Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 319)

Selasa, 15 November 2022
Views


Oleh, Dalem Tehang 


KEMBALI aku dikawal menuju ruangan khusus pada bagian belakang sel sementara bagi tahanan. Kali ini, sudah bersama istriku, Laksmi, selain Laksa.


Laksmi mengeluarkan berbagai makanan khas daerah yang baru saja dikunjunginya. Suasana hatiku pun telah kembali stabil. Pikiran juga tenang. Tawa dan canda menjadi penghias pertemuan kami siang menjelang petang itu. 


Saat adzan Ashar berkumandang dari masjid di kompleks Pengadilan Negeri, aku langsung berwudhu. Melaksanakan kewajiban. Bersujud kepada Ilahi Rabbi. Diikuti Laksa. 


“Kalau nggak solat sekarang, pasti lewat nanti asharannya, karena banyak yang sidang hari ini,” kataku kepada istriku, Laksmi, yang juga akan solat ke masjid pengadilan.


Selepas melaksanakan solat Ashar di masjid, istriku kembali ke ruangan sambil membawa tiga kantong plastik kecil.


“Ada yang dagang siomay di depan. Masih banyak bener dagangannya. Targetnya kan keluarga tahanan yang beli. Jadi, bunda beli tiga bungkus. Buat ayah, lainnya nanti kasih ke Aris sama Dika,” kata istriku, seraya tersenyum. 


“Alhamdulillah. Terimakasih ya, bunda,” ujarku, sambil menerima bungkusan siomay yang baru saja dibelinya.


Pengacaraku, Makmun dan timnya, datang. Menemui di ruangan khusus ketika aku menjalani persidangan. Menyampaikan kemungkinan keputusan sela majelis hakim pekan depan akan tetap melanjutkan perkaraku. Alias menolak pledoi yang disampaikannya.


“Apapun nanti keputusan majelis hakim, aku siap terimanya. Nggak usah diberatin ya. Yang penting, kawan-kawan terus berjuang maksimal sesuai ketentuan hukum aja,” kataku, menanggapi apa yang disampaikan Makmun.


Makmun melihat ke arah istriku. Yang tetap berada di dalam pelukanku. Istriku tersenyum. Tangan kanannya bergerak. Menunjuk ke atas. Ke langit. Mengisyaratkan, ia menyerahkan semua kisah kehidupan ini kepada Pemilik Langit dan Bumi. Allah azza wa jalla.


“Yang penting, kita semua tetep harus ikhtiar dan berdoa penuh dengan kesungguhan. Soal keputusannya, hanya Allah yang berkewenangan,” ujar Laksa, menegaskan sikap istriku.


Makmun tersenyum, juga dua orang anggota timnya. Tampak ada kelegaan pada wajah mereka. Sebagai lawyer, mereka memahami akan tugasnya, membantu klien secara maksimal. Namun, mereka juga memerlukan adanya sikap klien yang siap menerima segala kemungkinan, yang terburuk sekalipun.


Istriku meminta Makmun dan dua anggota timnya untuk menikmati panganan ringan yang menjadi buah tangannya selepas melaksanakan tugas kantor di luar daerah. Sontak, suasana ruangan sel sementara tempat kami berada, dipenuhi keceriaan dan kebersamaan. 


Sambil terus berbincang ringan, kami menikmati beragam panganan yang ada. Hingga sekitar 30 menit kemudian, Makmun dan timnya, berpamitan.


Saat tinggal aku, istriku Laksmi, dan adikku Laksa, banyak hal yang kami bicarakan. Khususnya mengenai kondisi mental anak-anak. Bulan dan Halilintar.


“Alhamdulillah, mereka baik-baik aja selama ini. Nilai sekolahnya juga stabil, bahkan ada peningkatan. Cuma memang, mereka lebih banyak ngurung diri di kamar dibanding sebelum ayah kena masalah,” urai istriku. 


“Tapi tetep makan malem bareng kayak dulu kan? Sambil cerita aktivitas masing-masing?” tanyaku.


“Bulan yang belakangan sering nggak ikut makan bareng. Alasannya ada aja. Kalau Halilintar, ya tetep mau nemeni bunda,” jawab istriku.


“Sebenernya hal yang lumrah aja kak, kalau anak-anak ngerasa kehilangan. Yang penting, mereka tetep bisa kontrol rasa sedih dan kecewanya,” kata Laksa, menimpali.


“Nah, itu yang jadi pikiran bunda, ayah. Jangan sampai rasa sedih dan kecewa mereka, nggak terkontrol. Banyak kejadian, karena ayahnya masuk penjara, anak-anaknya cari pelampiasan di luar. Pergaulannya jadi nggak terkendali. Akhirnya, malah timbul masalah baru,” tutur istriku. Ada nada sedih yang mendalam di dalam suaranya.


Aku hanya terdiam. Memahami benar beratnya beban istriku melewati hari-hari sejak aku menjadi tahanan. Bukan hanya tetap harus survive di dalam pekerjaan, namun juga menangani semua urusan keluarga, dan menjaga tetap stabilnya mental anak-anak. 


Sebuah kehidupan yang tergerus dari kenormalan, betapapun beratnya, mesti ia lakoni. Kekuatan mental dan ketenangan istriku, ternyata, juga mengalami ujian yang tidak ringan. Seiring masalah yang melilitku. Suatu jalinan persoalan yang selama ini kurang aku sadari kehadirannya. 


“Apa kira-kira yang bisa ayah lakuin buat ngejaga mental anak-anak ya, bunda,” ucapku, setelah kami berdiam beberapa saat.


“Paling untuk sekarang ini, ayah sering-sering aja menyapa mereka. Kan bisa WhatsApp. Nggak harus telepon, kalau nggak aman situasinya,” tanggap istriku.


Tersadarlah aku. Melakukan komunikasi kepada anak-anak melalui WhatsApp, sesungguhnya adalah hal yang sederhana, apalagi aku memiliki fasilitas telepon seluler sendiri untuk melakukannya. Pemberian sipir Almika. 


Sesuatu yang selama ini sangat aku abaikan, karena keasyikanku meramu percikan sejuta ketidaknyamanan menjalani hari-hari di dalam rutan. 


“Bunda paham, ayah sendiri ngalami kehidupan yang bener-bener nggak tenang selama ini. Tapi, ayah juga harus inget, kami tetep butuh perhatian ayah. Bunda dan anak-anak ayah, sangat ingin  ayah selalu ada, walau hanya sekadar menyapa lewat WhatsApp. Kalau memang kondisinya memungkinkan, bunda harap ayah bisa lakuinnya,” ucap istriku, tetap dengan nada penuh kesedihan dan keprihatinan.


“Inshaallah, ke depan ayah bisa rutin menyapa bunda dan anak-anak. Maafin ayah,  selama ini ngabaiin perasaan bunda dan anak-anak,” sahutku, dan memeluk erat istriku. Menaruhkan kepalanya di dadaku.


Kami masih membahas mengenai kondisi anak-anak, ketika seorang pegawai Kejaksaan datang. Memberitahu, aku harus naik ke mobil tahanan. Kami pun berkemas. 


Tiga kantong plastik penuh dengan makanan, minuman, serta beberapa vitamin, juga satu kantong plastik lain berisikan kaos serta celana pendek hasil pembelian istriku saat tugas dinas luar, menjadi bawaanku untuk kembali masuk rutan, petang itu. (bersambung)

LIPSUS