Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 330)

Sabtu, 26 November 2022


Oleh, Dalem Tehang    

 

SEORANG tamping kebersihan yang biasa memiliki kegiatan sampingan dengan menjual beragam sarapan, melewati kamarku. Buru-buru ku minta Rudy memanggilnya. Membeli nasi kuning dan nasi uduk untuk kami makan pagi.


Seusai sarapan dan mandi, aku keluar kamar. Berniat untuk tandang ke kamar Bos Besar Blok B. Kamar 25. Saat sampai di depan kamarnya, pria berusia 40 tahunan yang dikenal sebagai seorang bupati tersebut, akan keluar pintu.


“Mau kemana, bos?” tanyaku, sambil menyalaminya.


“Mau ke kantor rutan, bang. Mau koordinasi,” jawabnya, seraya tersenyum simpatik.  


“Oh gitu, oke lanjut kalau gitu, bos,” kataku, dengan cepat.


“Nggak apa-apa kalau abang mau ngobrol dulu. Kita duduk di gazebo aja,” sahutnya dan mengajakku duduk di gazebo kecil yang berada tepat di depan kamarnya. Yang memang ia membiayai pembuatannya.


“Nggak ada yang penting kok, bos. Cuma pengen bertandang aja,” ujarku, tidak ingin mengganggu keperluannya.


“Nggak apa-apalah, bang. Mumpung masih ada waktu buat kita ngobrol. Besok-besok kan belum tentu ada kesempatannya,” kata Bos, sambil tertawa kecil.


“Maksudnya apa ini, bos. Kok ngomongnya gitu,” tanggapku, dengan cepat.


Ia memintaku duduk di sebelahnya, di gazebo berlantai keramik berkelas tersebut. Dan setelahnya, memerintahkan OD kamarnya mengambilkan untuk kami minuman dari kamarnya.


“Jadi gini, bang. Aku berencana pindah ke lapas. Semua persyaratan sudah selesai, tinggal eksekusinya aja. Makanya tadi mau ke kantor rutan, koordinasiin kapan aku pindahnya,” jelas Bos, setelah berdiam beberapa saat.


“O gitu. Kenapa pindah, bos. Nggak nyaman ya disini?” tanyaku, dengan nada terkejut atas rencananya tersebut.


“Bukan itu alasannya. Lagian, mana ada di dunia ini yang namanya dalam penjara bisa nyaman sih, bang. Mau seenak-enaknya atas sebebas-bebasnya kita disini, ya tetep terkurung itulah posisi kita,” kata bos, seraya menatapku. Ada senyum kecut di bibirnya.


“Lha terus, apa yang bos cari dengan rencana pindah ke lapas?” tanyaku, penasaran.


“Kalau ditanya, apa yang aku cari, sebenernya nggak tahu juga sih apa yang aku cari. Malahan aku memulai kehidupan baru, dengan lingkungan dan orang-orang baru nantinya, bang. Dan pastinya, butuh waktu yang nggak pendek buat ngebangun situasi baik lagi. Tapi emang nggak ada pilihan, kecuali aku harus pindah darisini,” jelasnya.


“Jadi, alasan sebenernya apa, bos?” tanyaku lagi, semakin penasaran.


“Disini kan statusnya rutan, bang. Rumah tahanan. Bukan lembaga pemasyarakatan alias lapas. Setahuku, bagi tahanan yang sudah vonis dan berstatus napi dengan hukuman di atas empat tahun, emang mesti pindah ke lapas. Bukan disini lagi tempatnya. Karena aturan itulah, aku harus pindah,” urai Bos, dengan suara kalem.


“O gitu. Tapi setahuku, banyak lo bos yang sudah divonis di atas empat tahun masih disini. Mereka nyaman-nyaman aja. Kenapa bos nggak lakuin pendekatan ke petinggi rutan biar tetep bisa disini,” tanggapku. 


“Aku juga tahu soal itu, bang. Setiap orang kan punya pilihan. Buat mereka yang divonis tinggi dan tetep pengen disini, pasti punya pertimbangan. Walau, nggak ada yang gratis. Tetep ada harga yang harus dibayar. Itu pertama. Kedua, mungkin mereka nggak dikenal banyak orang, jadi pihak rutan juga nggak bakal disorot kalau ada napi di atas ketentuan masih ada disini. Kalau aku kan beda, bang. Banyak orang yang tahu dan kasusku dapet perhatian berbagai kalangan. Pimpinan di rutan pasti nggak mau ambil risiko dengan aku tetep disini. Jadi, biar semua enak dan tetep sesuai aturan, aku harus pindah. Itu aja kok sebenernya,” ujar Bos, seraya menjelaskan, ia segera akan diberhentikan sebagai bupati, karena kasusnya telah inkrach.


Aku hanya diam. Membayangkan betapa sulitnya Bos memulai hidup baru di lapas nantinya. Apalagi pada saat itu ia harus menanggalkan jabatan prestisiusnya sebagai seorang bupati. Beban psikologisnya pasti akan sangat berat.


“Tapi bos yakin bakal baik-baik ajakan di lapas nanti?” tanyaku, dengan menatap wajahnya yang tetap tenang.


“Yakinlah, bang. Toh, sarana kamar dan lain-lainnya pasti nggak jauh beda antara rutan sama lapas. Malahan di lapas, informasinya, banyak kegiatan untuk para napi berkreasi. Ngilangin jenuh dan bete. Abang nggak usah khawatir, seiring waktu, mentalku sudah lebih siap jalani semua ini,” tutur Bos, sambil menunjukkan senyumnya.


“Syukur kalau bos yakin gitu. Aku khawatir aja kalau di lapas nanti, bos malah kehilangan bahagia kayak selama disini,” tanggapku, juga dengan tersenyum.


“Inshaallah, nggaklah, bang. Bahagia itu kan nggak kemana-mana. Justru ada dimana-mana. Kebahagiaan bisa hadir di semua tempat, di semua rasa, di hati yang selalu mensyukuri. Itu keyakinanku,” ucap Bos, tetap dengan suara tenang.


“Alhamdulillah. Bangga aku sama bos ini. Tetep tenang ngadepi situasi apapun. Selama ini, aku banyak belajar dari bos,” kataku, dan mengacungkan jempol.


Seorang tamping regis datang ke gazebo. Memberitahuku bila ada istri dan anak-anakku di ruang kunjungan umum. 


Aku segera berpamitan dan Bos pun bergerak melanjutkan rencananya. Berkoordinasi dengan petinggi rutan mengenai jadwal pemindahannya. 


Setelah mengambil pakaian kotor yang telah tertata rapih di dalam kantong plastik di kamar dan berganti kaos bertanda WBP, aku menuju ke ruang besukan. 


Sambil berjalan untuk melapor ke pos penjagaan, tamping regis yang membawakan kantong plastik berisi pakaian kotorku, menjelaskan, bawaan istriku telah ia serahkan kepada Rudy. 


Memang, saat aku masuk ke kamar untuk mengambil pakaian kotor dan berganti kaos, sempat melihat ada tiga kantong plastik berisi penuh di dekat rak tempat tidurku. Namun aku tidak bertemu Rudy. Napi muda usia itu tengah bertandang kesana-kemari. Mengusir kejenuhan.


Begitu memasuki ruangan untuk kunjungan umum, mataku langsung melihat istriku bersama anak-anak yang duduk pada bagian sudut. Sambil bersandar di tembok, istriku melambaikan tangannya. Bergegas aku melewati puluhan tahanan yang sedang bercengkrama dengan anggota keluarganya.


Anak bungsuku, Halilintar, langsung berdiri saat melihatku berjalan mendekat. Mencium tanganku, dan memeluk badanku dengan erat. Ku cium kening dan kepalanya. Mengusap-usap punggungnya. Menebar ketenangan dan ketegaran.


Bulan si nduk, juga langsung memeluk dengan kencangnya. Menyelusupkan kepalanya di dadaku. Kedua tangannya melingkar kuat di badanku. Menumpahkan sejuta kerinduan seorang anak perempuan kepada ayahnya, laki-laki pertama yang dicintainya.


Barulah istriku berdiri. Segera ku cium dan peluk ia. Penuh kehangatan kasih sayang. Ia pun mencium pipiku. Dan mengajakku duduk di sebelahnya. Bulan membuka makanan. Nasi bungkus berlauk lele bakar sambal. Dilengkapi dengan telur dadar. Tebal. 


“Bunda nggak makan. Minta suap ayah aja,” kata istriku, ketika kami mulai membuka nasi bungkus.


Sambil menikmati makanan, kami terus berbincang. Ringan. Penuh keceriaan dan canda tawa. Istriku Laksmi tampak begitu menikmati suapanku. Hingga dalam waktu singkat, nasi bungkus yang ada di depanku, telah habis. Apalagi, sesekali Bulan dan Halilintar juga minta aku suap.


“Kalau ayah mau nambah, ini masih ada satu bungkus lagi,” kata Bulan.


“Bunda masih mau disuap lagi kan. Kalau masih mau, ayah juga mau nambah makan,” jawabku.


Istriku menganggukkan kepalanya, sambil tersenyum. Dan memelukku. Penuh kerinduan. Nasi bungkus yang kedua pun menjadi santapanku beserta istri.


Kebersamaan berbalut kebahagiaan tetap menjadi milik kami. Tetap bisa kami nikmati, walau dalam keterbatasan waktu pertemuan. Dan memang, kita akan sampai pada titik dimana keikhlasan menerima kenyataan adalah sebuah kenikmatan yang melumuri batin terdalam. (bersambung)

LIPSUS