Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 325)

Senin, 21 November 2022


Oleh, Dalem Tehang 


KETIKA turun dari lantai 2 tempat kamar Gerry berada, dan akan keluar Blok A, di ruang pintu masuk aku melihat sipir Mirwan sedang menonton televisi.


“Wuih, asyik bener nontonnya. Acara apaan emang,” ujarku, sambil menepuk bahu sipir Mirwan.


“Ngagetin aja om ini lo. Darimana kok tiba-tiba muncul kayak hantu gini,” sahut sipir Mirwan, sambil menarik kursi yang semula menjadi tempatnya menyelonjorkan kaki, untuk aku duduk.


“Habis main ke kamar Gerry. Numpang ngopi,” kataku, dengan santai.


“Ke kamar Gerry? Ngapain om main kesitu?” tanya sipir Mirwan, sambil mengernyitkan dahinya.


“Main aja. Silaturahmi sambil numpang ngopi,” jawabku, tetap dengan nada santai.


“Nggak usah becanda sih, om. Bilang numpang ngopi, emang di kamar om nggak ada kopi ya,” kata Mirwan, dan menatapku dengan serius.


“Tadi, sampai disana langsung disiapin kopi, ya nggak salah kalau aku bilang numpang ngopi. Kalau kopi di kamar, Alhamdulillah masih ada stok. Tapi beneran, aku cuma pengen main aja. Nggak ada perlu lain. Emang ada apa di kamar itu,” kataku, panjang lebar.


“Om nggak denger ya. Kemarin sore, Gerry gebukin kawan sekamarnya. Sampai berdarah-darah. Untung yang digebuk nggak nuntut. Gerry nggak dimasukin strafsel karena KPR sudah manggil dia. Ada deal-deal-lah antara mereka. Aku nggak paham,” urai sipir Mirwan.


“O gitu. Pantes tadi Gerry pas ngobrol, omongannya kayak nyindir-nyindir gitu. Cuma aku nggak tahu siapa yang dia sindir dan ada masalah apa,” ucapku, menimpali.


“Ada kawan sekamarnya. Bekas jaksa. Kena kasus narkoba dua kali, langsung dipecat. Namanya kena pecat itu kan drop dan streslah, om. Jadi dia sering uring-uringan, kesel, marah-marah. Sebagai kap kamar, Gerry bukannya usaha gimana caranya kawan itu bisa tenang, malah ngomelin terus. Akhirnya mereka ribut,” jelas sipir Mirwan.


“Ribut kelahi gitu?” tanyaku. Memotong.


“Awalnya sih ribut mulut, om. Justru Gerry yang langsung main gebuk. Dihajar habis itu kawannya. Sampai bibirnya pecah. Pelipisnya luka. Dari kuping kanannya sempet keluar darah. Untung orang itu nggak nuntut. Kalau sampai nuntut, Gerry bisa kena tambahan hukuman, kasus penganiayaan,” kata Mirwan, mengurai.


“Nggak nyangka aku, kalau Gerry ternyata berangasan gitu. Yang ku tahu, selama ini orangnya sopan, enjoy, dan bawaannya selalu cengengesan,” ujarku.


“Itu kan kalau pas ketemu om. Coba tanya di Blok A ini, hampir semua tahanan tahu gimana watak Gerry. Pemarah, sedikit-sedikit main tangan, main kaki. Cuma, karena dia punya kedekatan khusus sama KPR, ya aman-aman aja,” lanjut sipir Mirwan.   


Aku mengakui kehebatan Gerry dalam melakukan pendekatan kepada berbagai pihak yang ada di dalam rutan. 


Hampir semua pejabat, pegawai dan sipir, mengenal dengan baik pria pemilik usaha tour & travel terbesar di kota ini. Apalagi, para tahanan maupun napi. Sangat familiar dengan napi berusia sekitar 39 tahunan itu.


Bukan hanya pembawaannya yang memang ramah, menghargai orang lain, dan ringan tangan, tetapi juga kepeduliannya yang tinggi kepada lingkungan serta tidak pernah segan-segan mengeluarkan uang pribadinya guna mempercantik kawasan rutan. 


“Kenapa jadi ngelamun, om,” kata sipir Mirwan, mengagetkanku yang tengah terbawa lamunan mengenai Gerry.


“Nggak ngelamun sih. Cuma ngebayangin, kok Gerry bisa kasar kayak gitu ya. Karena buatku, dia orang pertama yang berjasa besarin hatiku. Dialah yang nge-bond aku waktu baru masuk AO dan merangkulku untuk tegar jalani hidup disini,” kataku, memperjelas hubungan dengan Gerry.


“Jadi, om emang sudah lama kenal Gerry?” tanya sipir Mirwan.


“Iya, sudah lama. Malem aku masuk AO, besok siangnya dia nge-bond aku, ngajak ke kamarnya. Emang sih, dia lakuin itu karena perintah bosnya, si Peeng. Yang sejak muda emang kawan deketku. Tapi, apapun ceritanya, Gerry punya sisi tersendiri buatku,” lanjutku.


“Kalau gitu, tugas om buat ngebina Gerry. Karena kami-kami kan terbentur sama struktur birokrasi. KPR sudah dia pegang masalahnya, jadi sering ngecilin kami-kami ini,” tanggap Mirwan.


“Siap. Inshaallah, nanti om ajak dia ngobrol-ngobrol,” sahutku, dan sesaat kemudian berpamitan untuk kembali ke kamar.


Ketika aku memasuki area sel di Blok B, tampak beberapa orang sedang berbincang di taman depan kamar. Ada pak Hadi, pak Raden, Oong, juga pak Sibli, dan pak Edi.  


“Ini dia orangnya. Darimana sih, bang. Sudah lama kami nongkrong disini, tuan rumahnya nggak ada,” kata Oong, begitu melihatku mendekati tempat mereka sedang kongkow. 


“Habis jalan-jalan ke mal. Namanya juga diajak tuan tanah, sebagai tuan rumah, ya nggak bisa nolak,” sahutku, sambil tertawa.


Semua yang tengah berbincang santai di taman pun ikut tertawa mendengar selorohku. 


“Di mal ada yang jual kaos dengan tulisan WBP nggak, bang. Kalau ada, mau suruh anak beli,” kata pak Sibli, masih dengan tertawa.


“Ada, banyak bahkan. Sudah ditambah sama ukiran namanya juga. Ada nama pak Sibli, pak Hadi, pak Raden, pak Edi, juga Oong. Kayaknya diem-diem sudah pada pesen kaos spesial ya, karena tahu bakalan lama tinggal disini,” jawabku, juga masih sambil tertawa.


“Emang lama-lama kita disini, jadi gila beneran,” pak Hadi menyeletuk. Dan kembali kami semua tertawa. 


“Bang Mario mah jangan dimulai bercandaan agak-agak gila, malah dijadiin sama dia. Nanti, orang-orang yang ngelihat kita dari jauh jadi heran dan ngomong di hatinya: Itu pada ketawa kenapa ya, sudah pada gila kali ya,” kata Oong, dan kembali tertawa ngakak.


Keceriaan kami sontak berhenti saat terdengar suara adzan Ashar mengalun dari masjid. Pak Edi memberi isyarat, agar aku segera mengambil kain sarung. 


Pada saat bersamaan, Rudy telah siap juga untuk berangkat ke masjid. Kain sarung, disampirkan di bahunya. Dan baru aku memperhatikan, ternyata pak Hadi, pak Raden, Oong, pak Sibli, pun pak Edi telah membawa peralatan solat masing-masing.


“Wah, rupanya sudah pada siap mau jamaahan di masjid ya. Tunggu sebentar kalau gitu,” kataku, dan masuk ke kamar. Mengambil kain sarung serta kupluk.   


“Kayak nggak paham aja abang ini. Kami kan bisa keluar kamar kalau alasan mau ke masjid, makanya bawa sarung sama kopiah,” ucap Oong, sambil tersenyum.


Aku pun tersenyum. Dan memahami, bila tahanan maupun napi akan keluar dari selnya bukan pada jam pintu kamar dibuka, satu-satunya alasan adalah akan ke masjid. Karenanya, harus membawa kain sarung maupun kopiah.


“Emang cerdik dan hebat kalian ini,” kataku, menyahuti perkataan Oong. 


“Kata ayah mertuaku dulu, lebih baik kurang uang ketimbang kurang akal, bang. Jadi disini, ya akal-akalan itulah yang kita mainkan,” lanjut Oong, dan tertawa ngakak. 


“Kalau ayah mertuaku bilang: jadilah orang yang santai dalam kesibukan, tenang di bawah tekanan, dan optimis di setiap tantangan,” pak Raden menyambung.


“Sudah dulu ngomongin pesen mertua itu. Ayo ke masjid. Sudah selesai adzannya,” ujar pak Edi, memotong pembicaraan.


“Pak Edi ngomong gitu karena dia bingung, pesen ayah mertua dari istri yang ke berapa, yang masih dia inget,” celetuk Oong, sambil berlari mendahului kami yang telah bergerak meninggalkan taman.


“Semprul kamu, Oong. Jangan buka kartu gitu dong,” sahut pak Edi, sambil tertawa.


Sesampai di masjid dan setelah mengambil wudhu, barulah masing-masing menanggalkan kebiasaan berceletukannya. Berganti kesungguhan dan kepasrahan dalam penyerahdirian seorang makhluk kepada Khaliqnya. (bersambung)

LIPSUS