Oleh, Dalem Tehang
USTADZ Umar menjadi khatib solat jum’at. Ratusan penghuni rutan, juga puluhan pegawai, begitu khusu’ mendengarkan khutbah pria yang berprofesi sebagai dosen perguruan tinggi ini.
Masjid Miftahul Jannah yang ada di dalam kompleks rutan, penuh sesak dengan jamaah, hingga ke teras kiri-kanannya.
Dengan gaya khasnya, pria bertubuh tambun yang selalu tersenyum itu, terus mengingatkan perlunya untuk muhasabah, diiringi dengan kesabaran, ketenangan, dan keikhlasan dalam melakoni kehidupan.
Muhasabah, menurut ustadz Umar, mesti dilakukan secara total. Karena hakekat introspeksi diri adalah membuka semua sisi kehidupan seorang anak manusia dengan apa adanya.
“Kita sering mengaku didzalimi, padahal sebenarnya kita-lah yang dzalim. Kita sering merasa disakiti atau dianiaya, padahal kenyataannya, kita-lah yang menyakiti dan menganiaya. Dalam muhasabah, jangan ada yang kita sembunyikan. Buka semua borok yang ada pada hati, jiwa, pikiran, dan perilaku kita. Agar kita mendapatkan pengobatan yang sempurna untuk kehidupan lebih baik ke depannya,” tutur ustadz Umar, panjang lebar.
Terkait dengan muhasabah total, menurut dia, semua kita mesti tetap sadar dengan kenisbian yang menjadi ghirah kehidupan anak manusia.
“Karena pada hakekatnya, kita sebagai manusia, bukanlah pemilik kehidupan. Tidak ada manusia yang selalu berhasil meraih keinginannya. Hari ini bersorak merayakan kesuksesan, esok lusa bisa jadi menangis meratapi kegagalan. Saat ini bertemu, tidak lama kemudian akan berpisah. Detik ini bangga dengan apa yang dimiliki, detik berikutnya sedih akibat kehilangan. Karena itu, episode apapun yang sedang dilakoni pada detik ini, tetap tenangkanlah hati dengan memasrahkan semuanya kepada kehendak Rabbul Izzati,” urai ustadz Umar.
Ditambahkan, awal dan akhir adalah proses, hilang dan memiliki adalah takdir, datang dan pergi adalah fitrah. Sedih dan senang tak akan selamanya, karena semua dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
“Kita yang tengah menjalani penebusan dosa dengan hidup di penjara ini, tidak perlu menjerit karena sedih, sakit, dan merasa terhina. Meski hidup dihadapkan pada kondisi yang begini sulit, yakinlah bahwa kebahagiaan tak akan pernah tertukar. Allah selalu punya cara sendiri untuk mengangkat derajat kita semua,” imbuh ustadz Umar.
Ustadz Umar melanjutkan khutbahnya dengan mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib di dalam buku Tarikh Al-Khulafa.
“Sesungguhnya, berbagai kepedihan itu memiliki ambang batas. Seseorang yang ditimpa musibah, niscaya akan sampai pada ujungnya. Hendaklah, seseorang yang berakal, menenangkan diri dari musibah yang menimpanya hingga selesai masanya. Sebab, melawannya sebelum tuntas waktunya, hanya akan menambah ketidaktenangan,” katanya lagi.
Mengakhiri khutbah jum’atnya, ustadz Umar menyampaikan sepenggal kata penuh gelora semangat: “Tidak ada lelah yang berarti kalah, tidak ada gagal yang berarti kiamat personal. Jalan terbentang masih panjang. Tetaplah tenang. Kita tidak segampang itu ditenggelamkan keadaan.”
Selepas solat, aku berencana untuk segera kembali ke kamar. Di tengah perjalanan, bertemu pak Anas dan pak Sibli. Juga Aris, Dika, dan Iyos. Mereka mengajak makan siang di kantin. Namun aku menolak dengan halus, karena masih harus makan bubur. Dan makanan itu sudah dikirimkan istriku, yang kemudian ditaruh di magiccom oleh Rudy.
“Suruh Rudy nganter aja buburnya ke kantin, bang. Nanti aku bilang ke dia,” kata pak Sibli.
“Nggak usah, pak. Sekali ini aku mohon maaf bener, nggak bisa ikut makan siang bareng. Inshaallah, lain kali bisa ikut,” jawabku.
Tampak pak Sibli dan kawan-kawan lain kecewa dengan penolakanku. Namun, itulah pilihan yang harus ku ambil. Karena mengutamakan kesehatan adalah prioritas. Sebab, di dera sakit dengan posisi di penjara itu, luar biasa pedih dan nelongsonya.
Seusai makan siang dengan bubur ayam ditambah suwiran daging bebek kecap, dan meminum obat, aku duduk santai bersandar tembok di ruang tidur sambil menikmati satu batang rokok.
Pikiranku berkelana. Keluar kompleks rutan. Teringat aktivitas harian pada jam-jam siang semacam itu. Mendadak, jiwa ini terasa pedih dan sedih. Ku tutupkan kedua mata. Menarik kembali semua alur pikiran yang tengah melanglang. Mengajak kembali ke dalam rutan. Menyatu dengan kenyataan. Dan perlahan, jiwa pun kembali merasa nyaman.
Tiba-tiba Rudy naik ke lantai tempat tidur. Membawa bantalnya, dan langsung merebahkan badan. Melihat OD kamarku begitu nikmat dalam lelap tidurnya, aku pun naik ke kasur. Juga tidur.
Ketika suara adzan Ashar terdengar, Rudy bangun. Ia membangunkan aku yang masih lelap. Bergegas kami berjalan bersama menuju masjid. Solat berjamaah. Selepas solat, aku bergeser ke sudut kanan masjid. Menyendiri. Bersolawat.
“Lama amat wiridnya, om. Sampai capek Rudy nungguinnya,” kata Rudy, begitu aku keluar masjid dan memakai sandal di teras depan.
“Ini kan jum’at sore, baca solawat yang bagus itu, Rud. Tadi om lakuinnya. Ya, maaf kalau kamu kelamaan nungguinnya. Mestinya, kamu tinggal aja tadi,” sahutku, yang tidak menyangka Rudy masih menungguku di teras masjid.
“Tadi emang sempet kepikir, mau tinggalin aja. Tapi, kan om belum sehat bener. Kalau ada apa-apa, kayak mana,” ucap Rudy, sambil menatapku dengan wajah serius.
“Iya juga ya, Rud. Terimakasih atas perhatianmu,” kataku, dan menepuk bahunya. Bangga.
“Nggak usah ngomong terimakasih terus gitu sih, om. Kayak ke orang lain aja,” kata Rudy, saat kami berjalan meninggalkan masjid untuk kembali ke kamar.
“Justru ucapan itu penting terus disampein, Rud. Pada siapa aja. Kayak kita sampein minta tolong atau minta maaf. Dengan ucapan sederhana itu, kita sudah ngehargai sesama. Nah, ngehargai sesama itu, sama juga dengan kita ngehargai Sang Pencipta,” jelasku, panjang lebar.
“Jadi, kalau kita ngerendahin sesama, sama aja kita ngerendahin Tuhan Yang Kuasa ya, om,” sahut Rudy dengan cepat.
“Makna hakekatnya ya kayak gitu, Rud. Makanya, ustdz Umar selalu ngajak kita muhasabah, biar kita terus perbaiki diri. Bagusin laku, ngomong yang baik-baik aja atau lebih baik diem. Ngehindarin perselisihan, juga ngejauhi ghibah,” kataku lagi.
Sesampai di kamar, Rudy mengambil Alqur’an dan keluar ke kamar 19. Belajar mengaji dengan pak Anas. Aku buru-buru mandi dan setelahnya juga membaca kitab suci. Tetap di kasurku.
Kekhusu’anku membaca Alqur’an sempat terganggu dengan riuhnya beberapa tahanan yang tengah bernyanyi di taman depan kamar. Suara mereka nan kencang diiringi denting gitar dan gendang dari galon, mengacaukan konsentrasiku.
Sempat terpikir, meminta mereka yang tengah bernyanyi untuk memelankan suaranya, atau bahkan berpindah ke tempat lain. Namun, saat bersamaan aku tersadarkan, bila semua penghuni rutan memiliki hak yang sama untuk menikmati kebebasannya dalam mencari kepingan kebahagiaan dan kesukacitaan.
Dan tiba-tiba aku teringat dengan perkataan sastrawan terkenal, Pramoedya Ananta Toer; masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri. (bersambung)
