Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 324)

Minggu, 20 November 2022


Oleh, Dalem Tehang 


SELEPAS mengikuti solat Jum’at berjamaah dan makan siang bersama Rudy, aku keluar kamar. Menuju kamar Gerry di Blok A. Sesampai di kamar berisi 12 orang tersebut, suasananya penuh kegembiraan.


Ada yang bermain kartu dengan memasangkan karet di telinga bagi yang kalah, ada yang tengah asyik memetik sinar gitarnya, ada yang bercandatawa melalui video call, dan ada yang sedang konsentrasi mengisi teka-teki silang.


“Masuk, bang,” kata Gerry, saat melihatku berdiri di depan pintu kamarnya, yang tidak dikunci.


Setelah menyalami satu demi satu penghuni kamar, aku duduk pada bagian sudut. Bersandar di tembok. Tepat di belakang Gerry yang tengah asyik memetik gitar diiringi suaranya, pelan. Bahkan setengah bergumam.


“Buatin bang Mario kopi pahit,” kata Gerry kepada OD kamarnya.


Seorang pria berusia sekitar 35 tahunan berdiri dari keasyikannya bermain kartu dengan kawan sekamarnya. Memasak air di dalam teko listrik, dan menyiapkan cangkir berisi kopi. Beberapa saat kemudian, minuman kopi pahit telah tersedia di dekat tempat dudukku. 


Gerry memberi isyarat kepada OD untuk membuka lemari tempat makanannya. Mengambil satu bungkus makanan ringan. Menemani kopi pahitku.


“Minum dulu, bang. Nanti ngobrolnya ya. Ini lagi latihan main gitar, setelah vakum hampir dua tahun,” ujar Gerry, dengan gaya santainya.


“Lanjut aja, Gerry. Nggak ada yang penting juga kok. Cuma pengen main aja. Nyanyinya yang kenceng dikit, jadi yang lain juga bisa nikmati,” jawabku, sambil tersenyum.


“Gimana mau nyanyi kenceng, bang. Yang aku nyanyiin kan karangan sendiri. Jadi, ya cuma aku yang bisa nikmatinya,” kata Gerry, sambil tertawa.


“Emang gimana liriknya?” tanyaku, penasaran.


“Panjang, bang. Reff-nya aja ya. Kata-katanya gini: Tujuanku bukanlah pahala ataupun surga, tujuanku hanyalah bagaimana saat kembali kepada Tuhan bisa mengembalikan semua yang dititipkan padaku selama ini. Karena niat tak berhuruf juga tiada bersuara,” urai Gerry, dan kembali tertawa. 


“Dalem bener syairnya, Gerry. Apa judul lagu itu?” tanyaku lagi.


“Nah, itu dia, bang. Sampai sekarang, lagu itu tanpa judul. Pokoknya, lagi pengen nyanyi, ya aku nyanyiin aja. Dan itu hafal di luar kepala semua kata-katanya,” sahut Gerry.


“Mestinya, kamu sudah siapin judulnya dong, Gerry,” kataku, menyela.


“Nurut aku, judul itu nggak penting, bang. Itu kan cuma sekadar simbol aja. Kata-kata dalam lagu itulah inti atau nafasnya,” tanggap Gerry.


“Nggak salah penilaianmu, cuma nggak lazim aja lagu tanpa judul,” kataku lagi.


“Nah, inilah yang kita sering salah selama ini, bang. Sesuatu yang nggak lazim, langsung dianggap aneh dan keluar dari kodrat. Padahal, hidup ini kan fleksibel, nggak kaku. Sepanjang kreativitas itu nggak ngerubah malam jadi siang atau sebaliknya, nurut aku, ya lazim-lazim aja. Bukan hal yang patut dianggap aneh,” urai Gerry, kali ini dengan wajah serius.


“Omonganmu itu bener, Gerry. Cuma kan, orang di sekeliling kita nggak bisa gitu aja nerima sesuatu yang tampil beda. Perubahan itu, apalagi yang dianggep ekstrem, pasti perlu waktu buat orang lain mahaminya,” ujarku, menanggapi.


“Aku nggak perlu orang lain mahami, bang. Yang penting, apa yang ku lakuin, buatku tetep bisa ngerasa nyaman, juga semangat buat terus survive, nggak mati dari hati dan pikiranku,” lanjut Gerry, menggebu-gebu.


“Iya sih, kita masing-masing emang punya prinsip sendiri, Gerry. Aku hargai pilihanmu. Cuma, kawan-kawan di kamar ini, sesekali kan pengen juga denger kamu nyanyi dengan suara kenceng. Biar mereka terhibur,” kataku, setelah berdiam beberapa saat.


“Bener itu, om. Selama ini bos kalau nyanyi, ya buat badan dia sendiri. Nyenengin hatinya sendiri. Kami pengen dia ngegitar, kami gantian nyanyi, eh dia nggak mau,” kata seorang penghuni kamar sambil menatapku.


“Banyak omong kamu. Aku usulin pindah juga nanti kamu dari kamar sini,” sergah Gerry dengan nada tinggi kepada pria berkaos tanpa lengan yang menunjukkan tato bergambar ular di lengan kanannya itu.


“Sorry sih, bos. Dicandain gitu aja langsung emosi,” lanjut pria bertato tersebut, sambil mengatupkan kedua tangan di dadanya. Meminta maaf.


“Jadi, bang. Kenapa aku belakangan latihan main gitar lagi? Karena aku sadar, jangan sampai satu kesusahan yang kita rasain sekarang, bikin kita lupa sama seribu nikmat yang kita dapetin selama ini,” kata Gerry, beberapa saat kemudian.


“Setuju aku sama pandanganmu, Gerry. Kita emang mesti terus bersyukur dan nikmati yang ada, nggak peduli sesusah apa yang kita rasain,” ucapku, sambil mengacungkan jempol.


“Cocok kalau gitu, bang. Dan abang jangan lupa, pada dasarnya, orang lain itu nggak akan pernah peduli sama kita, kecuali kita nguntungin buat dia,” lanjut Gerry.


“Tapi nggak baik juga kalau jadi avonturir, Gerry,” kataku, menyela.


“Ya emang tetep harus peduli dengan kawan sekamar sih, bang. Ibaratnya kan kita sudah jadi keluarga. Tepatnya, kita dipaksa oleh keadaan untuk jadi saudara. Tapi, kalau ada yang nggak seide, ya lebih baik disingkirin, atau kita yang nyingkir,” ujar Gerry, kali ini terasa ada penekanan dalam bicaranya.


Aku mulai memahami, siang itu Gerry banyak bicara kemana-mana karena ia bermaksud menyindir seseorang di kamarnya. Entah siapa. Dan kedatanganku, menjadi alasan untuk mengungkap suara hatinya.


“Beberapa hari lalu, adekku Laksa kesini. Ada omongan dia yang kepatri di hati dan pikiranku. Bahkan jadi perenunganku. Dia bilang: kesulitan akan buat kita tahu, apakah kita ini bener-bener punya temen, atau sekadar bayangan,” kataku, menguatkan sindiran Gerry.


“Nah, sepakat aku sama omongan adek abang itu. Emang pada dasarnya, titik lelah itu pasti ada, tapi itu bukan titik berhenti. Karena ujian kehidupan ini bakal nyodorin dua pilihan: tumbuh atau layu. Jadi, yang akan buat kita layu, lebih baik ya diamputasi aja,” sambung Gerry, dan tersenyum penuh arti.


“Ada yang pernah bilang begini, Gerry. Nggak perlu jadi pinter, karena pinter bisa mendzolimi. Jadilah orang mengerti, karena mengerti pasti memahami,” tanggapku, juga disertai senyuman.


Merasa kedatanganku menjadi alasan bagi Gerry untuk terus menerus melontarkan sindiran kepada penghuni kamarnya, aku merasa tidak nyaman. Setelah beberapa kali meneguk kopi pahit yang disediakan, aku pun berpamitan.


“Nanti dulu sih, bang. Kita kan belum ngobrolin apa yang abang mau sampein,” kata Gerry, mencoba menahanku.


“Nggak ada yang penting kok, cuma pengen silaturahmi aja, Gerry,” jawabku, dan berpamitan dengan kembali menyalami penghuni kamar Gerry satu demi satu. (bersambung)

LIPSUS