawabku, dengan santai.
Ia merogoh kantong pakaian dinasnya. Mengeluarkan sebuah kantong plastik kecil.
“Ini obat cacingnya. Tadi ayuk telepon Fani, minta kasih obat ini ke abang secepetnya,” kata Fani lagi, dan memberikan obat kiriman istriku.
“Alhamdulillah. Kalau sudah dateng obatnya, inshaallah bisa cepet pulih. Terimakasih banyak bantuannya ya, Fani,” ujarku, dan menyalaminya penuh keakraban.
“Kalau ada apa-apa, cepet kasih tahu akulah, bang. Kalau bisa kita tangani, nggak perlu ayuk dan ponakan-ponakan di rumah tahu abang lagi sakit. Mereka pasti khawatir bener sama kondisi abang,” lanjut Fani.
“Iya, tadi pagi itu aku kan gupek, Fani. Demam tinggi. Badan ngegigil sampai kasur ini goyang. Maka langsung telepon ayuk. Nggak tahu juga, kalau kamu malem ini piket,” sahutku.
Tanpa menunggu waktu lama, obat yang dibawakan Fani, langsung aku minum. Tiba-tiba Fani berdiri. Dan bergegas keluar. Suara sepatu larasnya terdengar menuju pintu keluar Blok B. Sekira 10 menit kemudian, sipir muda usia berwajah ganteng dengan jenggot rapih dan kumis yang tertata itu, kembali masuk ke kamarku.
“Kelupaan, bang. Ketinggalan di mobil. Tadi ayuk juga nitip makanan. Bubur ayam sama bubur instan. Pesen ayuk, tiga hari ini abang harus makan bubur dulu, jangan makan yang lain,” kata Fani, dan menyerahkan satu kantong plastik berisi makanan kiriman istriku.
“Alhamdulillah. Iya, Fani. Hari ini juga cuma makan bubur kok,” jawabku.
Setelah berbincang beberapa saat, Fani meninggalkan kamarku. Kembali ke tempatnya bertugas malam itu. Rudy menyiapkan mangkok dan sendok untuk aku makan bubur. Juga air putih hangat.
Dengan perlahan, ku nikmati bubur ayam kiriman istriku, meski masih tetap pahit rasanya. Beberapa kali aku ingin muntah akibat pahitnya makanan yang masuk ke mulutku.
“Dipaksain makannya, om,” kata Rudy, yang menemaniku makan.
“Iya, Rud. Kalau nggak dipaksa, bisa-bisa emang nggak makan ini. Lagian, sudah susah payah orang rumah ngirimnya, masak nggak dimakan. Bisa kualat nanti,” tanggapku, dan mencoba tersenyum.
Suara adzan Isya terdengar dengan kencangnya. Aku pandangi Rudy. Mengingatkan untuk ia ke masjid. Solat berjamaah. Tampak, OD kamarku itu ragu-ragu. Meninggalkanku yang tengah dalam kondisi sakit.
“Sana ke masjid, Rud. Jangan tinggalin solat jamaah. Om nggak apa-apa kok,” ujarku, sambil menatap Rudy dengan serius.
Tanpa berbicara lagi, anak muda berusia 27 tahunan itu, keluar kamar. Dan menuju masjid. Seusai makan bubur, aku taruh mangkok di kamar mandi, sekaligus berwudhu. Badanku tidak lagi menggigil seperti sebelumnya, setelah terkena air. Alhamdulillah. (bersambung)
