-->
Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 332)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Senin, 28 November 2022


Oleh, Dalem Tehang


KALAU pak Mario sepertinya rutin ya dikunjungi keluarga, utamanya istri,” ucap pak Hadi, kemudian.


“Alhamdulillah, pak. Yang rutin memang hari Sabtu. Biasanya lengkap, istri dan anak-anak. Bahkan kadang, adek-adek juga. Tapi memang, hari Selasa atau Rabu, biasanya istri dateng sendiri. Menyelahkan waktu dari kesibukan kantornya,” jawabku.


“Dan kelihatannya, pak Mario begitu bahagia dengan kehadiran keluarga secara rutin itu ya,” lanjut pak Hadi. Menatapku dengan tajam.


“Pastinya bahagialah, pak. Alhamdulillah. Kedatangan mereka sangat berarti buatku. Utamanya ngejaga ketenangan dan ketegaran jiwa ini. Selain terus ngebangun keyakinan, aku masih punya kewajiban yang tertunda buat orang-orang terkasih,” ujarku, panjang lebar.


“Alhamdulillah, yang penting tetep disyukuri semuanya ya, pak. Dan memang, konsisten serta komitmen adalah dua hal yang selalu dilakukan seorang pemenang. Kita berada disini karena kalah dalam menaklukkan kehidupan dengan cara-cara yang baik, tapi jangan tergerus semangat dan keyakinan kalau kita adalah pemenang,” tanggap pak Hadi, ada nada semangat membara dalam ucapannya.


“Inshaallah, pak. Sabar dan ikhlas aja. Nggak mungkin sebuah ujian nggak ada akhirnya,” kataku, menimpali.      


“Sabar dan ikhlas itu dua kata yang amat sederhana, pak. Tapi, kita sama-sama tahu, begitu berat wujudinnya. Cuma emang, buat kita saat ini, nggak ada pilihan kecuali maksa diri sekuat-kuatnya buat sabar dan ikhlas itulah. Yang penting, kita tetep jaga nilai diri di dalam sini,” ucap pak Hadi, dengan serius.


“Maksudnya tetep jaga nilai diri itu gimana, pak?” tanyaku.


“Pak Mario lihat ya. Uang ini aku jatuhin ke lantai kantin, terus ada yang nginjak-injaknya, sampai kotor dan lusuh. Orang-orang yang ngelihatnya, tetep akan tertarik buat ngambil, karena uang ini nggak kehilangan nilai. Gitu juga kita, walau pun saat ini jatuh, kita tetep bernilai. Caranya, jangan sia-siain waktu dengan terus meratapi kenyataan dan pesimis, apalagi berprasangka buruk pada takdir Tuhan,” jelas pak Hadi.      


Aku hanya terdiam. Pak Hadi memang memiliki pengetahuan dan pengalaman kehidupan yang mumpuni. Dilengkapi dengan pembawaan yang selalu tenang, penuh senyum, dan ramah, membuatnya menjadi sosok yang disegani. Bukan hanya oleh sesama penghuni rutan tetapi juga para sipir dan pegawai.


“Gimana caranya bisa tetep tenang seperti yang pak Hadi tunjukkan selama ini. Aku pengen bener bisa kayak gitu,” kataku, setelah berdiam beberapa saat.


Pak Hadi hanya tersenyum. Disusul dengan tertawa kecil. Tangan kanannya bergerak. Mengelus-elus dadanya. Tetap dengan tersenyum.


“Maksudnya apa itu, pak?” tanyaku, yang tidak paham dengan makna gerakannya.


“Lapangin hati kita aja, pak. Jangan ngegerundel. Apalagi kesel-kesel. Pak Mario perlu tahu, sebenernya nggak ada manusia di dunia ini yang baik-baik aja, semua lagi berjuang dengan ujiannya masing-masing.  Jadi, jangan pernah ngerasa kalau kita aja yang susah, yang sakit, dan sebagainya itu. Gunain mata dengan bijak, lihat ke atas buat berharap, lihat ke bawah untuk bersyukur, dan lihat sekeliling untuk berhati-hati,” urai pak Hadi, tetap dengan tersenyum.  


“Tapi nggak gampang buat selalu bisa nrimo, pak,” ucapku menyela.


“Emang nggak gampang, tapi bukan nggak mungkin buat dilakuin, pak. Kalau kata filosof Jalaluddin Rumi, lakuin aja perbuatan baik dan buang ke sungai, suatu hari itu akan kembali kepada kita di padang pasir,” kata pak Hadi lagi.


“Maksudnya gimana sih, pak?” tanyaku.


“Dalam situasi apapun, terus aja berbuat kebaikan. Nggak usah dipikirin dapet balesannya. Karena kebaikan sekecil apapun, pasti akan berbales. Entah siapa atau dimana kita akan ketemu balesannya, takdir yang nentuinnya. Dan berbuat baik itu hanya bisa dilakuin oleh orang yang sudah nrimo dengan kenyataan,” tanggap pak Hadi. 


“Jadi, kalau masih labil, jangan dulu mikirin berbuat kebaikan ya, pak,” kataku.


“Sebaiknya sih gitu. Sebab, kalau kita masih perang dengan diri sendiri, gimana bisa ikhlas berbuat kebaikan untuk orang lain. Kan gitu logikanya, pak. Jadi, ya damaiin dulu diri kita ini. Selesaiin perang antara jiwa dan pikiran kita dulu. Kalau itu sudah, kan enak juga kita mau lakuin apa aja, termasuk menebar kebaikan buat sesama,” sambung pak Hadi, kembali ada senyum penuh simpatik yang ia tunjukkan.


Waktu terus bergulir. Senja telah akan berlalu dengan tampakan keindahannya. Aku pun berpamitan kepada pak Hadi.


“Terimakasih atas pencerahannya, pak. Seneng hati dan nambah isi pikiranku kalau ngobrol dengan pak Hadi. Juga terimakasih atas traktiran baksonya,” kataku, sambil menyalami pak Hadi.


“Sama-sama, pak. Aku juga seneng kenal pak Mario. Aku inget pesen ibuku dulu: kalau kamu punya hati yang qonaah, yang ridho dan ngerasa cukup sama pemberian Allah, maka kamu adalah orang kaya. Jadi, kita ini sebenernya orang kaya, pak. Sepanjang hati tetep terjaga qonaahnya. Nggak usah pusingin urusan dunia, apalagi sekadar hidup di penjara,” ujar pak Hadi, dengan tersenyum.


Sesampai di kamar, aku langsung mandi dan berganti pakaian. Memakai kaos baru pembelian istriku saat ia dinas ke luar kota beberapa hari lalu. 


“Wuih, keren kaosnya, om. Mau juga nanti nerima lungsurannya,” kata Rudy, ketika melihatku memakai kaos berwarna biru bergaris putih tersebut.


“Ya nanti, kalau sudah jelek, om kasih ke kamu,” sahutku, sambil tertawa.


“Yah, nunggu jeleknya itu yang lama, om. Jangan-jangan sampai Rudy bebas, belum jelek ini kaos,” ujarnya, menyela. Juga sambil tertawa.


Ketika aku sedang berbincang dengan Rudy di kamar, datang pegawai penanggungjawab Blok B. Ia ingin mengajakku bicara empat mata. Kami pun memilih duduk di taman depan kamar. 


“Jadi gini, om. Terpaksa bener aku nyampeinnya. Tapi, memang harus aku sampein ke om,” kata pegawai berusia 38 tahunan itu. Suaranya bergetar. Dan wajahnya serius.


“Ada apa, pak. Sampaikan saja,” jawabku, dengan santai.


“Tadi aku dipanggil kepala rutan. Dia habis dipanggil ke Kanwil Kemenkumham. Om inget waktu razia beberapa waktu lalu yang dipimpin pejabat kanwil?” lanjut dia.


“Iya, inget, pak. Pejabat itu sempet ngobrol sama di kamar. Memangnya ada masalah apa,” tanggapku.


“Intinya gini. Karena om masih menjalani sidang atau belum vonis, om jadi sorotan tinggal di kamar forman ini. Jadi, om harus pindah dari kamar yang sekarang,” ucap pegawai penanggungjawab Blok B itu sambil menatapku. Wajahnya tegang.


“O gitu, pak. Tapi kan aku nggak gratis masuk kamar ini. Cukup besar lo istri kasih dananya. Masak mau dipindah gitu aja. Kesepakatannya, sampai aku selesai sidang di kamar ini. Biar lebih tenang,” kataku, juga menatap pegawai itu.


“Ya itu masalahnya, om. Kepala rutan juga bingung. Tapi ini perintah atasan, om. Pejabat kanwil kasih perhatian khusus dalam hal ini,” katanya lagi.


“Jadi, masalahnya cuma karena aku masih sidang aja ya, hingga dianggep belum layak tinggal di kamar forman, kamar terbuka, pak?” tanyaku.


“Iya, cuma itu, om. Nggak ada masalah lain. Aku bicara apa adanya sama om ini. Kalau nggak percaya, ayo sama-sama kita ngadep kepala rutan,” lanjut pegawai itu. Suaranya masih terus bergetar.


Suara adzan Maghrib terdengar dari masjid. Pegawai penanggungjawab Blok B itu tampak ingin segera mendapatkan kesepakatan denganku. Namun aku berpikiran lain. Bersujud kepada Sang Khaliq lebih utama dibandingkan urusan ini. 


“Besok kita lanjutin obrolannya ya, pak. Baiknya memang kita ngadep kepala rutan dulu. Biar plong semuanya,” kataku, dan berdiri dari kursi taman.


“Oke, kalau gitu, om. Besok kita sama-sama ngadep kepala rutan,” jawab pegawai itu, dan kami pun bersalaman. (bersambung)

LIPSUS