-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 285)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Rabu, 12 Oktober 2022


Oleh, Dalem Tehang


SELEPAS solat Isya, aku kembali merebahkan badan di kasur. Menerawang, menatap plafon kamar. Terdengar pintu kamar dibuka. Rudy telah kembali dari masjid.


“Om, kan tadi masih ada sisa uang buat beli bubur ayam. Rudy masukin ke kotak sedekah di masjid. Niatnya sedekah om, dan Rudy berdoa om cepet sembuh,” kata Rudy, sambil duduk di lantai tempat tidurku.


“Alhamdulillah. Bagus itu, Rud. Terimakasih kamu sudah inisiatif gitu. Kok kamu kepikiran sedekah, kenapa, Rud,” tanggapku.


“Tiba-tiba aja inget hadits yang pernah Rudy baca di buku, om. Jadi, pas mau keluar masjid tadi, langsung Rudy masukin uang kembalian beli bubur ke kotak amal,” jelas Rudy.  


“Emang apa yang disampein di hadits itu?” tanyaku.


“Seinget Rudy, hadits riwayat Baihaqi, om. Nabi bersabda: obatilah orang yang sakit di antara kalian dengan sedekah. Spontan aja, Rudy jalani ajaran Kanjeng Nabi itu. Inshaallah, om cepet sembuh ya,” ujar Rudy, seraya tersenyum puas.


Aku panggil Rudy untuk mendekat. Dan sesaat kemudian, ku peluk anak muda itu penuh dengan rasa haru dan bangga.     


“Assalamualaikum,” tiba-tiba terdengar suara salam dari arah pintu. Rudy bergerak.


“Waalaikum salam. Oh, om Danil. Masuk om,” sahut Rudy, dan membuka pintu kamar, yang memang tidak pernah digembok.


“Bang Mario tidur nggak?” tanya Danil, dengan suara pelan.


“Nggak, om. Baru habis makan dan isyaan. Ke dalem aja, om,” jawab Rudy.


Danil berjalan ke dalam kamar. Dan duduk di tepian lantai tempat tidur. Setelah menyalamiku, dengan pelan ia memegang keningku.


“Masih lumayan panasnya, bang. Sudah minum obat kan,” kata Danil.


“Sudah. Tadi dibawain obat cacing, kiriman istri. Proses penyembuhan aja kok ini,” jawabku, mencoba memberi senyuman.


“Kepikiran aja, karena sejak dhuhur sampai isya, abang nggak jamaahan di masjid. Perkiraanku, abang pasti belum sehat. Ternyata bener. Banyak-banyak minum air putih hangat dan istirahat aja dulu, bang. Makan bubur, jangan makan nasi biasa dulu,” ucap Danil, panjang lebar.


Terdengar suara Rudy sedang berbincang dengan seseorang di ruang depan. Aku mengernyitkan dahi. Sepertinya mengenali suara orang yang tengah berbicara dengan Rudy.


“Aku ajak kawan yang pagi tadi bangunin abang di masjid. Aku sampein ke dia, bang Mario ini abangku. Jadi, kalau ganggu bang Mario, berarti ya ganggu aku. Nah, dia pengen ikut, waktu aku bilang mau ngelihat abang. Katanya, mau minta maaf atas kekasarannya tadi,” Danil menjelaskan orang yang berbincang dengan Rudy di ruang depan.


Tanpa menunggu jawabanku, Rudy memanggil kawannya sesama anggota majelis taklim. Masuklah pria berbadan gemuk dengan kulit hitam, ke kamarku. Ia langsung menyalamiku dengan kedua tangannya, dan menyampaikan permintaaan maaf atas caranya membangunkanku di masjid dengan menendang kakiku.


“Yang sudah terjadi, ya sudah. Nggak apa-apa. Aku juga langsung maafin kok. Cuma aku pesen, lain kali janganlah bangunin orang tidur pakai kaki. Selain nggak sopan, juga nunjukin kalau kamu punya watak arogan,” tuturku, tetap mencoba tersenyum.


“Sekali lagi, aku minta maaf, bang. Inshaallah, aku perbaiki ke depannya. Emang tadi pikiran lagi ruwet, jadi agak nggak terkontrol perbuatanku,” ucap pria yang mengaku bernama Mukri itu.


“Jadi gini, kita semua sebenernya lagi mendaki jalan terjal yang sama. Cuma kerikil dan sandungan aja yang berbeda-beda. Dan apa yang ada sekarang, hanya tentang perjalanan. Nggak usah dipikirin endingnya, nikmati aja prosesnya,” tanggapku, dengan santai.


“Iya, bang. Terimakasih petuahnya. Tadi itu, aku lagi ruwet pikiran. Ada kawan sesama majelis taklim, yang masih sok-sok-an, mentang-mentang dulunya dia preman besar dan masuk sini karena kasus pembunuh bayaran. Kalau punya mau, nggak peduli hak orang, dia rampas aja,” kata Mukri, dengan nada emosi.


“Aku inget, ustadz Umar waktu kultum pernah bilang begini: kita nggak boleh ngehujat cerita hidup seseorang, karena kita nggak tahu, mungkin aja dia lagi berjuang melewati itu semua. Dan kalau pun kita berada di posisi dia, belum tentu juga kita bisa melewatinya. Menjadi penyemangat dan pengingat untuk seseorang tanpa menghujat, jauh lebih membantu dan elegan,” ujarku, mengurai.


“Iya, bener, bang. Aku inget, ustadz Umar pernah nyampein itu. Waktu itu kultum setelah solat Ashar. Luar biasa ingetan abang ini ya,” ujar Danil, dengan cepat.


“Ayo kita terus belajar mengingat dan jalani pesen-pesen kebaikan yang ditebar oleh ustadz Umar. Beruntunglah kita yang rutin dapet pencerahan, hingga bisa kendaliin diri dengan baik di dalam rutan yang penuh ragam laku menjurus ketidakbaikan ini,” sambungku.


Seusai berbincang ringan beberapa saat, Danil dan Mukri pun berpamitan. Untuk segera kembali ke kamar khusus anggota majelis taklim di Blok A. Sepeninggal mereka, aku meminta Rudy duduk di ruang depan, karena aku akan menelepon istriku.


“Assalamualaikum, bunda,” kataku, menyapa istriku, Laksmi, melalui video call.


“Waalaikum salam, ayah. Obat cacingnya sudah dikasih ya sama Fani. Sudah diminum juga kan,” sambut istriku.


“Iya, sudah dikasih sama Fani, juga sudah ayah minum. Ayah juga sudah makan bubur kiriman bunda. Alhamdulillah, terimakasih ya, bunda,” jelasku, sambil menatap istriku yang tampak sedang sibuk di dapur.


“Bunda lagi kupasin apa itu?” tanyaku.


“Kupas kulit jambu. Mau bunda buat juice, besok dikirim ke ayah. Jambu panenan dari pohon kita sendiri. Tadi nduk sama adek sudah petikin bunga telang juga. Ayah pakai obat buah-buahan atau taneman ciptaan Allah langsung aja, nggak usah obat-obat buatan pabrik,” kata istriku, tersenyum. 


“Oke, bunda. Alhamdulillah, badan ayah sudah agak enakan. Tadi wudhu sudah berkurang ngegigilnya,” ujarku.


“Kenapa nggak minta tolong Rudy masakin air buat wudhu, kan kondisi ayah masih demam gitu,” tanggap istriku.


“Rudy tadi emang sempet nawarin, tapi ayah nggak mau. Takutnya, malah lama proses penyesuaian kondisi badan, kalau wudhu pakai air hangat. Lebih baik natural gini aja,” jawabku.


Tiba-tiba kamera telepon seluler istriku menyorot Bulan yang sedang berjalan ke arah dapur. Terdengar ia menanyakan apakah aku yang sedang video call. Istriku mengangguk. Dan sesaat kemudian, muncullah wajah anak gadisku di hpku.


“Hai, nduk,” sapaku, seraya tersenyum.


“Ayah nggak disiplin ya. Kalau typusnya kambuh itu, berarti makan ayah nggak dijaga. Hayo, ayah habis makan apa,” kata Bulan sambil menatapku tajam.


“Kemarin siang, ayah makan bakso di kantin sama kawan-kawan. Ada yang traktir. Nah, kayaknya kasih sambelnya kebanyakan, terus sorenya ayah jogging emang agak ekstra,” jelasku, apa adanya.


“Yo wes, ketahuan penyebabnya. Mulai sekarang, ayah mesti disiplin-disiplin bener jaga makannya ya. Batasi juga olahraganya. Kami semua sedih bener denger ayah sakit. Ngelihat nggak bisa, apalagi ngurusi ayah. Tolonglah, ayah jaga kesehatan itu yang serius. Kalau yah sakit gini, kami semua nelongso,” kata Bulan, dan mendadak suaranya sesenggukan. Menangis sedih.


Aku terdiam. Ingin menjawab, namun suaraku mendadak tercekat di tenggorokan. Tampak Bulan memeluk istriku. Mereka menangis bersama. Hingga berurai air mata. Dan, tanpa ku sadari, air mataku pun menetes. Perlahan, membasahi seprai kasurku. (bersambung) 

LIPSUS