Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 327)

Rabu, 23 November 2022


Oleh, Dalem Tehang


SESAMPAI di kamar dan usai mandi sore, aku bersarung, memakai baju koko, dan berkopiah. Duduk santai di taman depan kamar, ditemani secangkir kopi pahit dan sebatang rokok. 


“Kayak ustadz beneran kalau abang sudah pakaian begini,” sebuah suara terdengar dari arah belakang posisiku duduk. 


“Eh, bos. Duduk sini, bos. Maaf, lagi pengen tampil beda aja,” kataku dengan terburu-buru, setelah mengetahui yang menyapaku adalah bos besar Blok B, seorang bupati muda usia yang tersandung kasus gratifikasi.


“Emang enak nikmati pergeseran senja ke malam sambil ngopi dan ngerokok santai gini ya, bang,” kata pria berusia 40 tahunan itu. Ada seulas senyum di bibirnya.


Spontan aku memanggil Rudy. Memintanya membuatkan minuman kopi manis hangat untuk bupati berwajah tampan yang selama ini cukup peduli dengan keasrian dan kebersihan kawasan tahanan di Blok B tersebut.


“Abang masih sidang? Kapan kira-kira vonisnya?” tanya dia, setelah Rudy menaruhkan secangkir kopi di meja taman depan tempat duduknya.


“Masihlah, bos. Masih panjang prosesnya. Nggak jadi pikiranku serius juga soal itu. Biar aja ngalir sesuai agendanya,” jawabku, dengan santai.


“Inilah yang aku senengi sama abang. Tetep bisa enjoy ngadepi situasi apapun. Padahal, belum tentu di hati dan pikiran abang seenjoy omongan,” ujar Bos, sambil tersenyum.


“Kita kan sama-sama sih, bos. Senasib. Cuma beda status aja, aku tahanan, bos napi. Pasti bos lebih pahamlah gimana yang dirasa hati dan pikiran. Apalagi, bos sudah vonis, tinggal jalani hukuman. Yah, mau apalagi kalau nggak maksain diri buat selalu ciptain suasana enjoy. Masak sudah hidup di penjara yang gini susah, kita tambahi dengan susah hati dan pikiran,” tanggapku, panjang lebar.


“Itu yang aku maksud, abang bisaan selalu kelihatan enjoy, senyum, dan tertawa. Jujur, itu yang aku nggak bisa, bang. Beban di pikiran dan jiwaku begitu dalem, akhirnya memengaruhi pembawaanku,” lanjut Bos, apa adanya.


“Bos itu bukan nggak bisa enjoy. Maaf ini ya. Tapi, sampai saat ini, bos masih sering kebayang gimana hebatnya bos kemarin waktu masih jadi bupati aktif. Semua ada yang ngeladeni, nyiapin, dihormati dimana-mana. Bahkan kasarnya ngomong, mau pakai sepatu aja, dari kaos kaki sudah ada yang pakeinnya. Bayangan kehebatan masa lalu itu yang buat bos sulit nikmati kenyataan hidup disini,” kataku, dengan menatap bupati nonaktif yang masih muda usia tersebut.


“Bener itu, bang. Hebat abang, bisa ngebaca bayangan yang emang aku rasain selama ini. Dan itu selalu muncul dalam pikiran dan jiwaku kapan aja. Melintas terus-menerus. Gimana caranya biar aku lepas dari semua itu ya, bang,” jawab Bos dengan jujur.


“Sibukin aja pikiran dan jiwa kita, bos. Misalnya dengan baca buku, baca Qur’an, main tenis meja, atau ya bergaul kesana-sini aja. Inget ya, bos. Kita emang hidup di lingkungan penduduk bermasalah, tapi kalau didekati, justru kita bisa banyak belajar dari mereka,” kataku lagi.


“Tapi, aku risih mau gaul sama kawan-kawan disini, bang. Masak iya, aku mesti berkawan sama pencoleng, pembunuh, tukang metik motor dan sebagainya itu,” ujar Bos, menatapku tajam.


“Maaf ya, bos. Kita semua sama-sama manusia. Cukup yang nggak kita sukai adalah perbuatannya, bukan orangnya. Kalau akibat perbuatan salahnya terus kita ngerendahin orangnya, Tuhan bisa marah juga lo, bos. Wong Dia ciptain kita sama-sama manusia sebagai makhluk-Nya,” sahutku dengan cepat.


“Jadi maksud abang, aku harus nanggalin semua cerita kehebatanku kemarin-kemarin ya?” tanya Bos, dengan tetap menatapku tajam. 


“Iya, bos harus paksain buat lupain kehebatan-kehebatan di hari-hari kemarin itu. Tanggalin semua yang cuma buat bos nggak bisa hidup enjoy disini,” jawabku, tegas.


“Tapi kan nggak gampang itu, bang,” ucapnya, menyela.


“Emang nggak gampang sih, bos. Tapi bukan nggak bisa dilakuin. Semua kembali ke niat atau kemantepan hati bos aja. Seribu orang kasih saran juga, kalau kita nggak mau terima apalagi jalaninya, ya nggak ada gunanya,” sambungku.


Suara adzan Maghrib terdengar kencang dari masjid. Rudy telah berdiri di pintu kamar sambil membawa kain sarung dan kopiahnya. Sang bupati yang menyadari kami akan ke masjid, segera berpamitan. Setelah menghabiskan secangkir kopi manis yang disuguhkan Rudy. 


“Ngapain sih om ini masih aja mau ngaledeni bos. Dia itu keras kepala. Songong lagi. Pura-pura aja berbaik-baik. Merhatiin dan sebagainya itu. Omongan om nggak ada yang bener-bener didengernya, boro-boro mau diikuti,” kata Rudy, ketika kami berjalan menuju masjid. 


“Kan kamu yang pernah nyampein ke om, dalam sebuah buku, seorang ulama bilang: terus sampein kebaikan, karena disana ada pahala, terlepas kebaikan itu akan diikuti atau tidak oleh orang yang kita sampein kebaikan tersebut. Nah, gara-gara yang kamu omongin itulah, maka om nggak ragu-ragu buat kasih masukan kebaikan kalau ada yang minta saran. Soal dia mau ikuti apa nggak, bukan urusan om. Wong Nabi Muhammad SAW aja cuma ditugasin sama Allah buat nyampein kebenaran dan nggak boleh maksa orang buat ikut sama apa yang dia sampein, apalagi kita, Rud,” jawabku, panjang lebar. 


“Iya juga ya, om. Ternyata, om ini emang cerdas. Seneng aku punya om kayak gini,” kata Rudy, dan memelukku. Erat. 


“Jangan main peluk gitu, Rud. Kita ini lagi di jalan. Kalau ada yang lihat, dianggep apaan kita sudah berpelukan,” ucapku dan melepaskan pelukan Rudy.


Napi berusia 27 tahunan itu sontak tertawa ngakak. Ia memahami benar, di dalam rutan diam-diam banyak praktik percintaan sesama jenis. Dan ia juga menyadari, rutan adalah rumah besar untuk merebaknya gosip dan area bebas bagi berkembangnya penjualan kisah.   


Seusai mengikuti solat Maghrib berjamaah, aku dan Rudy segera kembali ke kamar. Saat ia sedang menyiapkan makan malam, apel berlangsung. Ditengah kami sedang makan, datang komandan pengamanan yang membantuku sejak awal masuk rutan.


“Makan, dan,” kataku, begitu ia masuk ke kamar.


“Barusan makan sebelum berangkat kesini tadi. Lanjut makannya, pak. Cuma pengen mampir aja. Tadi sore, kami panen mangga dari pohon di rumah, ini sekadar kita berbagi, biar pak Mario juga ngerasain manisnya mangga dari rumah,” kata dia, sambil menaruhkan kantong plastik berisi lima butir buah mangga.  


“Oh ya. Alhamdulillah, terimakasih banyak, dan. Habis kami makan ini, langsung dikupas mangganya,” sahutku dengan suara penuh sukacita.


Komandan pengamanan itu hanya tersenyum, dan sesaat kemudian berpamitan untuk kembali ke posnya. Di pos penjagaan luar.


“Alhamdulillah, ada aja rejeki kita ya, om,” kata Rudy, beberapa saat kemudian.


“Terus kita kuatin rasa syukur ya, Rud. Inshaallah, kita nggak bakal kekurangan makan selama disini,” ucapku, dan menaruhkan piring yang telah bersih dari makanan.


“Kalau ngelihat selama ini, Rudy yakin kita nggak bakal kekurangan makan om,” sahut Rudy.


“Jangan yakin sama sesuatu yang menjadi hak prerogatif Allah, Rud. Jangan lupa, urusan rejeki, maut, dan jodoh, sepenuhnya Yang Maha Agung pemegang remotenya. Tugas kita cukup ikhtiar dan doa. Maka, terus sama-sama kita kuatin rasa syukur aja,” jawabku, sambil tersenyum.


Rudy juga tersenyum. Ia semakin dewasa untuk memahami bila kebersamaan kami tinggal di dalam satu sel, bukanlah sebuah kebetulan. 


Melainkan suatu pertemuan yang memang sudah digariskan dan harus diisi penguatan akan pengakuan kenisbian seorang makhluk dengan terus meningkatkan pengetahuan serta pelaksanaan ajaran keagamaan. (bersambung)

LIPSUS