-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 288)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Sabtu, 15 Oktober 2022


Oleh, Dalem Tehang


MAAF, bung Mario kan?” kata pria itu, sambil bergerak dari berdiri menjadi jongkok.


“Iya, masyaallah, kamu Amat ya. Ngapain kamu disini,” sahutku, setelah memperhatikan dengan seksama pria berambut gondrong dengan wajah penuh simpatik, yang mendadak berada di dekat kami.


“Alhamdulillah. Seneng bisa ketemu bung Mario lagi. Ada anakku disini juga, si Ganda. Kena kasus narkoba,” kata Amat. Sahabat sejak kami masih sama-sama muda dulu.


Amat melambaikan tangannya, ke arah kiri. Seorang pria muda berusia sekira 28 tahunan, berdiri dari tempat duduknya, meninggalkan seorang wanita yang aku yakini adalah istri Amat. Dan mendekat ke tempat kami.


“Ini si Ganda, bung. Kamu perlu tahu, Ganda. Bung Mario ini sudah seperti kakak ayah. Jadi kamu harus panggilnya juga ayah,” kata Amat sambil menatap Ganda.


Anak muda berwajah tampan itu menyalamiku, juga istri dan anakku Bulan. Dengan kedua tangannya. Sopan. Ada senyum renyah di bibirnya.


“Kamu di kamar berapa?” tanyaku kepada Ganda.


“Di kamar 10, ayah. Satu blok sama ayah. Cuma selama ini Ganda nggak tahu siapa ayah, jadi segen mau negornya,” kata Ganda, sambil menundukkan wajah.


“Ya sudah, kapan-kapan, main ke kamar ayah ya. Kita bisa ngobrol-ngobrol,” ucapku.


Amat dan Ganda pun berpamitan. Kembali ke tempat mereka duduk. Sebelum beranjak pergi, Amat menitipkan anak bujangnya kepadaku.


“Anggep Ganda itu anak bung sendiri ya. Kalau dia salah, marahi aja. Tolong ajak dia ke masjid dan lakuin hal-hal yang bener dan baik,” kata Amat, dan ku sambut dengan anggukan kepala.


“Itu nduk, ada aja kan tambahan kawan ayah disini. Jadi nggak usah khawatir ayah nggak ada kawan. Tadi aja kan dikawal sama om Rudy kesininya. Alhamdulillah, ada aja yang baik sama ayah,” kata istriku Laksmi kepada Bulan, setelah Amat dan Ganda pergi. 


“Tapi tetep hati-hati dan cermat berkawannya ya, ayah. Di luar aja banyak orang ngaku kawan tapi cuma cari manfaat pribadi, apalagi di dalem gini,” kata Bulan, dan menatapku dengan pandangan serius.


“Iyo, banyak pelajaran hidup yang ayah dapet dari tempat ini, nduk. Inshaallah, ayah bisa makin selektif dalam berkawan,” sahutku, dan kembali memeluk anak gadisku satu-satunya.


Bulan begitu menikmati pelukanku. Ia terus merapatkan badannya. Tangannya memeluk leherku. Wajahnya tetap disadarkan di dadaku. Melihat anak gadisnya berlaku demikian, istriku Laksmi tersenyum. Senyum tulus seorang istri sekaligus seorang ibu. 


“Nduk hari ini emang libur, apa ngelibur?” tanyaku, sambil mengelus-elus rambutnya.


“Ngeliburlah ayah. Ini kan hari sekolah. Cuma, ketimbang dia sedih dan nangis terus mikirin ayah yang lagi sakit, jadi bunda izinin ke wali kelasnya kalau hari ini nduk nggak masuk. Yang penting, ketemu ayah dulu, biar plong hati dan pikirannya,” istriku yang menjawab.


“Matur suwun yo, nduk. Sudah lihat sendiri kan, ayah mulai sehat. Besok sekolah lagi yo. Sing penting, saling doa. Dan tetep bersyukur dengan kondisi ini,” ucapku dengan tetap mengelus-elus rambut Bulan.


Seorang sipir menyampaikan pemberitahuan bila jam kunjungan telah selesai. Bersamaan dengan itu, terdengar suara adzan Dhuhur dari masjid. 


Spontan, Bulan mengencangkan tangannya di leherku. Ditariknya hingga menyentuh kepalanya yang ada di dadaku. Ada air mengalir dari matanya. Istriku buru-buru mengambil tisu, menghapus air mata kesedihan Bulan.


“Yo wes, kita pulang yo, nduk. Kapan aja nduk kangen ayah, bilang bunda, kita kesini lagi. Ayah juga selalu kangen sama kita kok,” kata istriku dengan perlahan. Tercuat nada kesedihan yang mendalam dari ucapannya.


Beberapa saat kemudian, Bulan melepaskan tangannya yang melingkar di leherku. Ditatapnya mataku dengan sendu.


“Ayah janji ya, nggak boleh sakit-sakit lagi. Inget, kalau ayah sakit, mbak sama bunda nangis terus. Bunda itu sejak tahu ayah sakit, nggak bisa tidur. Solat terus dan doain ayah sambil nangis di sajadah. Mbak rasain gimana sedihnya bunda, walau bunda nggak ngomong,” kata Bulan, dan segera menghapus air mata yang menetes di pipinya.


“Iyo, nduk. Ayah jaga kesehatan dengan maksimal. Inshaallah, ini sakit pertama dan terakhir selama ayah disini,” jawabku dan mencium Bulan dengan penuh kasih sayang seorang ayah kepada anak gadisnya.


Bulan kembali memelukku, dan setelah mencium kedua tanganku, ia bergerak. Berdiri. Saat bersamaan, ku peluk istriku penuh rasa cinta berbungkus keharuan.


“Ayah yang kuat ya. Bunda tahu beratnya beban yang ayah rasain selama ini. Tapi, bunda juga tahu, ayah itu orang kuat, orang pilihan. Nggak ada urusan dunia yang bisa ngeruntuhin mental ayah. Terus bangkitin semangat dan optimis. Jalani takdir ini dengan kuat dan ikhlas,” kata istriku dengan pelan di sisi telingaku. 


“Iya, bunda. Terimakasih atas semua yang terbaik yang bunda lakuin buat ayah selama ini ya. Juga maafin semua salah ayah,” sahutku, pun dengan pelan.


Aku antarkan istriku Laksmi dan Bulan hingga ke pintu gerbang P-2-O, sebelum mereka memasuki ruangan terakhir di dalam kompleks rutan, dan kemudian keluar ke pelataran parkiran kendaraan.


Sesaat sebelum memasuki pintu gerbang sesuai antrian untuk keluar, Bulan kembali memelukku dengan erat.


“Kami semua sayang dan bangga sama ayah. Inget ya, ayah adalah laki-laki terhebat dalam kehidupan kami,” kata Bulan dan dengan langkah pelan, menapakkan kakinya memasuki pintu gerbang. Selanjutnya, ia dan istriku menghilang di balik gerbang tinggi dari baja tebal itu. 


“Ayo om, kita balik ke kamar,” suara Rudy mengejutkanku, yang masih berdiri menatap pintu gerbang P-2-O.


Perlahan aku membalikkan badan, melihat Rudy berdiri di pintu pos penjagaan luar. Ku serahkan dua kantong plastik berisi makanan dan minuman yang dibawakan istri dan anakku ke tangan Rudy. Dan setelah menaruh uang sebagai wujud “sepemahaman” ke dalam kotak di dalam pos, kami pun memasuki area steril.


Sesampai di pos penjagaan dalam, seorang sipir memeriksa kantong plastik di tangan Rudy. Ia ingin mengambil juice jambu yang ada di dalam botol besar. Rudy menatapku.


“Mohon maaf, pak. Itu juice buatan istri  untuk obat, karena saya lagi sakit,” kataku kepada sipir itu.


“Jadi maksudnya, nggak boleh ku ambil?” balas sipir dengan nada tinggi.


“Iya, jangan bapak ambil. Itu buat obat saya,” kataku lagi.


“Kalau aku tetep mau ambil, emang kenapa,” lanjutnya, masih dengan nada tinggi.


“Saya mohon pengertiannya, pak. Minuman itu untuk obat saya,” ujarku lagi.


Sipir itu menatapku dengan tajam, sambil ia memasukkan kembali botol besar berisi juice jambu ke kantong plastik di tangan Rudy. Tanpa berlama-lama, aku menarik tangan Rudy untuk keluar pos.


“Jangan ngeloyor aja dong. Mana uang kontribusi besukannya,” tegur sipir itu, tetap dengan nada tinggi.


Aku membalikkan badan, kembali masuk ke pos. Menaruh uang Rp 5.000 ke dalam kotak yang ada disana.


“Masak cuma segitu. Tambahlah,” ujar sipir itu.


Aku tidak menjawab. Langsung keluar pos dan berjalan bersama Rudy menuju kamar. Sepanjang jalan, aku beristighfar. Menahan diri. Mengendalikan emosi yang meletup-letup.         


Sesampai di kamar, ada sipir Mirwan. Tengah duduk santai di lantai tempat tidur sambil memainkan gadgetnya. Melihatku datang, ia menyapa dan tersenyum.


“Katanya lagi sakit ya, om?” tanya dia.


“Iya, typusku kambuh. Tapi sudah agak enakan sekarang,” sahutku, dan naik ke lantai tempat tidur.


Rudy masuk ke tempat kami berada, setelah menaruh barang bawaan istriku ke lemari penyimpan makanan. Juga memasukkan bubur ke dalam magiccom. Tanpa basa-basi, ia menceritakan apa yang kami alami saat di pos penjagaan dalam.


“Siapa emang sipirnya?” tanya sipir Mirwan, yang spontan menghentikan keasyikannya bermain gadget.


“Nggak kenal Rudy, om. Baru lihat tadi juga. Orangnya tinggi besar gitu. Masih seumuran om inilah,” kata Rudy.


“Oh, itu orang baru. Pindahan dari rutan lain. Ya sudah, om beresin dulu,” jawab sipir Mirwan, dan bergerak cepat keluar kamar. Menuju pos penjagaan dalam. (bersambung) 

LIPSUS