Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 328)

Kamis, 24 November 2022


Oleh, Dalem Tehang 

   

SUARA adzan Isya mengalun syahdu. Aku dan Rudy langsung keluar kamar. Untuk ke masjid, mengikuti solat berjamaah. Puluhan WBP ditambah belasan sipir, bersama-sama melaksanakan prosesi peribadatan. Penuh kekhusu’an. 


Dan seperti biasa, selepas mengimami solat berjamaah, ustadz Umar langsung menyampaikan tausiyahnya. Ia mengingatkan, dalam kehidupan ini tiada kebahagiaan yang sempurna, seperti juga tidak ada kesedihan yang selamanya. 


“Karena itu, janganlah kita terlalu terbawa suasana dan berujung kecewa. Tertawalah sewajarnya, menangis secukupnya, namun bersyukurlah sebanyak-banyaknya dan jangan pernah putus asa. Yakinlah, selalu ada jalan dari setiap permasalahan, selalu ada balas dari setiap perbuatan. Maka, selalu ingatlah Tuhan, serta hati-hati dengan ucapan dan jaga kelakuan,” ujar ustadz Umar.     


Ia menambahkan dengan mensitir perkataan Ali bin Abu Thalib: jika kamu kehilangan harta, sesungguhnya kamu tidak kehilangan apa-apa. Jika kehilangan kesehatan, kamu telah kehilangan sebagian dari sesuatu. Dan jika kamu kehilangan akhlak, maka kamu telah kehilangan segalanya.  


“Berakhlak mulia kepada sesama itu, level terendahnya adalah tidak mengganggu dan menyakiti orang lain, sedangkan level paling tinggi adalah berbuat baik kepada orang yang menyakiti,” sambung ustadz Umar.


Menurutnya, apabila sebatang pohon ingin menjadi besar, pasti banyak diterpa badai dan guncangan. Kalau ia tidak tumbang saat itu, berarti akarnya semakin kuat mencengkeram bumi. Pohon akan bertambah besar dengan sendirinya.


“Kalau kita takut dengan badai dan guncangan, tetaplah jadi rumput, siap diinjak oleh siapapun yang lewat di atasnya setiap saat,” tegas ustadz Umar.


Sebagai sesama tahanan, ustadz Umar mengakui, dirinya pun seringkali diterpa oleh guncangan di dalam batin maupun pikirannya. 


“Dan ketika guncangan itu begitu kuat, saya teringat perkataan Bung Karno: ada saatnya anda ingin sendiri saja bersama angin. Menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata. Setelah saya menikmati kesendirian dalam cucuran air mata itu, saya ingat pesan Gus Mus: bila apa yang engkau harap-harapkan lambat datangnya, yakinlah Alah sedang menguji kesabaranmu,” urai ustadz Umar. 


Berdasarkan pengalamannya tersebut, ustadz Umar mengajak semua jamaah untuk menyayangi dan mencintai sesama dengan apa adanya. Menempatkan sebagai sesama makhluk Allah. Dengan tidak merendahkan yang berperilaku jelek, dan meninggikan yang berbuat kebaikan. 


“Sebab, kalau kita mencintai sesama karena ilmunya, bisa jadi kita akan membenci yang bodoh. Kalau kita menyayangi sesama karena kesamaan hobi, bisa jadi kita akan membenci yang tidak satu hobi. Kalau kita mencintai karena perbuatan baiknya, bisa jadi kita akan membenci sesama yang tidak baik perbuatannya. Tapi, kalau kita mencintai dan menyayangi karena sama-sama makhluk Allah, maka tidak ada satu pun manusia yang kita benci bagaimanapun kenyataannya. Itulah yang disebut cinta sejati Lillahi Ta’ala,” tutur ustadz Umar, dengan panjang lebar. 


Mengakhiri kultumnya, ustadz Umar menyampaikan, semestinya bersyukur selalu didendangkan dalam khalwat batin kita setiap saat. Karena kita diciptakan sebagai makhluk yang sempurna.


“Coba lihat semut. Dia tidak merasakan mimpi, karena tidak pernah tidur. Begitu juga kupu-kupu, takkan pernah berulang tahun, sebab umurnya hanya 47 hari, sedangkan siput, dia bisa tidur hingga tiga tahun lamanya. Nah, sebagai makhluk yang diberi kesempurnaan, hendaknya kita terus bersyukur. Dan bila hari ini kita lupa untuk mengeluh, berarti kita mulai ingat akan arti dari kata bersyukur,” urainya, dan menutup tausiyah.


Sekeluar dari masjid, aku bertemu komandan pengamanan rutan yang telah menjadi sahabatku. Mengajak berbincang di pos penjagaan luar. 


Saat aku menengok ke arah Rudy yang berdiri di belakangku, untuk meminta pendapatnya, napi yang menjadi OD kamarku itu, mengulurkan tangannya. Mempersilakan aku mampir ke pos penjagaan, dia sendiri langsung kembali ke kamar.  


Dua orang sipir yang semula berada di dalam pos, langsung keluar saat aku dan komandan, masuk. Tinggal seorang tamping, yang langsung diperintahkan untuk membuat minuman kopi hangat dan mie instan.


“Saya sudah makan, dan. Kan tadi komandan lihat sendiri,” kataku, ketika mendengar dia memerintahkan tamping membuatkan dua mie instan rebus.


“Makan mie kan nggak buat kenyang sih, pak. Malah anget di perut. Biar nggak masuk angin,” sahutnya, seraya tersenyum.


Mendapat sahutan seperti itu, aku pun tidak meneruskan ucapan. Karena menghargai niat baik seseorang lebih elegan dibandingkan memperdebatkan. Dan memang, ada kalanya kita lebih baik diam dalam gelap, agar kita tahu siapa yang membawa terang di saat kita tidak mampu melihat.  


Banyak hal yang kami perbincangkan, sambil menikmati kopi pahit dan mie instan. Juga buah mangga hasil panen dari tanaman di rumah komandan. Hingga tanpa terasa, telah pukul 24.00. Saat komandan harus turun langsung mengecek kondisi tiga blok berisi ratusan kamar tahanan yang ada di dalam kawasan rutan.


“Mari saya antarkan pak Mario masuk kamar dulu, baru saya keliling ditemani tamping,” kata komandan, dan kami bertiga pun meninggalkan pos penjagaan luar.


Ia memahami benar perlunya menjaga keamanan dan ketenanganku. Karena, meski sekitar 80 persen sipir telah mengenaliku dengan baik, namun ketika aku berjalan sendirian menjelang dinihari, bisa saja menimbulkan kecurigaan-kecurigaan. 


Dan sang komandan pun mengantarkan aku hingga ke depan pintu kamar. Saat itu, ada dua orang sipir sedang duduk santai di taman depan kamarku, setelah mengecek kondisi penghuni puluhan sel di Blok B. Melihat komandannya datang, spontan mereka berdiri dan memberi hormat. 


“Terimakasih banyak, dan,” ujarku, saat kami bersalaman.


“Sama-sama, pak. Saya juga terimakasih, karena sudah banyak saran untuk kami,” sahut komandan pengamanan rutan, seraya tersenyum simpatik.


Setelah komandan keluar Blok B, aku menawarkan kopi hangat untuk dua orang sipir yang sedang duduk di taman depan kamar.


“Boleh juga, pakde. Tapi jangan pakde yang buatin kopinya. Bangunin aja Rudy,” kata salah satu sipir.


Mendengar suaraku, Rudy terbangun. Aku meminta bantuannya membuatkan dua cangkir kopi manis untuk sipir. Dengan gerak cepat, anak muda ini pun memenuhi permintaanku. Pada saat bersamaan, aku mengeluarkan satu bungkus roti dari lemari penyimpanan makanan. Pemberian adikku Laksa.


“Alhamdulillah, ternyata bukan cuma kopi aja ya. Ada rotinya juga. Terimakasih, pakde,” kata seorang sipir berusia 45 tahunan, ketika Rudy mengantarkan minuman ke meja taman. 


Setelah berbincang sebentar, aku masuk ke dalam kamar. Karena kantuk belum terasakan, aku langsung berwudhu dan menunaikan solat sunah hajat. Sekitar satu jam memfokuskan pikiran dan jiwa dalam perdialogan dengan Yang Maha Segalanya, kantuk pun mulai datang. Alarm badan telah berbunyi. Ku akhiri prosesi penghambaan, dan menidurkan diri. (bersambung)

LIPSUS