Cari Berita

Breaking News

Refleksi FSIGB: PERTEMUAN BUDAYA DAN NASIONALISME KULTURAL

Sabtu, 15 Oktober 2022





Oleh Wannofri Samry


 “Kita serumpun
Punya cerita nan sama” 
(Nor Zaiton Hanafi,  2018)

Tidak banyak yang memanfaatkan kebudayaan sebagai bahagian dari diplomasi budaya dan medium untuk menguatkan solidaritas antar etnik, ras dan negara. Keberagaman etnik sering menjadi masalah dan dipertentangkan oleh banyak kalangan, apa lagi kalau masuk ke ranah politik. Kekayaan budaya pun sering menjadi konflik antara negara, walaupun berada dalam satu sejarah dan kultural. Patutlah jika even-even budaya yang ditaja oleh beberapa komunitas dan institusi menjadi perhatian dan dibanggakan. 

Di tengah banyak pertentangan dan konflik-konflik di ranah politik para budayawan masih bisa menjalin komunikasi dalam menjalin kekuatan dalam karya budaya.  Usaha-usaha menjalin komunikasi dan diplomasi budaya temntu sudah lama dilakukan. Hal yang masih  diingat oleh pemirsa televisi Malaysia dan Indonesia pada tahun 1980an adalah acara bersama antara Televisi Republik-Indonesia (TVRI) denhgan RTM Malaysia. Acara yang menampilkan musik dan penyanyi Indonesia dan malaysia ini telah membangun satu  silaturrahmi budaya yang digemari oleh oleh kedua negara. Kerjasama budaya dalam aspekm sastra pun sering dilakukan oleh beberapa komunitas di beberapa propinsi.  Kerjasama sastra-budaya ini bagaimanapun membanytu diplomasi budaya dengan bebebrapa negara dan membangunan nasionalisme kultural dalam jaringan negara.

Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (FSIGB) dihelat sejak tahun 2018 adalah salah satu acara sastra-budaya yang berusaha mengeksplorasi budaya Melayu sebagai bagian diplomasi dan pemersatu. Perhelatan FSIGB digagas oleh Dato Lela Budaya Rida K Liamsi, seorang sastrawan, budayawan dan wartawan nasional dari kepulauan Riau. Perhelatan FSIGB ini hingga tahun 2022 sudah dilaksanakan sebanyak 5 kali dan menerbitkan 13 buku antologi puisi, serta telah melibatkan ratusan Penyair yang berasal dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei dan Thailand. Sejak tahun 2020 FSIGB juga meluncurkan 100 puisi karya penyair dari berbagai negara setiap tahun. Sejak awal  FSIGB juga memberikan anugrah budaya Jembia Emas untuk para budayawan yang dianggap berperan menyumbangkan pikiran dan tenaganya untuk kebudayaan di Kepulauan Riau. 

Kehadiran FSIGB tentu menjadi bahagian yang amat penting dan menggembirakan bagi perkembangan sastra dan budaya umumnya. FSIGB jika diamati tidak hanya bermakna dalam seni sastra namun mempunyai efek yang luas bagi diplomasi, silaturahmi dan nasionalisme kultural. Ketiga aspek ini mungkin tidak begitu direncanakan dan diproyeksikan namun ia telah menjadi fakta penting ketika realitas nasiolisme politik dan kultural diisi oleh kehingarbingaran serta mungkin memekakkan telinga. Kegiatan sastra-budaya ini melibatkan sastrawan dan budayawan dari berbagai tempat di kawasan Nusantara. Helat itu menjadi medium interaksi dan komunikasi antar bangsa dan etnik. Walaupun hanya ratusan penyair yang terlibat dalam peristiwa sastra ini, namun komunikasi yang dilakukan di berbagai media massa dan media sosial telah memberikan efek luas mengenai kebersamaan, pemahaman budaya dan  berbangsa. Beberapa peserta yang ikiut bdalam helat budaya ini  te;ah menyiarkan berbagai pandangan kultural mereka memalui media di setiap negara asal. Jadi, nasionalisme politik yang menyekat dalam batasan geografis ternyata begitu lempang dalam area kultural.


Nasionalisme Kultural dan Diplomasi Budaya

Nasionalisme kultural Melayu sudah terbentang di berbagai negara. Kebudayaan Melayu jika diartikan dengan seluas-luasnya faktanya sering dilihat dari kesamaan bahasa, yang variannya ada di berbagai etnik dan bangsa. Sebenarnya menelusuri kebudayaan Melayu tidak hanya bisa ditelusuri lewat bahasa namun berbagai fakta-fakta sejarah dan budaya di tengah masyarakat akan menunjukkan satu-kesatuan kebudayaan. 

Sejak masuknya bangsa Eropa fakta-fakta sejarah dan budaya berkembang dan bercabang.  Fakta-fakta sejarah-budaya itu pun sering dimaknai menurut isu-isu politik dan seakan-akan aspek kultural dibatasi dalam geografis politik. Sastra yang merupakan bahagian dari aktivitas jiwa dan pikiran berusaha merekat keterbelahan itu. Jiwa hidup dalam sastra, ia tidak bisa dimatikan oleh sekat-sekat dan sistem politik. Dalam konteks nasionalisme, kita boleh melirik kembali ucapan filosof ternama Ernest Renan yang mengatakan, bahwa  “sebuah bangsa adalah jiwa yang hidup, sebuah prisnsip spritual” (1882). Sastra-budaya yang lahir dari kedalaman jiwa dan spritual akan menjadi roh yang baik untuk nasionalisme di kawasan Nusantara.

Kalau ditilik pada gagasan awal diadakannya FSIGB, ia tidak terlepas dari semangat nasionalisme kultural  di dunia Melayu.  Awal mula dibuat FSIGB tahun 2018 adalah berpijak pada keprihatian Rida K Liamsi  bersama  budayawan dan Ketua Gabungan Penulis Nasional (Gapena)Malaysia Datuk Prof Zainal Borhan. Kedua sastrawan-budayawan itu memikirkan mengenai gagasan yang menarik untuk issu kesusastraan serantau. Kata Rida K Limasi (Jazirah, 2018) “issu itu mesti dapat menjadi semacam perekat ingatan dan dorongan bersama dalam mencari  kait-kelindan bangsa Melayu.” 

Issu yang diinginkan itu hendaknya langgeng sepanjang waktu. Karena itu tema pertama FSIGB adalah Hang Tuah. Tokoh ini seakan sudah dimiliki oleh berbagai bangsa, dan dilekatkan pada berbagai nama seperti nama gedung dan jalan di berbagai daerah dan negara. Tema ini menarik minat 360 penyair dari berbagai negara dan melahirkan sekitar 1000 puisi, namun hanya dipilih 300 puisi dari 131 Penyair (Rida, 2018). Puisi itu dikuratori oleh Presiden Penyair Indonesia Sutarji Calzoum Bachri, Rida K Liamsi dan Hasan Aspahani. Sejumlah puisi yang diterbitkan tentu memberikan wacana yang berbeda-beda tentang nilai kultural Hang Tuah yang dianggap milik bangsa Melayu. 

Sejauh mana kaitan FSIGB dengan nasionalisme kultural? Hal ini bisa dilihat dari aspek pertukaran gagasan yang dituangkan dalam karya  dan intesnitas komunikasi dan pertemuan sastrawan antara negara yang membawa karya mereka dalam perhelatan perhelatan ini. Pertukaran gagasan dalam media cetak, buku dan media massa dalam kaitannya dengan pembentukan nasionalisme sudah dijelaskan panjang lebar oleh berbagai pakar, seperti Benedict Anderson dalam Imagine community (1983), Ahmad Adam (1997)  atau Samry (2013). Dalam masa Pergerakan Nasional Indonesia tentu buku dan surat kabar sudah melunturkan etnisitas dan mengangkatnya pada ikatan perpaduan nasional. Namun karena kekuasan kolonial kesatuan-kesatuan kultural tereduksi oleh kesatuan negara-nasional. Namun perkembangan baru media massa dan internet telah memperkaya lagi kembali ikatan-ikatan nasional dan membangkitkan kembali ikatan-ikatan kultural yang terlepas sejak masa penjajahan. Posisi kebangkitan nasionalisme kultural akan mengisi keretakan yang dibuat oleh nasionalisme politik. Nasionalisme kultural akan menjadi penyejuk bagi “ketegangan-ketegangan” politik. Inilah peranan yang dimainkan oleh para sastrawan dan budayawan seperti pada perhelatan FSIGB .
FSIGB melanjutkan sejarah panjang dari nasionalisme kultural yang sudah terbentuk sejak berabad-abad sebelumnya, ketika dunia Melayu adalah dunia yang lapang untuk pertukaran budaya antar sub-bangsa. Ketika lautan dan daratan Melayu adalah  ranah pertukaran dan pendewasaan budaya dari berbagai suku dan ras yang susah ditandingi berabad-abad lamanya. Kini ia dibangkitkan dalam sastra-budaya yang ditunjukkan oleh para sastrawan dari berbagai negara.
 
Sejauh mana dorongan kebangkitan nasionalisme kultural dan diplomasi budaya yang disumbangkan oleh helat sastra-budaya dan pengaruhnya untuk kehidupan nasional di setiap negara tentu perlu satu perbincangan lebih lanjut. Namun apa yang diinginkn dalam FSIGB, “membangun ikatan dan issu kultural bersama”, nampaknya sudah terlihat dalam pertemuan FSIGB 2018-2022. Dalam beberapa puisi yang diterbitkan dalam acara festival itu sudah menunjukkan bahwa  nasionalisme kultural membuat peserta setiap negara merasa nyaman. Sebagaimana tergambar dalam bait puisi: “dikaulah yang terbaring di situ/melompati tenggat waktu/membuat dulu dan kini jadi satu” (Norham Abdul Wahab, “Jambat Tuah, Tardji”, dalam Jazirah, 2018.). 


*Wannofri Samry, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unand, peserta FSIGB 2018-2022.

LIPSUS