Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 303)

Dibaca : 0
 
Minggu, 30 Oktober 2022


Oleh, Dalem Tehang


NANTI sidang lagi kan, be?” tanya Aris, setelah kami berdiam beberapa saat.


“Iya, agendanya penyampaian eksepsi. Pengacaraku sudah siapin bahannya. Cuma karena minggu kemarin ketua majelis hakim berhalangan, jadi ditunda sampai siang nanti,” jawabku.


“Sama kalau gitu, be. Hari ini, pengacaraku juga sampein eksepsi,” ucap Aris. 


Dan setelah berbincang beberapa saat, aku mengajak Aris dan Iyos kembali masuk ke Blok B. Sesampai di kamar dan mandi, aku ke masjid. Berniat solat dhuha. 


Saat itu telah banyak anggota majelis taklim yang tengah mengaji dan berdzikir. Termasuk Danil. Mengambil tempat di sudut depan sebelah kanan mimbar, aku pun melaksanakan niatku. Solat dhuha dilanjutkan dengan membaca wirid. 


Kenikmatanku bercengkrama dengan Yang Kuasa, mendadak terusik dengan tepukan ringan di bahu kiriku. Spontan aku menengok. Rudy. 


“Kenapa, Rud?” tanyaku, tergagap karena terkejut.


“Om dicariin tamping regis dari tadi. Hari ini kan sidang, disuruh jam 11 sudah siap di pos,” ujar Rudy, dengan suara pelan.


Aku melihat jam besar yang ada di dinding masjid. Menunjukkan waktu 10.35. Aku sudahi prosesi peribadatan dan meninggalkan masjid sambil berjalan cepat, didampingi Rudy. Sesampai di kamar, langsung berganti pakaian. 


Memakai kemeja putih lengan panjang, celana dasar warna hitam, bersepatu warna hitam, dan berkopiah hitam.


Dan setelah memakai cincin, jam tangan, serta memasukkan kacamata baca ke kantong baju, juga buku kecil dilengkapi pulpen, aku bergegas menuju pos penjagaan dalam. 


Tampak ada sekitar 30 tahanan yang telah siap mengikuti proses persidangan. Sangat berbeda jauh dengan dua kali saat mengikuti persidangan, dengan jumlah peserta sidang di atas 60 orang. 


“Ayo, baris dulu semua, dan absen,” teriak tamping regis. 


Kami semua berbaris rapih, terbagi dalam dua jajar. Dan mengacungkan tangan saat pelaksanaan absen dilakukan. Setelah diizinkan sipir yang bertugas di pos penjagaan dalam, kami bergerak keluar area steril rutan. 


Pintu gerbang dari kawat baja yang berdiri dengan angkuhnya itu, dibuka. Satu demi satu, kami melewatinya seraya menyebutkan nama. 


Sipir yang berjaga di samping pintu gerbang mengawasi dengan seksama. Kembali kami berbaris di depan pos penjagaan luar. Untuk dilakukan pengecekan ulang.


Komandan pos jaga mengizinkan kami bergerak. Berdirilah kami semua dalam dua barisan di depan pintu gerbang dari baja. Untuk memasuki ruang P-2-O. Ruangan terakhir yang harus kami lalui sebelum melewati pintu utama keluar rutan.


Tamping regis mengetuk-ketuk pintu gerbang. Dari lubang kecil, seorang petugas melihat ke arah yang mengetuk. Tidak lama kemudian, pintu kecil yang menjadi bagian dari pintu gerbang besar tinggi itu, dibuka. Sang tamping masuk ke dalam. Melapor. Sekitar 10 menit kemudian, satu demi satu nama kami dipanggil, saat itulah kami memasuki ruang P-2-O.


Memasuki ruangan khusus tersebut, suasananya terasa begitu tegang. Bukan hanya sipir-sipir pilihan yang bertugas disana. Tetapi juga telah ada beberapa pegawai pengamanan dari Kejaksaan Negeri dan dua anggota Polri yang membawa senjata laras panjang. Mata mereka bak mata elang. Tajam dan penuh selidik kecurigaan.


Dan setiap memasuki ruangan P-2-O dengan situasi semacam itu, Aris langsung memegang tanganku. Membutuhkan tempat untuk menguasai kekhawatiran yang mendadak tumbuh di dalam jiwanya.


“Santai aja sih, Ris. Kamu ini kayak mau diapain aja,” ujarku dengan pelan, sambil menatap Aris yang berdiri di samping kananku.


“Trauma aku kalau ngelihat kayak gini, be. Sumpah aja,” sahut Aris, dengan suara bergetar.


Aku rangkul badan Aris. Sambil menciptakan suasana santai. Seorang sipir P-2-O yang mengenalku, justru meminta kami berdiri lebih dulu di dekat pintu keluar rutan.


“Biar pakde naik mobil duluan, maju kesini,” ucap sipir muda usia dengan badan tinggi besar itu.


Aris yang tetap dalam rangkulanku, juga berdiri di dekat pintu keluar rutan. Dan setelah proses pemeriksaan tahanan yang lain selesai, gerbang utama rutan dibuka. Pegawai keamanan Kejaksaan dan dua anggota Polri, keluar terlebih dulu, baru aku dan Aris.


Dan seperti sebelumnya, aku memilih tempat duduk tepat di belakang pengemudi. Sehingga selama perjalanan ke Pengadilan Negeri, berposisi layaknya jalan mundur.


“Kok pakde seneng bener to duduknya disitu, dan jalan ngadep belakang? Apa nggak pusing ya,” kata seorang tahanan, sesaat sebelum mobil tahanan bergerak meninggalkan rutan.


“Kalau naik mobil dan kita ngadep depan atau samping, kan sudah biasa, pak. Tapi kalau ngadep belakang kayak gini, kan jarang-jarang. Bahkan ada yang belum pernah rasainnya. Nah, pengen yang beda aja sih, maka aku selalu duduk disini. Biar bisa ngerasain kayak jalan mundur,” kataku, sambil tertawa.


Pintu kendaraan tahanan ditutup. Tiga tahanan wanita dinaikkan pada bagian belakang. Ruangan kecil di dalam mobil tahanan, dan pintu utama pun ditutup. Digembok dengan kunci besar.


Kendaraan tahanan bergerak. Suara sirine langsung meraung kencang. Karena hanya 30 tahanan yang akan bersidang, maka hanya satu mobil saja yang jalan. 


Suasana di dalam kendaraan pun tidak bersempit-sempitan seperti biasanya. Semua bisa duduk pada dua kursi panjang yang membelah postur mobil.


Sesampai di gedung Pengadilan Negeri, kami turun satu demi satu, dan aku sengaja memilih keluar kendaraan tahanan yang terakhir. Pilihanku ternyata tepat. 


Pada saat bersamaan, istriku Laksmi dan adikku Laksa, yang sudah menunggu di belakang mobil, langsung bisa menyalamiku, dan berjalan bersama menuruni tangga untuk masuk ke area ruang tahanan sementara.


Komandan pengamanan tahanan dari Kejaksaan yang bertugas di gedung Pengadilan Negeri, memberi isyarat. Salah satu anak buahnya bergerak. Mengajak aku, istriku, dan adikku ke ruangan khusus. Yang berada pada bagian belakang dari beberapa kamar tahanan sementara yang ada disana.


“Alhamdulillah, tetep ada kemudahan ya, kak,” ujar Laksa, begitu kami bertiga telah berada di ruang khusus.


“Iya, dek. Alhamdulillah. Terimakasih banyak atas berbagai usahanya hingga kakak bisa tenang ngadepi sidang karena sempet ngobrol kayak gini,” kataku, dan memeluk Laksa.


Istriku Laksmi mengeluarkan nasi bungkus. Berlauk asam pade ikan tongkol, ditambah telor bulat. Segera aku nikmati makanan tersebut. Ia suguhkan juga jus alpukat serta satu botol air mineral. Istriku dan Laksa juga makan siang. Sambil kami terus berbincang ringan.


Di saat kami masih makan, datang pengacaraku; Makmun dan kawan-kawan. Mereka bertiga. Diskusi ringan pun dilakukan. Makmun mengurai dengan singkat eksepsi yang telah ia siapkan bersama timnya.


Juga datang dua jaksa penuntut umum ke ruangan khusus tempat kami berkumpul. Yang berdekatan dengan ruang tahanan sementara untuk wanita. 


Wajah jaksa pria yang bertubuh sedang, tampak dihiasi senyuman saat menyalamiku, sedangkan jaksa wanitanya hanya menatapku sesaat dan diam.


“Pak Mario siap sidang kan?” tanya jaksa pria, dengan tetap mengumbar senyumnya.


“Kalau sudah sampai sini, siap nggak siap, ya harus siap, pak,” jawabku, sambil tersenyum juga.


Setelah berbincang beberapa saat, kedua jaksa beserta tiga pengacaraku meninggalkan ruangan. Untuk mengecek kepastian majelis hakim yang akan bertugas menyidangkan perkaraku. Setelah pekan lalu, mengalami penundaan. (bersambung)

LIPSUS