Oleh, Dalem Tehang
SUARA adzan Subuh terdengar sangat kencang. Volume mike di masjid sepertinya sengaja diperbesar, karena pada saat bersamaan tengah turun hujan yang cukup lebat disertai deraian angin.
Ketika aku turun dari tempat tidur untuk ke kamar mandi dan berwudhu, Rudy telah duduk di kasur tipisnya. Sambil mengucek matanya.
“Hujan lebet om. Solat di kamar aja ya,” kata Rudy, saat aku akan masuk ke kamar mandi.
“Oke, tetep jamaahan ya,” jawabku, dan melanjutkan langkah untuk mengambil air wudhu.
Meja kecil dan dua kursi yang ada di ruang depan bagian kamar sel, kami geser. Menempel di pintu. Agar aku dan Rudy bisa solat berjamaah. Seusai melaksanakan solat sunah qobla Subuh, diikuti membaca wirid, baru aku mengimami solat wajib.
Ketika tengah membaca qunut, mendadak suara petir menggelegar dengan kencangnya. Begitu dekat. Dan hanya beberapa detik kemudian terdengar suara penghuni Blok C berteriak-teriak. Ada kebakaran.
Selepas mengucap salam, Rudy langsung keluar kamar. Berlari ke pintu utama Blok B. Masih dengan memakai kain sarung dan kopiahnya. Sekitar 15 menit kemudian, ia telah kembali ke kamar.
Melihatku masih duduk di atas sajadah sambil membaca dzikir dilanjutkan doa, Rudy melipat kain sarung dan menaruhkan ke lemari pakaian bersama dengan kopiahnya. Tanpa mengeluarkan sepotong kata pun. Setelahnya, dengan langkah perlahan, ia memasak air. Menyiapkan minumanku; kopi pahit. Dan minumannya, teh manis.
Dino dan Basri bangun dari tempat tidurnya. Langsung keluar kamar. Ku dengar mereka meminta Rudy menyiapkan minuman hangat kopi manis dan dibawa ke tempat duduk yang ada di ruang masuk pintu utama Blok B. Tempat keduanya biasa nongkrong.
Sajadah ku lipat lagi dengan rapih, seusai solat dan berdzikir. Kembali aku duduk di kasurku. Melepas sarung dan menaruh kupluk. Ku pandangi foto keluargaku. Dalam bingkai apik yang ada di atas rak tempat barang-barang pribadiku.
Ku ambil bingkai foto keluargaku. Ku pandangi penuh kerinduan, sambil mengelap kacanya dengan tisu. Ucapan doa pun mengalir bersamaan dengan tatapanku. Ku teriakkan sejuta kerinduan untuk istri dan anak-anakku melalui detak jantungku. Walau aku menyadari, ada kalanya, kata-kata tidak mampu membingkai apa yang dirasakan, namun aku tetap meyakini jika Tuhan mendengarkan dan akan menyampaikan.
“Lagi kangen sama keluarga ya, om,” tiba-tiba Rudy membuyarkan kefokusanku, sambil ia membawa secangkir kopi pahit buatku.
“Selalu kangenlah, Rud. Kamu aja yang jarang ngelihat om ngelus-ngelus foto ini,” jawabku, dengan tersipu.
“Sebenernya, Rudy sering kok ngelihat om ngelusin foto keluarga sambil kayak ngebersihin debunya. Tapi Rudy kan nggak mau kepo. Nanti malah om ke-baper-an,” ujar Rudy, kali ini sambil tersenyum.
Aku hanya tersenyum, dan mengambil cangkir berisi kopi yang ditaruh Rudy di samping kasurku. Menyeruputnya. Sedikit. Karena masih panas. Kedul-kedul.
“Saran Rudy, jangan sering-sering om ungkapin rasa kangen dengan mandangi foto kayak gitu. Karena keluarga om pasti bakal ngerasain juga kangen berat sama om. Kan malah jadi beban,” kata Rudy, setelah kami berdiam beberapa saat.
“O gitu ya, Rud. Emang salah kalau kangen om bersahutan dengan yang keluarga rasain,” sahutku, dengan cepat.
“Ya nggak salah sih, om. Cuma kan, keluarga jadi kepikiran om terus. Mau nggak mau, pasti ganggu aktivitas mereka. Buat batin mereka juga nggak nyaman. Kepikiran om terus. Lha, kalau kita disini kan emang nganggur. Pengangguran yang terkurung,” jawab Rudy. Ada seulas senyum di sudut bibirnya.
Aku terdiam. Ada benarnya apa yang disampaikan Rudy. Seorang sahabat memang pernah menyampaikan, ketika kita meneriakkan sebuah kerinduan bagi orang-orang terkasih, alam akan menggerakkan angin untuk menyampaikan senandungnya kepada mereka. Dan mereka pun akan merasakan hadirnya alunan yang sama.
“O iya, Rud. Tadi apa yang kena samber petir? Kok rame bener suaranya,” kataku, kemudian.
“Bangunan bagian belakang kantin, om. Kan emang dibuat dari triplek. Untung sipir yang ada di pos jaga Blok C pegang kunci kamar, jadi bisa langsung buka beberapa kamar dan minta bantu kawan-kawan buat madaminnya,” jawab Rudy.
“Oh, kirain kebakaran besar, Rud. Kalau bangunan semi permanen itu sih nggak apa-apa juga kebakar. Emang nggak digunain juga selama ini kan,” ucapku.
“Siapa bilang nggak digunain, om? Itu tempat orang biasa main judi. Main kartu tapi pakai uang. Besar-besaran. Dan aman kalau main disana,” tanggap Rudy, dengan cepat.
“Ya baguslah kalau gitu, Rud. Berkurang sarana bagi orang yang pengen ngelakuin sesuatu yang nggak bener,” ujarku.
“Jangan komentar gitu juga kali, om. Yang bener, ucapin innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Atau subhanallah. Jangan malah nyukurin gitu,” kata Rudy, memandangku dengan serius.
“Lho, masak mensyukuri rusaknya sebuah sarana buat berjudi, kok nggak boleh to, Rud,” tanggapku, juga dengan menatapnya.
“Kalau nurut Rudy, sebuah musibah yang dialami satu tempat buruk sekali pun, nggak elok ditanggepi dengan nyukurin, om. Apalagi ini rutan. Yang isinya emang orang bermasalah semua,” ujar Rudy.
“Om kan mensyukuri, bukan nyukurin lo, Rud. Beda maksud dari dua kata itu. Kalau mensyukuri itu berterimakasih sama Yang Di Langit atas anugerah merusakkan tempat judi. Kalau nyukurin, konotasinya nggak bagus, negatif. Coba kamu pahami dengan cermat apa yang om omongin dari tadi,” kataku lagi.
“Ya sudah, nggak usah didebatin lagi ya, om. Intinya, kita punya pandangan berbeda soal ini. Sama-sama kita hormati aja perbedaan itu. Kan om yang ngajari, jangan pernah ngeberangus keyakinan seseorang, cuma karena kita beda penilaian dan pemahaman,” tutur Rudy, dan menyalamiku. Sepemahaman.
Hujan masih turun dengan derasnya dari langit. Namun, sorot mentari juga mulai tampak menerangi. Seakan alam tengah mempertunjukkan sebuah keniscayaannya. Mendung tidak selamanya diikuti hujan, dan hujan tak selalu menutup sinar mentari menjelajahi bumi. Dan alam memang mengajarkan, jika sebuah ketidakpastian adalah suatu kenyataan yang harus kita terima. (bersambung)