Oleh, Dalem Tehang
RUDY menyambutku di pintu kamar dan langsung mengambil tiga kantong plastik dari tanganku. Dengan cekatan, ia memilah mana yang harus segera dimakan, dan mana makanan atau minuman yang bertahan lama. Serta menyusunnya dengan rapih di lemari tempat menyimpan makananku.
“Om sudah makan ya? Rudy makan nasi cateringnya ya? Sudah Rudy bagi dua dengan yang buat om Ino,” kata Rudy, seusai melakukan tugas mengatur kiriman makananku.
“Oke, kamu makan aja, Rud. Om tadi sudah makan bareng keluarga di ruang besukan. Jangan lupa, habis kamu makan, anter makanan buat om Ino-nya. Kasihan kalau dia sampai terlambat makan,” sahutku.
“Siap, om!” kata Rudy, dan menyiapkan makan siangnya. Dari catering dapur yang aku pesan satu kotak dan diantar dua kali setiap harinya.
Saat Rudy makan, aku susun pakaian yang baru dibawa istriku di lemari khusus pakaian yang menempel di tembok kamar. Dan ku berikan satu botol cairan pembersih kuman kepada Rudy untuk secara rutin ditaburkan di bak kamar mandi.
“Baru Rudy mau bilang ke om, kalau cairan pembersih kuman buat bak mandi sudah habis, eh sudah dikirim. Alhamdulillah. Banyak bener manfaatnya kita rutin kasih cairan ini ke bak mandi itu, om. Lihat kawan-kawan kamar lain, pada gatel semua. Bahkan banyak yang kudisan. Alhamdulillah, kita terjaga dari virus khas penjara itu,” urai Rudy, seraya tersenyum.
“Tapi jangan banyak-banyak juga kamu kasihnya, Rud. Apalagi, setiap minggu kan kamu rutin nguras dan gosokin baknya. Taburin cairan itu maksimal lima tetes aja, kan dia nyatu sama airnya, kasihnya pagi sama sore. Nggak usah sampai tiga kali juga, kok kayak minum obat,” tanggapku, sambil tersenyum juga.
Selepas solat di kamar, aku merebahkan badan di lantai. Tanpa kasur. Hawa dingin keramik, meresap perlahan ke punggung. Mengurangi panasnya sorot mentari siang itu. Ditambah semilir angin melalui jeruji besi, membuat kantuk pun tiba. Dan lelaplah aku dalam kematian sesaat. Hingga Rudy menepuk-nepuk telapak kakiku ketika suara adzan Ashar menggema dari masjid.
Ketika akan keluar blok untuk menuju masjid, terdengar ada yang memanggil namaku dari lorong arah kanan.
“Siapa, Rud?” tanyaku kepada Rudy yang saat itu tengah menengokkan wajahnya ke arah asal suara.
“Om Aris sama om Heru. Mereka juga mau ke masjid,” sahut Rudy.
Aku pun menghentikan langkah. Dan beberapa saat kemudian, tampak Aris dan Heru. Sama-sama menyelempangkan kain sarung di leher, kedua penghuni kamar 12 itu langsung menyalamiku.
“Sudah sehatan ya, be. Inget lo, jaga makan dan jangan maksain kalau olahraga,” kata Aris.
“Alhamdulillah, sudah sehat, Ris. Ingetin juga kalau lagi makan bareng ya,” jawabku.
“Ini Heru tumben, be. Begitu aku mau ke masjid, dia bilang mau ikut. Katanya, pengen rasain gimana solat di masjid,” ujar Aris, sambil melihat Heru yang berjalan di samping kiriku.
“Emang selama ini kamu nggak pernah solat di masjid, Ru?” tanyaku.
Pria berbadan gempal yang tersangkut kasus IT dengan mengaku-aku sebagai seorang petinggi pemerintahan ini, menggelengkan kepalanya. Ada senyum kecil di sudut bibirnya.
“Selama sekian bulan kamu disini, sekali juga nggak pernah ke masjid?” tanyaku lagi, penasaran.
“Nggak pernah, bang. Jangan kan ke masjid, solat di kamar aja nggak pernah,” kata Heru, terus terang.
“Subhanallah. Sebenernya kamu bisa solat apa nggak?” lanjutku.
“Kalau solat, ya bisalah, bang. Niat dan bacaan-bacaannya aku hapal, cuma emang selama ini aku nggak pernah solat,” sambung Heru, sambil cengengesan.
“Alhamdulillah kalau gitu, Ru. Kamu dimutasi dari kamar 18 ke kamar 12 ini bawa hikmah. Kamu mau solat. Ini namanya pindah kamar bawa berkah. Jangan berhenti kalau sudah memulai kebaikan ya, Ru,” ujarku sambil menepuk bahunya.
“Siap, bang. Jujur, aku tergerak solat setelah ngelihat kawan-kawan di kamar 12 pada solat semua, aku sendiri yang nggak solat. Lama-lama nggak enak juga. Nah, pas tadi Aris mau ke masjid, aku bilang mau ikut. Eh, ketemu abang. Kebetulan. Minta arahan,” tutur Heru.
“Nggak ada arahan-arahanlah, Ru. Kayak ASN aja, sedikit-dikit minta arahan. Yang penting, kebaikan yang sudah dimulai, jangan pernah kamu berhentiin, sekeras apapun tantangan atau ujiannya,” tanggapku.
Aku, Aris, dan Heru berdiri dalam satu saf saat solat Ashar. Kami benar-benar membangun konsentrasi penuh untuk bersujud kepada Sang Pencipta. Dan selepas solat, Heru langsung bergeser. Ke bagian tepi kanan masjid, agak ke belakang. Tampak ia tengah membaca berbagai zikir, dengan mata terpejam.
“Kamu tunggu Heru selesai doa ya, Ris. Jangan diganggu. Aku mau duluan. Perutku mules,” bisikku kepada Aris.
Dengan setengah berlari, aku buru-buru kembali ke kamar. Perutku mendadak terasa mules. Bergejolak tidak karuan. Saat keluar dari kamar mandi, Rudy telah berada di kamar juga.
“Sakit perut ya, om. Padahal, makannya kan terjaga,” ucap Rudy.
“Kali pembersihan aja, Rud. Sisa penyakitnya pengen cepet-cepet dibuang,” sahutku dengan enteng.
“O iya, om. Tadi pas om keluar masjid, pak Hadi tanyain om. Katanya, kalau om sudah sehatan, dia pengen ngobrol-ngobrol,” kata Rudy lagi.
“O gitu, Rud. Oke, nanti om main ke kamarnya,” jawabku, sambil melipat kain sarung dan menaruhkan kupluk.
Beberapa saat kemudian, aku telah berada di kamar pak Hadi. Blok C kamar 10. Ia memperkenalkanku kepada beberapa penghuni kamar. Di antaranya Oong, Raden dan Indra. Ketiganya tersangkut kasus korupsi.
“Aku sebenernya sudah tahu sejak lama sama bang Mario ini. Cuma, baru disini ketemu dan bisa ngobrol langsung,” kata Oong, pria berbadan tinggi besar yang selalu menunjukkan keramahan melalui senyumnya.
“Oh ya, pak Oong. Syukur kalau gitu. Kita bisa langsung jadi teman,” tanggapku, seraya tersenyum.
Sambil terus berbincang ringan, petang itu aku disuguhi satu gelas minuman susu jahe dan panganan kecil dari kantin. Pak Hadi sebagai kap kamar tampak memiliki kewibawaan tersendiri di mata penghuni kamar lainnya. Dan begitu terasa adanya hawa hangat kekeluargaan disana.
“Nyaman ya kamar ini. Adem rasanya ngobrol disini,” kataku, terus terang.
“Karena kami rajin solat, pak. Kalau nggak bisa ke masjid, kami jamaahan di kamar. Juga belajar ngaji. Gurunya pak Raden. Dia ini hafidz Qur’an dan pernah tiga tahun mondok di Mekkah,” jelas pak Hadi, apa adanya.
“Oh ya, pak Raden pernah mondok di Mekkah ya. Dimana, pak?” tanyaku, sambil menatap pria berpostur tinggi di atas rata-rata, dengan badan yang tegap berisi itu.
“Aku sempet mondok di Umbul Quro Mekkah, bang. Tiga tahun disana. Pas pulang kesini, malahan jadi ASN. Dan akhirnya masuk sini karena kebelit sistem permainan proyek yang bermasalah,” ucap pak Raden, dengan santainya.
“Berarti mondok lagilah ya jadinya,” tanggapku sambil tersenyum.
“Iya, inilah cara Tuhan menepikanku dari keriuhan urusan dunia, biar bisa lebih prioritasin urusan akherat. Sekaligus ngingetin aku, kalau ngutamain urusan akherat, pasti urusan dunia bakalan ngikut,” kata pak Raden, dan tersenyum.
Aku pandangi wajah pria berusia sekitar 48 tahunan itu. Tampak raut mukanya penuh ketenangan. Tatapan matanya yang teduh menyimpan ketegaran. Nada suaranya yang cukup kencang saat berbicara, menandakan ia sosok yang apa adanya. Tanpa bersandiwara. (bersambung)
