Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 333)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Selasa, 29 November 2022


Oleh, Dalem Tehang


SETELAH mengambil sarung dan kupluk, aku berjalan bersama Rudy menuju masjid. Tidak ada sepatah kata pun yang ku sampaikan selama menyelusuri selasar menuju masjid. Saat itu, pikiran dan hatiku  mendadak galau. 


Aku memahami, jika pihak Kanwil Kemenkumham yang turun tangan, mengamankan posisi dan diri sendiri pastilah menjadi pilihan utama petinggi di rutan. Dan aku akan dikorbankan, karena hanya seorang tahanan. 


Seusai solat berjamaah, aku mengajak Rudy untuk segera kembali ke kamar. Tapi ia menolak. Masih ingin mendengarkan tausiyah ustadz Umar. Akhirnya, aku berjalan sendirian. Sesampai di kamar, membuka Alqur’an. Mengaji.  


Konsentrasiku dalam membaca kitab suci terpecah berkali-kali. Pembicaraan pegawai penanggungjawab Blok B beberapa waktu lalu, terus terngiang. Aku harus segera pindah kamar. Sesuatu yang selama ini sedikit pun tidak pernah terbersit di dalam pikiranku. Bahkan, membayangkannya juga tidak pernah. 


Rudy yang telah kembali dari masjid, mengajakku makan malam. Ku minta ia makan duluan. Saat apel malam, aku hanya berdiri di lantai tempat tidur, tidak mendekat ke jeruji besi seperti biasanya.


Yang penting tetap terlihat sosokku oleh sipir yang tengah bertugas melakukan apel. Dan tamping yang mendampingi bisa mencatat kelengkapan personil di kamarku. 


Ketika adzan Isya menggema, Rudy siap untuk menuju masjid. Ia berdiri di pintu, menungguku. Tanpa bicara apapun, aku langsung solat di lantai tempat tidur. Rudy sempat masuk ke ruang dalam dan saat melihatku telah solat, ia langsung bergerak. Tetap ke masjid untuk solat berjamaah. 


“Rud, bantu angkat rak ya,” kataku, saat Rudy telah kembali dari masjid. Tanpa banyak bicara, ia melakukan permintaanku.


Dan sesaat kemudian, telepon seluler telah aku aktifkan. Ku hubungi istriku melalui video call. Ku sampaikan apa yang dikatakan pegawai penanggungjawab blok sebagai perpanjangan tangan kepala rutan.


“Kok gitu ya, ayah. Dulu perjanjiannya sampai ayah selesai sidang. Lha ini baru beberapa kali sidang, masak harus pindah,” ujar istriku.


“Katanya, karena ayah masih sidang, belum berstatus napi, jadi belum boleh tempati kamar forman. Kamar kepala blok. Cuma itu alasannya,” sahutku.


“Ya sudah, mana baiknya aja nurut ayah. Yang penting ayah tetep sehat dan tenang. Nanti bunda telepon pegawai yang dulu buat perjanjian itu, biar dia juga ikut tanggungjawab sama perkembangan ini,” kata istriku lagi.


Perbincangan kami lanjutkan dengan beragam cerita keluarga. Termasuk anak-anak, yang saat itu tengah keluar rumah. Menikmati malam mingguan dengan kawan-kawannya. Setelah hampir pukul 23.00, kami pun mengakhiri obrolan. Bulan dan Halilintar juga sudah sampai rumah, dan sempat bersapaan denganku. 


Setelah mengembalikan telepon seluler ke balik rak, Rudy menanyakan permasalahan yang sedang aku hadapi. Dengan singkat, ku ceritakan apa yang disampaikan pegawai penanggungjawab blok petang tadi.


“Jadi om mau pindah ya?” tanya Rudy.


“Bukan mau om ini, Rud. Tapi katanya, karena ada ketentuan, cuma napi yang boleh di kamar forman. Om kan belum jadi napi, masih tahanan,” ucapku, sambil tersenyum.


“Oh gitu, Rudy baru denger ini kalau ada aturan kayak gitu, om. Kenapa nggak dari awal aja disampein ada aturan kayak gitu ya. Jadi nggak ngerepotin om juga,” tanggap Rudy, dengan wajah serius.


“Semua pasti ada hikmahnya, Rud. Om nggak mau debatin soal ini. Om ikuti aja apa yang dibilang ketentuan itu. Terlepas bener nggak ada ketentuan kayak gitu,” sahutku, tersenyum kecut. 


Tamping waserda memasuki Blok B, menjajakan dagangannya. Aku meminta Rudy membeli pecel lele. Karena sudah makan malam terlebih dulu, ia hanya minta dibelikan minuman bandrek. Sambil menikmati makan malam menjelang dinihari, kami terus berbincang.  


Hampir pukul 02.00, kami baru merebahkan badan di kasur masing-masing. Mataku masih sulit diajak untuk tidur, seakan menemani pikiran dan jiwaku yang tengah disesaki beragam perdialogan bertema harus pindah kamar.


Dalam perdialogan yang tidak tahu ujungnya itu, aku teringat selembar surat yang diberikan Halilintar untukku, beberapa hari lalu. Ku buka buku harian, dan ketemu surat tulisan tangan anak bungsuku tersebut. Ku baca perlahan.


“Akan ada fase, dimana ayah bertemu lelah dengan semua yang ada sekarang ini. Saat itu, ayah akan memilih mengalah dan tak minta siapapun untuk mahami keadaan ayah. Membiarkan kehidupan berjalan dengan sendirinya, tanpa banyak bicara apalagi kata. Hanya ekspresi wajah yang buat setiap orang melihat ayah, akan berpikir bahwa ayah bahagia dan baik-baik saja. Sampai akhirnya, ayah akan paham, itulah cara Allah untuk ningkatin ketegaran ayah, jika hidup hanyalah tentang hati yang ikhlas,” tulis Halilintar dalam suratnya.


Tergetar hatiku saat membaca bait demi bait surat cah ragilku tersebut. Sampai ku ulang beberapa kali membaca dan menelaahnya. Begitu dalam makna yang tersimpan dibalik rangkaian kata sederhananya. 


Seakan ia mengerti, akan terjadi pergolakan tersendiri dalam kehidupanku di dalam rutan ini. Dan karena kemengertiannya itu, ia telah menyiapkan penyemangat dan penyadardirian untukku. 


“Matur suwun yo, le,” desahku pelan, sambil menempelkan selembar surat dari Halilintar ke dadaku. Tanpa terasa, butiran air bercucuran dari kedua mataku. 


Cukup lama, jiwa dan pikiranku terbawa dalam suasana haru. Selama itu pula, air mata terus berguliran di kedua pipiku. 


Dan saat ku pejamkan kedua mata, terbayang wajah istriku Laksmi dan kedua anakku: Bulan dan Halilintar. Mereka menatapku dengan senyuman, namun sorot matanya menyiratkan sinar kesedihan. 


Mendadak terngiang kembali perkataan istriku: “Ayah boleh ngerasa lelah, tapi nggak boleh nyerah. Boleh ngerasa kecewa tapi nggak boleh putus asa. Inget, nggak ada orang hebat dengan masa lalu yang mudah!” 


Sontak, jiwa dan pikiranku menggeliat. Kepingan-kepingan semangat kembali merapat. Menguat. Aku pun bangkit dan berwudhu. Ingin menyatukan semuanya kepada Sang Pengeran. Allah Azza Wa Jalla. 


Ketika aku keluar kamar mandi, ternyata Rudy telah berdiri dari tempat tidurnya. Juga akan berwudhu. Mengisi sepertiga malam untuk bisa bercengkrama dengan Sang Penguasa.


“Kita sama-sama tahajud ya, om. Kata Syech Mutawalli Asy-Sya’rawi; Jangan sedih kalau kamu dilanda banyak masalah dan dunia yang begini luas terasa sempit. Terkadang itu karena cinta Allah untuk dengerin suaramu, dan kamu memanggil-manggil-Nya dalam doamu. Kalau nurut Syekh Abdul Qodir Jailani: Terkadang yang membuat kamu gelisah bukanlah musibah yang menguji, tetapi bahasa rindu Allah yang gagal kamu pahami,” kata Rudy, seraya tersenyum.


“Terimakasih ya, Rud. Kamu terus mau menebarkan pengetahuan untuk om. Makin nguatin buat jiwa ini,” sahutku, dan menepuk bahunya. 


Semakin aku memahami, ternyata, kita semua pada hakikatnya adalah seorang murid juga guru. Ada kalanya kita mendapat pengetahuan, ada saatnya menyampaikan ilmu dan pengalaman. (bersambung)

LIPSUS