-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 292)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Rabu, 19 Oktober 2022


Oleh, Dalem Tehang


SUARA adzan Maghrib terdengar dari toa masjid. Ku tutup kitab suci, dan segera berwudhu. Rudy masuk ke kamar seusai mengaji dengan pak Anas di kamar 19. Mengajakku ke masjid. Para penghuni rutan yang sebelumnya bersenandung ria di taman depan kamar, menghentikan kegiatannya. Kembali ke selnya masing-masing.


Selepas solat dan berdoa, aku mengajak Rudy kembali ke kamar. Meminta ia segera menyiapkan makananku. Bubur ayam. Kali ini, nasi lembut itu aku lengkapi dengan taburan abon sapi. Perlahan, rasa pahit dari apa yang aku makan, telah hilang. Menandakan kondisi fisikku semakin membaik.


Saat melakukan tugas apel malam, sipir Almika menyapaku. Menanyakan kesehatanku.


“Om Mario ini baru baikan, pak. Beberapa hari sakit. Typusnya kambuh,” kata Rudy, yang berdiri di sampingku. Menyandarkan badan di jeruji besi.


“Oh gitu, om. Nggak tahu Mika kalau om sakit. Mestinya, kasih kabar kalau Mika nggak kesini. Suruh Rudy cari. Terus gimana sekarang kondisinya, om,” kata Almika, dengan mimik wajah khawatir.


“Alhamdulillah, sekarang sudah mendingan kok, Mika. Nggak apa-apa, cuma salah makan aja. Emang penyakit typus kan sensitif dan gampang kambuh. Sudah minum kapsul cacing dan makan bubur terus. Kepikir sih waktu itu mau kasih tahu kamu, cuma kok ngerasa jadi manja amat ya om ini, sakit gini aja pakai ngerepotin kamu,” kataku, panjang lebar.


“Lain kali, kalau ada apa-apa, langsung kabari Mika ya, om. Mika tahu persis sedihnya kalau sakit di dalem sini,” tanggap Mika dengan wajah serius.


“Siap, lain kali kalau ada apa-apa, pasti om kabari kamu. Inshaallah, ini sakit pertama dan terakhir selama om di dalem sini ya,” sambungku, sambil tersenyum.


“Jadi sekarang masih makan bubur ya, om?” tanya Almika.


“Iya, masih. Dan sudah disiapin bubur instan juga sama tante. Cukup sampai seminggu ini,” jawabku.


“Oke kalau gitu, om. Jangan banyak kegiatan dulu. Pulihin bener kondisi badan, itu yang utama,” tutur Almika dan meninggalkan kamarku untuk melanjutkan tugasnya melakukan apel malam dengan mendatangi dan mengecek semua sel beserta penghuninya.


Begitu sipir Almika telah menjauh dari kamar, aku menegur Rudy untuk tidak membiasakan diri mengabarkan aku sakit kepada semua orang. Karena bagiku, sakit adalah sebuah musibah yang selayaknya dirahasiakan.


“Kan Rudy nyampeinnya juga cuma ke orang-orang yang emang selama ini deket dan baik sama om,” kata Rudy, menyela.


“Om paham maksudmu itu baik, Rud. Paham-paham bener om. Cuma om minta, nggak usah lagi kamu umumin gitu ya. Walaupun sama orang yang selama ini deket dan baik sama om,” tegasku.


Rudy tampk akan menjawab, namun pada saat bersamaan suara adzan Isya menggema. Aku langsung memberi isyarat untuk kami segera ke masjid. Setelah berwudhu, kami berjalan ke rumah Allah. Untuk bersujud. Selepas solat dilanjutkan berdoa, aku mengajak Rudy kembali ke kamar.


“Nggak dengerin kultum dulu, om?” tanya Rudy, saat kami sama-sama memakai sandal di depan masjid.


“Malem ini absen dulu ya, Rud. Om kepengen cepet rebahan. Biar besok pagi sudah fit lagi dan bisa jogging,” sahutku.


Anak muda berusia 27 tahunan itu tidak menjawab. Ia melangkahkan kakinya di sampingku. Untuk kembali ke kamar. Setelah melipat kain sarung dan menaruh kopiah, aku memakai training dan jaket. Langsung merebahkan badan di kasur. Berdoa dan memejamkan mata. Menarik kantuk yang masih di awan untuk segera turun. 


Baru saja aku akan lelap dalam tidur, terdengar suara salam di pintu depan. Rudy yang sedang mencuci piring di kamar mandi, bergerak dan menuju pintu depan.


“Mau nganter bandrek susu kiriman pak Almika buat ayah, Rud. Kata pak Almika, mumpung masih hangat, bagusnya langsung diminum,” kata tamping penjaga malam yang mengantarkan kiriman sipir Almika.  


“Oh iya, terimakasih. Sampein ke pak Almika. Om Mario sudah tidur, nanti kalau bangun, aku kasihin,” sahut Rudy. 


Terdengar suara langkah kaki meninggalkan depan kamarku. Dan Rudy menaruhkan bandrek kiriman sipir Almika ke dalam lemari makanan tempatku. Kembali aku melepaskan beban pikiran dan perasaan. Menutup kedua telinga dengan hadset. Barulah, suasana tenang itu terasakan dan membawaku bisa tidur lelap.  


Aku terbangun ketika terdengar rintik hujan menimpa asbes kamar. Sambil meminum air putih yang ada di rak di atas tempat tidur, ku pandangi Dino dan Basri yang sedang terbuai mimpi. Diiringi suara mengoroknya yang cukup kencang dan bersahutan. 


Ku lihat jam di dinding kamar. Pukul 03.30. Tergerak hatiku untuk solat malam. Perlahan aku turun dari lantai tempat tidur untuk ke kamar mandi. Pandanganku mendadak ke arah ruang depan. Ternyata, Rudy sedang berzikir. Khusu’ sekali. Menundukkan wajah dengan mata terpejam. Duduk di atas kasur tipisnya. 


Dengan langkah pelan, aku ke kamar mandi dan wudhu. Kembali ke kasurku dan melakukan solat malam. Dilanjutkan dengan menyampaikan permohonan pengampunan serta puja-puji untuk Kanjeng Pengeran Gusti Allah. 


Rintik hujan dari langit semakin banyak. Suaranya saat menerpa asbes, seakan menyuarakan musik keindahan. Melahirkan kesyahduan tersendiri di sudut khalwat batin yang terdalam. Hingga suara adzan Subuh pun terdengar sangat lemah sampai di kamarku. Padahal biasanya cukup kencang.


Setelah suara adzan Subuh selesai, aku langsung solat sunah qabla Subuh dan solat wajibnya. Cukup lama aku melanjutkan dengan rangkaian doa. Baru kemudian turun dari lantai tempat tidur. Pada saat bersamaan, Rudy melipat kain sarungnya.


“Tumben kamu solat malem, Rud,” kataku, sambil duduk di kursi ruang depan.


“Sebenernya, rutin kok Rudy solat malem, om. Cuma om kan nggak tahu. Kalau kata pak Anas, sebaiknya urusan ibadah itu nggak perlu orang tahu, karena niatnya kan cuma kepada Allah,” sahut Rudy, seraya tersenyum.


“Hebat kamu, Rud. Makin berisi, makin merendah. Seneng aku kenal kamu,” ucapku dan mengacungkan jempol ke arah Rudy. 


“Rudy ini belum apa-apa, om. Setengah langkah aja belum dalam belajar agama. Pak Anas kemarin sore waktu Rudy ngaji, sempet nyampein; hidupin terus waktumu dengan berpikir, yaitu mikirin keagungan Allah, mikirin akheratmu dan perjalananmu nuju kesana. Kalau pikiran seperti itu terus terlintas dihatimu, akan menerangi mata batinmu,” urai Rudy.


Aku mengangguk-anggukkan kepala. Mencoba memahami apa yang disampaikan pak Anas kepada Rudy. Begitu dalam makna di balik perkataannya. Yang aku justru mendengarkannya di dalam penjara. Tempat orang-orang yang tengah menebus percikan dosa-dosa dunianya.


“Om, bandrek susu kiriman pak Almika tadi malam, Rudy panasin ya. Biar hangat lagi. Pasti lebih enak diminumnya,” ucap Rudy.


“Nah, boleh juga itu, Rud. Pagi-pagi dingin gini, minum bandrek susu,” jawabku.


Beberapa saat kemudian, Rudy menaruhkan cangkir berisi bandrek susu di meja ruang depan. Juga mengambil roti dari lemari makananku. 


Sementara, rintik hujan semakin berkurang. Dari sela-sela jeruji besi, tampak sinar mentari mulai terlihat di ufuk timur. Pertanda, hujan akan segera berhenti. Berganti terik. 


Setelah beberapa kali meneguk bandrek susu kiriman sipir Almika yang memang enak, dan memakan sepotong roti, aku merapihkan kasur. 


Melepas seprai, juga sarung bantal dan gulingnya. Menggantinya dengan yang masih bersih. Dan memasukkan ke kantong khusus pakaian kotor, untuk dibawa pulang bila istriku melakukan kunjungan. (bersambung)

LIPSUS