Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 331)

Minggu, 27 November 2022


Oleh, Dalem Tehang


SUARA adzan Dhuhur yang mengalun merdu dari masjid rutan adalah pertanda bila waktu kunjungan telah usai. Istri dan anak-anak langsung memeluk erat tubuhku. Menyadari benar betapa perpisahan raga tetap melahirkan sisi kehilangan mereka.


“Tetep podo sabar lan ikhlas yo. Tulisan takdir sudah tertata rapih. Kuatin doa aja, biar kita tetep bisa istiqomah jalani ujian ini,” kataku, seraya merangkul istri dan anak-anak dalam dekap penuh kehangatan berbalut kesedihan.


“Mbak minta, ayah tetep jaga kesehatan ya. Nggak boleh sakit-sakit,” ujar Bulan, menatapku dengan serius. 


Aku tersenyum, sambil menganggukkan kepala. Ku elus rambut anak gadisku satu-satunya ini. Penuh dengan sentuhan kasih sayang. 


“Apa pesen adek buat ayah?” tanyaku kepada si bungsu, Halilintar.


“Sering-sering ayah kasih kabar. Adek kan tetep perlu ayah. Buat diskusi atau sharing. Biar adek tetep teteg dan mantep jalani tugas adek di sekolah maupun ketua OSIS,” kata Halilintar, dengan suara tegas.


“Oke, ayah akan usahain rutin say hallo sama adek, mbak, dan bunda. Yang adek perlu yakini, doa dan kebanggaan ayah selalu dampingi dimanapun adek berada,” jawabku, dan menepuk-nepuk pipinya. 


Ku tatap istriku, Laksmi. Wajahnya penuh keceriaan. Seulas senyum manis tersungging di bibir indahnya. Ku cium pipinya penuh rasa cinta.


“Ayah itu kuat, jangan lemahin jiwa dan pikiran karena situasi dan kondisi. Tetep tegar dan tegak. Nggak ada ujian apapun yang lebihi kekuatan kita ngadepinnya,” tutur istriku, pelan namun penuh ketegasan.


Kembali ke rengkuh istriku dalam dekap hangat penuh kasih sayang. Ku taruhkan kepalanya di dadaku. Agar ia mendengar suara jantungku. Yang terus bersenandung dalam alunan cinta kasih dan ketegaran.


Ketika di ruangan kunjungan tinggal kami berempat, seorang tamping mendekat. Mengingatkan. Kami pun bergegas, berdiri dan berjalan menuju pintu keluar untuk kemudian antri di depan pintu P-2-O.


Tetap aku temani istri dan anak-anakku. Tetap ku peluk mereka dalam lingkar tangan yang menguatkan kehangatan. Meski sesaat lagi kami akan berpisah, namun hatiku terasa nyaman. Karena istriku Laksmi dan anakku Bulan maupun Halilintar menunjukkan wajah penuh keceriaan. 


Saat itulah aku menyadari, betapa rentang waktu akan membuat sesuatu yang semula dirasakan demikian berat, menjadi ringan dan kemudian biasa-biasa saja. Meski tetap ada sisi yang kosong dalam kenyataan yang harus diterima.


Pintu P-2-O dibuka oleh seorang sipir. Istriku dan anak-anak mendapat giliran untuk antri masuk ruang pemeriksaan akhir sebelum keluar pintu utama rutan.


Sipir itu memberi isyarat kepadaku, untuk masuk ruang P-2-O jika ingin mengantar istri dan anak-anak sampai pintu utama keluar rutan. Namun istriku menggelengkan kepalanya. Memberi isyarat agar aku cukup mengantar sampai di depan pintu saja, seperti penghuni rutan yang lain.


“Terimakasih, pak. Nganter sampai sini aja,” kataku kepada sipir tersebut.   


Sipir berbadan tinggi besar dengan kumis melintang bak seorang pendekar itu, tersenyum mendengar jawabanku. Juga sempat mengacungkan jempol tangannya ke arahku. 


Sepeninggal istri dan anak-anak, aku kembali ke kamar. Tentu setelah melapor ke pos penjagaan, baik luar maupun dalam, serta menjalankan tradisi memberi “uang sepemahaman”. 


Tidak besar memang, hanya antara Rp 5.000 hingga Rp 10.000. Namun bila dikalkulasikan perhari ada 50 sampai 75 penghuni rutan yang menerima kunjungan selama lima hari dalam satu pekan, cukup banyak putaran uangnya. Itu baru dari satu pola “sepemahaman” pasca menerima kunjungan keluarga.


Melihat aku masuk kamar, Rudy yang baru kembali dari solat berjamaah di masjid, langsung memintaku menyerahkan tiga kantong plastik berisi berbagai barang bawaan istriku. Ada seprai, sarung bantal dan guling, selimut, beberapa potong celana dan kaos, serta makanan. 


Seusai solat Dhuhur di kamar, aku merebahkan badan. Tidur. Hingga waktu Ashar tiba. Bersama Rudy, aku ke masjid. Setelah solat berjamaah, aku mampir koperasi yang menyatu dengan kantin rutan. Untuk membeli buku tulis, juga pulpen. Karena buku yang ada telah penuh dengan catatan harian.


Ketika keluar ruangan koperasi, bertemu pak Hadi yang sedang makan bakso di kantin. Duduk sendirian, pria low profile itu tampak begitu menikmati makanan ringan tersebut.


“Sini, pak. Makan bakso dulu,” kata pak Hadi, sambil memintaku duduk di kursi depan tempat ia berada.


Menghormati hubungan baik selama ini, dan ia sebagai senior di rutan, aku pun mengikuti permintaannya. Setelah duduk di kursi yang ditunjuknya, ia memesan satu porsi bakso dengan mie kuning kesukaanku.


Sambil menikmati kehangatan bakso, kami pun berbincang kesana-kemari. Pak Hadi bercerita mengenai keluarganya. Istrinya seorang ASN yang bertugas di sebuah lembaga pendidikan negeri, sedang ketiga anaknya semua laki-laki. 


“Jadi, istriku itu paling cantik sedunia, pak. Karena dikelilingi ketiga anak laki-laki. Dan syukur betul aku selama ini, istriku mendidik anak-anak dengan baik. Kemantepan mental yang dia utamain,” kata pak Hadi, seraya tersenyum. Membayangkan kebersamaan dengan belahan jiwanya.


“Alhamdulillah. Kita diberi istri dan anak-anak yang tangguh ya, pak. Aku juga sangat bersyukur, istriku terus bisa berperan maksimal buat anak-anak. Hingga anak-anak nggak down dengan kenyataan yang mereka alami sekarang ini,” sahutku.


“Yang kita harus yakini, anak-anak yang sudah terbiasa dengan kesulitan, akan memiliki kedewasaan lebih baik daripada anak-anak yang biasa dimanjakan oleh kemudahan, pak. Kita emang wajib terus bersyukur, karena apapun ceritanya, dengan masalah kita ini, anak-anak menjadi tertempa. Dan tempaan alam itu lebih membuat mereka tegar dan tangguh,” ujar pak Hadi lagi.


“Selama ini sepertinya keluarga jarang berkunjung kesini ya, pak?” tanyaku, setelah kami berdiam sesaat. 


“Aku memang nggak bolehin mereka sering-sering dateng, pak,” jawab pak Hadi, dengan enteng.


“Kenapa gitu, pak. Bukannya justru sering ketemu itu makin nguatin mereka?” tanyaku lagi.


“Itu emang bener sih, pak. Cuma, nggak  semua orang merasakan hal yang sama. Ada yang malahan bisa buat mereka yang sudah tegar, jadi terkikis ketegarannya. Apapun juga, terpisahnya raga kita sama keluarga, pasti berpengaruh buat istri dan anak-anak. Sekecil apapun itu,” tutur pak Hadi, panjang lebar.


Aku mengangguk-anggukkan kepala. Mencoba memahami betapa beragamnya karakter penghuni rutan. Banyak yang menginginkan hadirnya hari kunjungan bagi keluarganya dan disanalah bak hari Lebaran itu, namun tidak sedikit yang memilih membatasi kunjungan keluarganya. Yang tentu, masing-masing memiliki alasan sendiri. (bersambung)

LIPSUS