Oleh, Dalem Tehang
“OM masih inget komentar om waktu aku bilang, kalau sikap kerasku saat di pos soal jus jambu itu, kaitannya sama keinginan ngenilai mental tahanan? Jujur, sebenernya aku tersinggung berat sama omongan om waktu itu. Tapi, di sisi lain aku paham, sikap protektif om itu karena om tahu persis begitu banyaknya perilaku tidak elok yang sering dilakuin sipir. Maka, aku nggak mau perpanjang perdebatan, sebab aku tahu, pada saatnya aku akan banyak diskusi sama om soal tesisku ini,” tutur sipir Arya, panjang lebar.
“Ya ingetlah apa yang aku omongin ke kamu waktu itu, Arya. Aku emang keluarin uneg-uneg kekeselan. Alhamdulillah, kalau kamu mahami gelegak jiwaku waktu itu. Dan aku juga bisa ngenilai, kalau kamu bukan kelas sipir kacangan, yang cari makanan dan rokok dari tahanan,” tanggapku, dengan serius.
Seorang tamping keamanan datang, membawa sebuah piring berisi singkong goreng.
“Buat pakde, kiriman komandan,” kata tamping itu, sambil meletakkan piring di meja taman. Tempat aku dan sipir Arya sedang kongkow.
“O iya, terimakasih. Sampein terimakasih dan salam hormatku buat komandan,” kataku, dan langsung mengambil sepotong singkong goreng yang masih panas.
“Om ini emang hebat, komandan aja ngirim makanan kayak gini. Singkong ini kan sengaja komandan bawa dari rumah. Ngegorengnya di dapur rutan. Dan om kabarnya, selalu kebagian. Aku salut sama om, jujur aja,” ucap Arya, yang spontan mengangkat tangan kanannya, memberi hormat.
“Ini bukan soal hebat atau apalah namanya, Arya. Tapi, hubungan baik sesama makhluk Tuhan. Yang menepiskan semua status dan jabatan. Komandan itu sejak awal emang full bantu aku. Pas aku mau pelimpahan, adek istriku hubungi komandan, dan nitipin aku. Alhamdulillah, komandan emang berhati baik dan akhirnya kami pun jadi sahabat baik,” kataku, memberi penjelasan.
“Om, ini kan malem minggu, gimana kalau kita cari hiburan. Kita keluarin kawan-kawan yang biasa nyanyi dan main musik. Kumpul di taman sini aja. Biar suasananya semarak,” ujar sipir Arya, beberapa saat kemudian.
“Boleh juga idemu itu, Arya. Cuma, lapor komandan dululah. Jangan ngelakuin sesuatu yang nggak lazim tanpa izin, nanti malah nimbulin masalah,” sahutku. Mengingatkan.
Arya mengajakku ke pos penjagaan. Melapor kepada komandan jaga. Tanpa banyak pertanyaan, komandan pengamanan yang memang kenal baik denganku itu, memberikan izin. Dengan catatan, selama kegiatan hiburan berlangsung, aku tetap harus ada di tempat. Secara tidak langsung, aku paham jika komandan menaruhkan tanggungjawab ke pundakku.
Sipir Arya membuka pintu kamar 18. Mengeluarkan dua penghuni yang mahir bermain musik. Gitar dan gendang dari galon air mineral. Aku meminta sipir Arya mengeluarkan Heru, yang memiliki suara indah dari kamar 12. Beserta Aris dan Dika.
Mulailah hiburan itu menggema dari depan kamarku. Taman kecil itu dipenuhi beberapa orang. Hingga banyak yang duduk ndeprok di lantai taman dan tepian selokan kecil. Suasana Blok B yang semula senyap, berubah semarak.
Beberapa penghuni dari puluhan kamar yang ada di blok, tampak berdiri di balik jeruji besi selnya masing-masing. Ikut menikmati beragam senandung yang dimainkan. Sambil sesekali mengikuti lirik lagu yang mereka hapal.
“Bang, boleh kan aku ikut nyanyi?” teriak pak Sibli dari balik jeruji besi kamarnya. Kamar 19.
Aku menganggukkan kepala. Dan sipir Arya memberikan kunci kamar ke tangan Rudy, setelah OD kamarku itu membuatkan minuman kopi hangat untuk semua yang ada di taman kecil.
Tidak lama kemudian, pak Sibli keluar kamarnya sambil membawa tupperware besar. Berisi buah-buahan yang telah dipotong kecil-kecil. Mulai buah mangga, nanas, hingga pepaya. Dan menaruhkannya di meja taman. Untuk dinikmati bersama.
Melihat pak Sibli membawa makanan, Aris dan Dika yang telah bergabung bersama kami, bergerak ke kamarnya. Dan beberapa saat kemudian kembali ke taman dengan membawa empat bungkus besar roti bantal. Juga beberapa minuman kaleng.
“Nah, jadi pesta kita malem ini,” kata sipir Arya, yang memiliki gagasan meramaikan malam minggu di rutan dengan hiburan oleh dan untuk penghuni Blok B.
Pak Sibli dan Aris ikut menyumbangkan suaranya. Cukup merdu dan fasih dalam menyanyikan lagu-lagu favorit mereka. Meski tetap Heru sebagai penyanyi terbaik dan terbanyak dalam memberikan hiburan dengan lagu-lagu yang familiar didengar telinga.
Tepat tengah malam, tamping waserda yang membawa jajaan puluhan makanan dengan beragam lauk, masuk ke Blok B. Sipir Arya memanggil tamping itu dan mempersilakan semua yang ada di taman kecil depan kamarku untuk mengambil makanan yang disukai.
Untuk beberapa saat, suara petikan gitar dan tepukan gendang dari galon air mineral pun, berhenti. Semua tengah sibuk dengan memilih makanan yang dijajakan tamping waserda. Dilanjutkan dengan makan bersama. Rudy mengeluarkan satu kotak air mineral gelas dari kamarku.
“Catet yang bener ya. Nanti berapa biayanya, kasih tahu. Aku bayar malem ini juga,” kata sipir Arya kepada tamping waserda.
“Izin, dan. Buat malem ini, aku aja yang bayar. Lain kali baru komandan,” ujar Aris, menyela.
“Beneran ini? Jangan ngerepotin lo. Apalagi sampai keluar omongan yang aneh-aneh, karena ngebayarin kami semua makan?” tanya sipir Arya, sambil menatap Aris.
“Beneranlah, dan. Kita kan makan bareng, nggak bakal juga aku ngoceh yang nggak-nggak. Aku bayarin ini sebagai rasa seneng aja, karena ide komandan, malem ini kami semua bisa dapet hiburan. Nggak bete cuma ngumplek di kamar pas malam minggu,” kata Aris, panjang lebar.
“Syukur kalau gitu. Terimakasih atas kebersamaannya ya, Ris. Lain kali, aku mau ngobrol sama kamu,” tanggap sipir Arya, dan mengacungkan kedua jempol ke arah Aris.
“Siap. Kapan aja komandan panggil, aku siap,” jawab Aris, dan tersenyum lebar.
Setelah semua selesai menikmati makanannya, sipir Arya menyampaikan, bila waktu hiburan telah selesai dan semua diminta segera kembali ke kamar masing-masing.
Sebelum meninggalkan taman, semua bekas makan dan sampah-sampah lainnya, termasuk puntung rokok, dibersihkan, dan dimasukkan ke kotak sampah.
Dengan telaten dan sabar, sipir Arya mengembalikan kawan-kawan ke selnya masing-masing. Dan setelah memastikan semua aman, ia pun berpamitan.
“Terimakasih banyak atas semuanya ya, Arya. Aku tahu, lewat acara tadi kamu dapetin banyak pengetahuan soal mental tahanan yang bisa kamu tulis di tesismu. Sukses ya, Arya,” ucapku, dan menyalaminya dengan hangat.
“Inilah kehebatan om, selalu bisa ngebaca yang ada di balik fakta. Aku yang berterimakasih seharusnya, om. Karena tugasku tetep bisa jalan dengan baik dan tesisku pun terus dapet tambahan bahan,” jawab sipir Arya, dan tersenyum puas.
Sepeninggal sipir Arya, aku dan Rudy masuk kamar. Aku melihat jam di dinding menunjukkan pukul 01.30. Tergerak hatiku untuk solat malam. Setelah berwudhu, aku pun bersujud di atas kasurku, dan melanjutkannya dengan untaian doa mohon pengampunan dan keridhoan-Nya atas semua yang tengah aku tapaki ini. (bersambung)