Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 326)

Selasa, 22 November 2022



Oleh, Dalem Tehang 


SEUSAI mengikuti solat Ashar berjamaah, kami tetap berada di masjid. Ingin mendapatkan siraman rohani dari ustadz Umar melalui kultumnya. Bersama dengan sekitar 50-an anggota majelis taklim lainnya.


Mantan dosen filsafat bertubuh tambun ini, memulai tausiyahnya dengan menyampaikan pesan Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili.


“Jika Allah hendak memuliakan seorang hamba dalam gerakan dan diamnya sekalipun, Allah akan angkat dia menjadi orang yang suka beribadah kepada-Nya. Allah tutup dari kepuasan dirinya sendiri. Ia jadikan hamba itu asyik dalam ibadahnya. Kepuasan dirinya tertutup kecuali secukupnya saja bagi dirinya. Bahkan, hamba itu tidak akan melirik kepuasan dirinya seolah ia sibuk dalam keterasingan,” ujar ustadz Umar.   


Ustadz Umar menambahkan, dari pesan tersebut hendaknya kita semua yang terasing dari kehidupan dunia sewajarnya, benar-benar dapat menemukan kenikmatan beribadah, karena di saat itulah Allah akan memberi kemuliaan.


“Memang, banyak rasa dalam sebuah cerita kehidupan ini. Ada senang, sedih, bahkan terkadang juga kita tertawa dan menangis. Namun hendaknya, tetaplah berprasangka baik pada setiap cerita yang terjadi, dan menjadikannya sebuah hikmah,” sambung koordinator majelis taklim rutan tersebut.   


Mengakhiri kultumnya, ustadz Umar menyampaikan, ketidakmampuan seseorang mengambil pelajaran berharga di balik musibah yang menimpanya, adalah musibah yang lebih besar daripada musibah itu sendiri. 


Sekeluar dari masjid, aku dan pak Edi duduk di tepian selasar. Menyaksikan pertandingan sepakbola para penghuni rutan. Berbaur dengan belasan tahanan lainnya.


“Kalau ngelihat mereka main, kayak kita waktu muda dulu ya, be. Nggak ada capeknya,” kata pak Edi, sambil matanya terus mengikuti pergerakan bola dari kaki ke kaki para pemain, yang rata-rata berusia di bawah 30 tahun.


“Iya, bener, pak. Buatku, nonton main bola gini jadi kuatin semangat untuk tetep sehat dan kuat. Bahkan, kadang pengen ikut main juga,” tanggapku, seraya tersenyum.


“Sama, be. Aku juga kadang kepengen bener main bola lagi. Tapi terus sadar, umur sudah uzur dan kekuatan juga sudah jauh berkurang. Kalau ngikuti nafsu kepengen main, jangan-jangan malahan pingsan,” ucap pak Edi, dan tertawa.


“Urusan umur emang nggak bisa dibohongi ya, pak. Boleh aja kita tetep semangat tinggi, tapi fisik nggak ngedukung. Benerlah kata orang, di setiap masa ada tokohnya, dan setiap tokoh ada masanya. Kayaknya, kita sudah lewati masa ketokohan itu,” kataku. Setengah bergumam.


“Jangan pesimis gitu, be. Emang sih, regenerasi itu pasti terjadi. Kalau bahasa kerennya, itu keniscayaan. Tapi, kalau kita punya kualitas diri yang kuat, cuma berakhirnya tarikan nafas itulah tanda kalau masa ketokohan telah usai,” jawab pak Edi.


“Tapi, umur maksa kita melemah, pak. Nggak bisa sekuat dulu main di lapangan,” tanggapku, dengan cepat.


“Itulah kecerdikan diperluin, be. Kita mainkan sisi strategi pembinaan atau pengkaderan. Olah pikir otak yang harus dominan. Bukan di lapangan lagi. Babe kan tahu Abah, senior di dunia kriminal dia itu,” kata pak Edi.


“Ya, tahulah sama Abah mah, pak Edi. Dia malah nunjuk aku gantiin dia kemarin itu, sebelum dia bebas. Tapi aku nolak,” sahutku, memotong perkataan pak Edi.


“Aku denger soal itu kok, be. Nah, seiring tambahnya umur, Abah ngebina orang-orang muda yang seide, yang dia nilai punya karakter kuat. Hebatnya, dia isi mereka dengan apa yang dulu jadi kelemahannya. Jadi, anak didiknya punya kelengkapan untuk gantiin perannya, dan bukan lagi di dunia kriminal,” kata pak Edi, panjang lebar.


Aku terdiam. Terbayang sosok Abah. Residivis senior yang disegani semua penghuni rutan. Yang selalu dikawal banyak anak buah kemana pun ia bergerak. Dan menjelang kebebasannya, menunjukku untuk menggantikan perannya membina para tahanan dan napi yang selama ini menjadi anak buahnya. 


“Secara umur, Abah memang sudah melewati masa ketokohannya, be. Tapi, dengan kecerdikannya, ia masih terus bisa lahirin tokoh-tokoh lagi. Dan hebatnya, mereka yang dia bina, diarahin buat tobat dan belajar agama. Itu sisi kelemahannya selama ini. Yang nggak pernah mau tobat-tobat, apalagi belajar agama. Aku juga denger, ada dua orang bekas anak buah Abah yang babe rekomendasiin jadi anggota majelis taklim. Walau babe nolak secara halus buat gantiin peran Abah,” lanjut pak Edi, masih dengan panjang lebar.


“Jadi, nurut pak Edi, kita-kita yang sudah di atas 50 tahun ini, masih tetep bisa eksis ke depannya?” tanyaku, seraya melihat ke wajahnya.


“Ya tetep bisalah, be. Buang pesimisme itu. Cuma kematian yang akhiri kesempatan buat kita bangkit dan eksis lagi. Inget, dunia ini berputar. Okelah, sekarang kita di bawah. Bahkan tengkurep di tanah. Cukup jalani, nikmati, dan syukuri aja. Ada saatnya kita di atas lagi. The future is ours and good things take time. Masa depan adalah milik kita dan hal baik membutuhkan waktu,” jawab pak Edi dengan bersemangat.


Tiba-tiba, Gerry duduk di sebelah kiriku sambil merangkul pundakku. Wajah gantengnya tampak tegang. Tangannya yang pada jari-jari memegang sebatang rokok, bergetaran.


“Kamu kenapa, Gerry?” tanyaku, sambil menatap wajahnya.


“Bisa ngobrol berdua sebentar, bang. Izin ya pak Edi, ada yang mau diobrolin sama bang Mario,” kata Gerry, seraya menarik tanganku dan menundukkan wajahnya ke arah pak Edi. Meminta izin.


“Lanjut aja, Gerry. Aku balik ke kamar duluan ya, be,” kata pak Edi, dan segera bergerak meninggalkan tepian selasar untuk menuju kamarnya.


Gerry mengajakku bicara di sudut lapangan volly. Yang saat itu memang sedang tidak ada yang bermain. 


“Bang, aku mau pindah dari kamar yang sekarang. Paling lambat besok malem. Aku pengen, abang sekamar sama aku,” ujar Gerry, dengan suara bergetar.


“Kenapa pindah, Gerry? Kan kamu sudah enak di kamar yang sekarang?” tanyaku.


“Panjang ceritanya, bang. Sudah aku putusin, keluar dari kamar yang sekarang. Tadi sudah ketemu KPR juga. Beliau sudah oke. Aku ke Blok C. Nah, aku pengen bener, abang sama aku. Kita bisa tandem, bang,” kata Gerry lagi.


“Bukannya aku nolak ajakanmu ya, Gerry. Tapi, aku kan lagi sidang. Butuh ketenangan. Nantilah, kalau sudah selesai persidanganku, kita bicarain lagi. Kalau kamu sudah putusin pindah, ya sudah, jalani aja. Aku pasti tetep back up kamu, mau ada apa juga, kita hadepin bareng-bareng,” tuturku.


“Bener ya, bang. Begitu abang sudah vonis, gabung sekamar sama aku ya,” tanggap Gerry.


“Inshaallah, Gerry. Kita emang mesti berencana, tapi kan yang ngatur bukan kita. Ada petinggi rutan dan yang pasti bener mutusinnya ya cuma Tuhan,” jawabku.


“Kalau urusan petinggi rutan, aku selesaiin. Abang tenang aja,” katanya lagi, mulai bersemangat.


“Iya, aku paham jaringanmu kok. Yah, kita sama-sama berdoa aja, agar Allah kabulin,” ucapku, dan menepuk bahunya. Menenangkan. (bersambung)

LIPSUS