Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 293)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Kamis, 20 Oktober 2022


Oleh, Dalem Tehang


OM, sesekali Rudy yang cuciin pakaian om kan nggak apa-apa sih. Nggak usah dibawa pulang terus gitu. Rudy jamin bersih nyucinya,” kata Rudy, saat melihatku menyusun pakaian kotor juga seprai dan sarung bantal guling ke dalam kantong plastik.


“Nggak usah, Rud. Nambah-nambah kerjaan kamu aja. Lagian, om sendiri sebenernya juga biasa nyuci kok. Cuma, biar tetep ngerasa nyatu dengan keluarga, maka semua pakaian nyucinya tetep di rumah. Ada nilai kedekatan batin yang terus terjaga dari ini semua, Rud. Itu yang nggak semua orang bisa mahaminya,” tuturku, panjang lebar.


“O gitu ya, om. Itu yang Rudy nggak tahu. Rudy kira, semua pakaian kotor om kirim pulang, karena om males nyucinya. Padahal kalau diperintah, ya Rudy siap aja nyuciin semua barang om,” kata Rudy.


“Om tahu, kamu pasti mau nyuciin pakaian om kalau om minta. Tapi nggak usah ya. Nambah-nambah kerjaan kamu aja,” ujarku, seraya tersenyum.


“Jujur ya, om. Waktu Rudy nganter om ke tempat besukan dan ngelihat om begitu mesra, saling sayang, dan kelihatan deket bener sama istri dan anak-anak, Rudy sampai netesin air mata lo. Bahagia dan haru ngelihat om sekeluarga. Rudy pengen, nanti bisa punya keluarga kayak gitu, yang tetep saling sayang walau lagi terpuruk kayak gini,” ucap Rudy, beberapa saat kemudian.


“Alhamdulillah, Rud. Allah terus nguatin kasih sayang kami dalam kondisi separah ini. Cuma karena rahman dan rahim Allah aja, semuanya tetep terjaga,” jawabku, dengan santai.


“O iya, om. Ada beberapa tamping yang bilang, kalau om itu sombong, nggak mau ngegabung atau ngobrol-ngobrol sama mereka,” kata Rudy lagi.


“Jadi gini, Rud. Terkadang, buat dapetin ketenangan dan kebahagiaan, kita perlu ngabaiin omongan orang-orang sekitar. Apalagi ini di penjara. Jadi, harus bisa-bisa nempatin diri. Yang pas buat diri kita, bukan enak buat orang,” sahutku dengan tegas.


Tiba-tiba berdiri petugas rutan penanggungjawab Blok B di balik jeruji kamarku. Dengan isyarat tangannya, ia meminta Rudy membangunkan Dino dan Basri yang masih tidur.


Dengan tergopoh-gopoh dan masih setengah sadar dari tidurnya, Dino dan Basri segera menuju jeruji besi. Tempat petugas penanggungjawab blok berdiri.


“Pagi ini, kerahin pasukan buat nguras semua kolam. Ikan gurame dan patin yang sudah besar, sisihin. Nanti masukin bibit ikan nila, sudah disiapin 200 ekor,” kata petugas itu kepada Dino dan Basri.


“Siap, Dan,” jawab keduanya, dan segera bergerak keluar kamar. Mendatangi kamar-kamar yang ada kolam ikan di depan selnya.


Beberapa saat kemudian, suasana di Blok B pun semarak. Riuh-rendah oleh tawa dan keceriaan. Melengkapi keseruan menguras kolam dan menangkapi ikannya. Dino dan Basri mengawasi langsung dengan sesekali memberi perintah.


Seusai mandi, aku pun menikmati aktivitas tersebut. Ratusan ikan telah diangkat dari tujuh kolam yang ada di Blok B. Beberapa ember telah disiapkan untuk tempat ikan yang sudah masuk kategori besar. Yang disisihkan.


Tampak pak Edi turun langsung ke kolam yang ada di depan kamarnya. Kamar 34. Paling ujung dari jejeran kamar sel pada bagian bawah. Aku pun mendekat. Ingin melihat kepiawaiannya menangkap ikan.


“Banyak hasil tangkepannya, pak?” tanyaku, ketika telah berdiri di tepian kolam.


“Banyakan yang nggak ketengkep, be. Licin bener ikannya,” sahut pak Edi, sambil tertawa.


“Licin apa takut nangkep ikannya, pak,” kataku, juga sambil tertawa.


“Sebenernya, ya lebih ketakutnya sih, be. Takut kena patilnya. Bisa-bisa malah tangan bengkak,” lanjut pak Edi, masih dengan tertawa.


Seorang tamping regis mendekat. memberitahuku jika ada istri dan anak-anakku di ruang kunjungan umum. Tanpa berpamitan dengan pak Edi, aku langsung pergi. Kembali ke kamar.


Setelah memakai kaos bertuliskan WBP, mengambil kantong plastik berisi pakaian kotor di kamar, dan menyemprotkan minyak wangi ke bagian leher serta tangan, baru aku mengikuti langkah tamping yang menjemputku.


Seusai melapor di pos penjagaan dalam dan luar, aku menuju ruang kunjungan umum yang berada pada bagian belakang kantor rutan. Aula yang tidak seberapa besar itu, penuh sesak oleh puluhan pembesuk para tahanan dan napi. Mataku berkeliling mencari istri dan anak-anakku. Sambil terus berdiri di pintu.


“Istrinya di tengah-tengah itu, ayah. Ramai sekali ini yang besukin ayah,” kata tamping regis yang mengurus ruang besukan, seraya menunjuk posisi istriku dan keluarga yang berada di tengah-tengah aula. Berkumpul, membuat lingkaran kecil.


“O iya, itu di tengah aula. Terimakasih ya,” kataku kepada tamping tersebut, setelah memastikan posisi istri dan anak-anakku yang sedang menungguku sambil duduk di lantai tanpa alas. Setiap akhir pekan, istriku pasti datang mengunjungiku bersama anak-anak.


Dengan sesekali meminta izin untuk lewat kepada pembesuk dan tahanan yang dibesuk, akhirnya aku pun sampai ke posisi istriku. Laksmi langsung berdiri menyambutku dengan pelukan hangatnya. Ku cium pipi dan keningnya. Ku lengkapi dengan mengecup bibir indahnya. Ku rapatkan badan kami serapat-rapatnya. Seakan ingin menyatukan seluruh gejolak jiwa raga.


Bulan dan Halilintar pun berdiri. Bergantian ndukkeuw dan cah ragilku, juga memeluk dengan rasa haru. Erat sekali pelukan mereka. Menyampaikan begitu dalamnya kerinduan akan kehadiranku. Sambil berpelukan, ku elus-elus kepala mereka. Menebar keyakinan, jika aku selalu ada untuk mereka. Meski untuk saat ini, keberadaan tersebut tidak bisa diukur dengan kedekatan raga.


Dan setelahnya baru aku menyadari, ternyata ada adik istriku Laksa, juga adik kandungku, Daffa. Ku peluk keduanya bergantian. Wajah keduanya yang tetap menunjukkan keceriaan, membuatku merasakan ada hawa kenyamanan.


Aku duduk di samping istriku, diapit Bulan dan Halilintar. Laksa dan Daffa duduk berhadapan dengan kami.


“Ayah makan sekarang ya, bunda sudah buatin nasi tim pagi tadi,” kata istriku, dan langsung membuka tempat makan yang ia bawa dari rumah.


Bulan mengeluarkan beberapa nasi bungkus masakan Padang. Kami pun makan bersama, sambil terus berbincang ringan. Sesekali keasyikan kami terpecahkan dengan ledakan tawa riang dari keluarga tahanan lain yang duduk berdekatan.


“Ayah nggak lupa minum kapsul cacingnya kan?” tanya Bulan, di sela-sela kami makan.


“Alhamdulillah, nggak nduk. Rutin ayah minum kok. Maka sekarang sudah sehat,” sahutku, sambil tersenyum.


“Jangan karena sudah ngerasa sehat, terus ayah nggak minum lagi obatnya ya. Tetep jaga makan, dan nggak usah dulu banyak kegiatan yang nguras tenaga,” lanjut Bulan.


Sambil menikmati nasi tim, sesekali aku menyuap istriku Laksmi, Bulan, dan Halilintar. Kebiasaan yang sejak dulu aku lakukan ketika kami tengah makan bersama. Yang akhirnya, membuat Bulan maupun Halilintar hingga sekarang merasa kurang lengkap makan bersama bila belum mendapat suapan makanan dari tanganku.


Pertemuan yang berlangsung sekira tiga jam itu, penuh dengan suasana kebersamaan dan perbincangan ringan. Tidak ada sama sekali membahas kasusku. Sehingga benar-benar membuatku menemukan kenyamanan dan kian merasa tenang. Pun istriku Laksmi, juga Bulan dan Halilintar tampak sangat enjoy. Bergantian ku peluk mereka, sambil terus bercengkrama.


Hanya soal kegiatan sekolah Bulan dan Halilintar saja yang sempat aku tanyakan perkembangannya. Anak gadisku dan si bungsu menyampaikan mereka tetap mengutamakan sekolahnya, dan tidak terganggu sama sekali dengan posisiku yang tengah di dalam penjara. (bersambung)

LIPSUS