Oleh, Dalem Tehang
“TADI bunda sudah bawain pakaian ayah untuk sidang hari Senin. Sekalian kemeja putihnya bunda kirim dua. Juga ada beberapa celana pendek dan kaos,” kata istriku.
“Makanannya juga banyak lo, ayah. Ada malbi, juga lele sambel hijau tapi nggak pedes. Beberapa bungkus nasi dari rumah,” ucap Bulan, menambahkan.
“Alhamdulillah. Terimakasih ya bunda dan nduk. Enak bener kalau makan masakan dari rumah itu. Nggak ada duanya emang masakan bunda,” kataku, dan memeluk Laksmi serta Bulan bergantian.
Adik kandungku, Daffa, menyampaikan salam keluarga besar buatku. Juga terus mendoakanku.
Ketika suara adzan Dhuhur menggema dari masjid di dalam kompleks rutan, waktu kunjungan pun berakhir. Laksa langsung berdiri dan memelukku. Membisikkan pesan kesabaran dan ketenangan buatku.
“Nggak ada ujian yang tidak berujung. Kakak tetep sabar dan tenang ya. Ikhlas aja dengan takdir ini, Allah selalu melindungi,” ucapnya dengan penuh ketulusan.
Dan seperti biasa, saat bersalaman, ia langsung meng-kimel-kan sebuah amplop berisi uang ke tanganku. Ia tatap mataku dengan keteduhan, seraya melepaskan seulas senyuman. Menenangkan.
“Ini ada bawaan Laksa juga lo, ayah. Minuman sama makanan-makanan kecil. Juga beberapa buah-buahan dan vitamin,” kata istriku, sambil menyerahkan satu kantong plastik berisi berbagai minuman dan makanan.
“Masyaallah. Banyak amat ini, dek. Alhamdulillah. Inshaallah, rejekimu terus ngalir dan penuh barokah,” sahutku, dan kembali memeluk Laksa.
Sementara, sambil memeluk erat, Bulan beberapa kali mengingatkanku untuk disiplin menjaga kesehatan.
“Inget ya, ayah. Mbak nangis kalau ayah sakit lagi. Karena mbak nggak bisa nungguin ayah. Jadi, ayah jangan sakit-sakit lagi ya. Jaga bener kondisi badan ayah,” kata Bulan, dengan mata berkaca-kaca. Menahan tangisnya.
“Iyo, nduk. Ayah bakal makin ekstra jaga kesehatan. Ayah nggak mau nduk sedih lagi,” jawabku, dan memeluk erat anak gadis semata wayangku.
Halilintar memelukku sambil menundukkan kepalanya. Aku tahu, ia ingin aku mendoakannya dengan meniupkan ke kepalanya. Dan mengusap-usap rambutnya.
“Terus jaga dan temeni bunda sama mbak yo, le. Ojo tinggal solat,” kataku, dan menatap wajahnya yang penuh ketenangan.
“Siap, ayah. Ayah tetep tenang dan sabar aja ya. Adek yakin, ayah kuat kok ngadepin situasi seberat apa juga. Adek sayang dan terus bangga ayah,” ucap Halilitar, juga menatapku dengan pandangan penuh optimisme.
Istriku Laksmi menaruhkan kepalanya di dadaku. Ada tangis yang ia tahan. Ada keresahan yang coba ia tepiskan.
“Bunda tetep tenang ya. Biar semua ngalir sesuai alurnya aja. Kita ikuti sambil terus berdoa. Apapun yang terjadi sekarang dan nanti, itulah yang terbaik menurut Allah. Kita ikhlas aja,” kataku, sambil terus mengelus-elus kepala istriku.
Perlahan, ia angkat wajahnya. Menatapku. Ada kesenduan begitu mendalam pada sinar matanya. Istriku Laksmi sesungguhnya benar-benar tengah berada dalam lingkaran keterpurukan. Namun aku meyakini, ia akan mampu keluar dari lingkaran itu dengan perlahan. Ketegaran jiwanyalah yang menguatkan ia memutari lingkaran tersebut untuk akhirnya mencuat kembali ke permukaan.
“Nanti baju buat ayah sidang, dibawa tamping bagian pendaftaran tamu ke kamar, kayak biasanya. Kan bunda gantung bajunya. Jangan ayah lepas hangernya, biar tetep rapih ya,” kata istriku, setelah ia melepaskan pelukannya.
Ku anggukkan kepalaku sambil terus merangkul istriku. Berjalan beriringan menuju pintu keluar ruang kunjungan. Bulan dan Halilintar memegang pundakku dari belakang, dengan sesekali memukul pelan.
Aku ikut berdiri menemani istri, anak-anak, juga Laksa dan Daffa menunggu antrian untuk masuk ke ruangan P-2-O, sebelum akhirnya keluar pintu utama rutan menuju pelataran parkir.
Mata Laksa dan Daffa menatap ke arah kawasan steril rutan. Mereka melihat ratusan tahanan dengan kegiatan masing-masing. Ada yang sedang bercanda-ria dengan sesama duduk di tepian selasar, yang tengah makan sambil kongkow di kantin, serta banyak juga yang berjalan menuju masjid untuk solat Dhuhur.
Dan puluhan lainnya, sedang bergerak menuju kamar masing-masing dengan membawa kantong plastik berisi berbagai kiriman setelah menerima kunjungan keluarganya. Aku sendiri saat itu membawa tiga kantong plastik yang penuh dengan makanan dan minuman.
“Kalau ngelihat kayak gini, semuanya happy-happy aja ya, kak,” kata Laksa.
“Ya, sebenernya emang enjoy-enjoy aja sih, dek. Yang nangis sampai berdarah-darah itu kan jiwa. Hati dan perasaan. Sepanjang bisa kendaliin diri nggak sampai ke pikiran, ya ceria-ceria aja,” jawabku, sambil tersenyum.
“Jadi sebenernya kelihatan tetep ceria itu karena apa ya, mas?” tanya adikku, Daffa.
“Karena sudah ikhlas dan pasrah dengan kenyataan, dek. Jadi buat apalagi bermuram-muraman atau terus menyulam kekecewaan, kalau cuma nambah berat beban di batin,” kataku, masih dengan tersenyum.
“Bener-bener berat hidup di penjara ini ya, kak. Luar biasa mental orang yang tetep bisa tegar dan tersenyum hidup di dalem sini,” ucap Laksa, menimpali.
“Yah, namanya ujian, musibah, cobaan, atau apapun itu, kan nggak bakal ngelebihi batas kemampuan kita ngatasinya sih, dek. Jadi, ya nggak ada pilihan, selain harus tegar, tetep ceria dan ikhlas atas takdir ini. Itu aja sih kuncinya,” sahutku.
Giliran istriku dan keluarga untuk memasuki ruang P-2-O telah tiba. Kembali aku peluk mereka satu demi satu penuh dengan kebanggaan dan rasa sayang yang mendalam. Saat ku peluk Halilintar, tampak di sudut matanya ada air yang mengambang.
“Lho, kowe ngopo to, le. Sing teteg lan mantep yo,” kataku, sambil mengusap air di sudut matanya.
“Adek sering kangen ayah. Apalagi kalau pas mau tidur. Biasanya dulu, ayah lihat adek di kamar, sekarang nggak lagi,” ucap Halilintar dengan suara serak.
“Sabar yo, le. Nanti ada saatnya semua kembali normal. Berdoa aja yo,” jawabku, dan melepasnya memasuki pintu gerbang P-2-O.
Setelah pintu gerbang ditutup kembali, sesaat aku masih berdiri disana. Mengendalikan hati yang mendadak trenyuh mendengar pengakuan tulus anak bungsuku, Halilintar. Beberapa saat kemudian, baru aku membalikkan badan.
Melapor ke pos penjagaan luar dan melanjutkan melangkah ke pos penjagaan dalam. Meski semua barang bawaanku tetap menjalani pemeriksaan ekstra ketat seperti yang lain, namun tidak ada satu pun yang diamankan petugas. Bukan hanya karena sipir yang bertugas saat itu mayoritas telah kenal, tetapi juga karena tidak ada barang yang dilarang masuk kompleks rutan. (bersambung)
