Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 334)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Rabu, 30 November 2022


Oleh, Dalem Tehang


KALAU Rudy boleh tahu, setiap habis solat tahajud, apa yang om baca?” tanya Rudy, dengan menatapku, serius.


“Istighfar sama Alhamdulillah, Rud,” jawabku, pendek.


“Cuma itu, om,” katanya, menyela.


“Iya cuma itu. Emang kenapa, Rud,” ujarku.


“Ya nggak apa-apa sih, om. Malah Rudy yang mau tanya, kenapa cuma istighfar sama Alhamdulillah aja yang om baca dan jadi wiridnya,” katanya lanjut. 


“Nurut om, itu yang simpel, Rud. Mohon pengampunan dan sampeiin rasa syukur. Om nggak tahu bacaan-bacaan lain. Walau mungkin tahu ada satu dua bacaan lain, tapi nggak hafal. Baikan, ya baca yang sudah hafal aja,” ucapku, panjang lebar.


Selepas melaksanakan solat tahajud, witir, dan membaca wirid, aku terus duduk di atas sajadah. Diam dan merenung. Aku meyakini, dengan diam akan bisa mengerti, dengan merenung akan bisa memahami.


Suara adzan Subuh yang mengalun syahdu, seakan membawa kesenduan tersendiri bagi jiwaku. Setelah mengambil air wudhu, ku bangunkan Rudy. Untuk bersama menuju masjid.


Hanya belasan orang yang mengikuti solat berjamaah. Seakan, hari Minggu menjadi waktu istirahat bagi sebagian orang untuk tetap mengikuti solat bersama di masjid.


Selepas mengimami solat Subuh berjamaah, ustad Umar menyampaikan kultumnya. Ia memulai tausiyahnya dengan mengajak jamaah untuk bermuhasabah.


“Kenapa kita diberi kesulitan? Karena Allah ingin memberi kita kemudahan di masa depan. Kenapa kita diberi kesedihan? Karena Allah ingin memberi kita kesenangan di akherat nanti. Kenapa kita diberi musibah dan ujian? Karena Allah ingin agar kita lebih dekat kepada-Nya. Kalau semua yang kita rasakan demikian berat itu sesungguhnya ada nikmat di baliknya, lalu kenapa kita masih menjaga jarak dengan Allah? Mari sama-sama kita manfaatkan waktu yang masih ada ini untuk menyatu dengan Dzat Yang Maha Kuasa,” tutur ustadz Umar, dengan suaranya yang menggelegar. 


Dikatakan, waktu memang tidak akan memberi kesempatan untuk kita mengulangi apa yang telah dilewati. Namun, waktu akan memberi kesempatan untuk kita melakukan perubahan. 


“Mari kita melakukan perubahan, dengan bersikap sibuk, sehingga tak ada waktu untuk bersedih. Juga bersikap bodo amat untuk hal-hal yang tidak bisa membuat kita kuat, agar hati tidak mudah patah, agar perasaan tidak mudah kecewa. Dan, berhentilah mencari tahu, karena hidup akan lebih tenang bila kita tidak mencari tahu hal-hal yang tidak perlu kita tahu,” lanjutnya.


Pada bagian lain kultumnya, ustadz Umar mengajak jamaah untuk merenungi sebuah kenyataan yang berbanding terbalik dengan apa yang ada di dalam tubuh kita.


“Di dalam tubuh kita, ada banyak air. Tapi kenapa jika terluka, darah yang keluar. Dan di dalam hati kita, ada banyak darah. Tapi kenapa jika terluka, air mata yang keluar. Tidak ada kata lain yang bisa kita ucapkan kecuali: sungguh hebat ciptaan Engkau ya Rabb,” ujarnya, seraya tersenyum.   


Mengakhiri kultumnya, ustadz Umar menyampaikan nasihat dari ulama besar, Syekh Abdul Qadir A-Jailani. Yaitu, belajarlah diam agar suaramu lebih terdengar, belajarlah sabar agar tindakanmu lebih benar, maafkanlah kesalahan orang lain, tutup aibnya dan lupakanlah.


“Tujuan kita hidup untuk berbadah dan mengingat Tuhan. Mungkin luka itu masih ada, namun hidup akan lebih ringan jika kita tulus memaafkan. Orang baik adalah orang yang bisa menahan amarahnya, maka pilihlah ucapan yang baik untuk disampaikan. Mari sama-sama kita ikuti nasihat ini, agar hidup kita menjadi lebih baik lagi,” ucap ustadz Umar dan mengakhiri tausiyahnya.  


Setelah kembali ke kamar, aku bersiap untuk jogging. Mengelilingi lapangan sepakbola yang ada di dalam kompleks rutan. Dan seperti biasanya, setiap hari Minggu hanya penghuni kamar tertentu saja yang bebas berolahraga di luar kawasan bloknya. Selebihnya hanya berputaran di dalam blok masing-masing. Itu pun hanya untuk penghuni yang mendapatkan dispensasi selnya menjadi kamar terbuka. Yang tentu saja ada harga yang harus dibayar. Kecuali kamar forman atau kamar kepala blok.


Saat tengah melepas lelah sambil bersandar pada tiang selasar dengan meminum air mineral, aku melihat komandan pengamanan rutan yang membantuku sejak awal, masuk ke pos penjagaan dalam. Dengan gerakan cepat, aku menuju ke pos tersebut. Dan langsung masuk. 


“Selamat pagi, pak Mario. Seger terus badannya ya. Dari tadi aku lihat, enjoy bener olahraganya,” kata komandan, ketika melihatku masuk pos penjagaan dalam. 


“Alhamdulillah, dan. Ngejaga kondisi badan tetep aku prioritasin, sesuai pesen komandan,” sahutku, dan menyalaminya.


“Pak Mario belum ngopi kan. Tolong buatin kopi, dua gelas,” kata komandan, dan memerintahkan tamping untuk membuatkan kami minuman kopi hangat.


Setelah berbincang kesana-kemari, dan minuman kopi yang masih kedul-kedul telah ada di meja depan tempat kami duduk, baru aku menyampaikan perkataan pegawai penanggungjawab Blok B tentang keharusan aku pindah kamar karena statusku masih tahanan.


“O gitu. Memangnya ada ketentuan semacam itu ya, pak. Kok baru denger sekarang. Sudah lebih dari 20 tahun aku bertugas di rutan dan lapas, baru tahu ini ada ketentuan seperti itu,” ucap komandan, sambil mengernyitkan dahinya.


“Bisa jadi, itu ketentuan baru, dan. Komandan kan konsen dalam hal pengawasan dan pengamanan. Bukan urusan administrasi yang isinya termasuk adanya ketentuan beginian. Kayaknya, nggak mungkin juga pejabat kanwil sampai bicara serius soal statusku ke kepala rutan, kalau nggak ada dasarnya,” tanggapku, panjang lebar.


“Iya, bener juga sih, pak. Selama ini aku nggak pernah ngurusi soal administrasi perkantoran, baik di rutan maupun lapas. Tugasnya, ya hanya pengamanan inilah. Tapi masak iya, ada ketentuan seperti itu. Remeh temeh amat kalau memang bener ada,” ujar komandan, masih sesekali tampak dahinya berkerenyit. Menandakan ia tengah memikirkan sesuatu yang jauh dari jangkauan pengetahuannya selama ini. 


“Terus apa sikap pak Mario?” tanya komandan, setelah kami sama-sama diam selama beberapa saat.


“Aku kan tahanan, dan. Taat dan patuh aja sama apa kata pimpinan rutan. Walau, tetep akan tanya kejelasan ketentuan itu. Dan pasti minta pimpinan juga menindak anak buahnya yang janjikan aku di kamar forman sampai selesai sidang,” jawabku, dengan tegas.


Mendengar jawabanku, komandan pengamanan rutan itu tertawa. Ia pandangi aku dengan tatapan serius. Namun tetap menunjukkan sorot persahabatan yang kuat. (bersambung)

LIPSUS