Cari Berita

Breaking News

Melayarkan Kata di Kedalaman Sungai, Memintal Duka dalam Imaji

Selasa, 15 November 2022



Epilog Oleh Wannofri Samry



Berbagai ragam ekspresi dan cara orang dalam menyampaikan rasa duka. Satu kesamaan yang dilakukan oleh Masyarakat Nusantara adalah dengan ungkapan “kabar baik berhimbauan dan kabar buruk berhamburan”. Begitu ungkapan yang kita warisi. Jadi, bila ada peristiwa duka biasanya masyarakat akan sukarela dan ikhlas untuk ikut melayat dan membantu. Ada atau tidak ada ikatan kerabat, kedukaan selalu mengundang jiwa setiap orang untuk ikut hadir bersama kedukaan itu. Baik hadir secara fisik maupun hadir secara batin.

Satu berita duka yang mengejutkan adalah musibah yang terjadi pada Emmeril Kahn Mumtadz alias Eril, putra Gubernur Jawa Barat di Aare River Swiss, pada tanggal 27 Mei 2022. Dia ditemukan meninggal di bendungan Engehalde, Bern. Peristiwa meninggalnya Emmeril menjadi perhatian kemanusiaan banyak orang, terutama Indonesia dan Swiss. Peristiwa ini telah meng-undang, setidaknya warga negara Indonesia untuk menelusuri kondisi Sungai Aare. Beberapa tayangan di youtube pun muncul. Menampilkan berbagai kondisi dari sungai tersebut dan kebiasaan-kebiasaan warga Swiss pada musim panas di sekitar sungai. Diketahui, Aare adalah sungai terpanjang di Swiss, yaitu 295 km, yang muaranya ada pada Gletser Aare, Pengunungan Alpen Bernese, Swiss. Sungai Aare sebenarnya anak dari sungai Rhine, sungai terbesar di Eropa, yang mengalir pada beberapa negara.
Sungai Aare yang sangat indah, satu warisan dunia tak benda. Tempat bermain di musim panas, tempat area arung jeram. Bagi para penduduk lokal penuh makna.
Bukan saja karena sungainya yang bersih, namun juga sebagai warisan sejarah sejak abad sebelumnya. Jadi, daya tarik Sungai Aare memang menyimpan berbagai dimensi yang bisa dimaknai bagi setiap orang termasuk bagi para seniman dan penyair.

Kekayaan sungai Aare telah menimbulkan perspektif yang beragam mengenai tragedi Eril. Karena itu penyair lebih leluasa dan mampu masuk ke dalam ruang-ruang imaji yang tak terduga. Ada yang melihat dari sisi tragis, rindu orang tua, sakit-perih karena kehilangan anak tersayang, keilahian dan yang tak kalah menarik adalah perspektif seorang perempuan serta keibuan. Puisi-puisi itu menjadi hidup dan bermakna sehingga melampau tragedi itu sendiri.

Ada penyair yang mencoba membaca tragedi dari sisi keelokan Sungai Aare yang seperti magnet dan menarik batin dan raga para pengunjung. Pengunjung Sungai Aare menyatakan ketakjubannya dengan berenang di arus air yang deras dan biru. Bagi penyair, ketakjubannya membuatnya berenang dalam “sungai puitika”, mengalir bersama kata-kata dan frasa-frasa yang indah. Umpamanya karya Abrory Djabbar dalam puisi “Aare” diungkapkan:

Sungai itu hijau tosca
Mataku terpana menatap alirannya
Jauh dari hulu pegunungan Alpen
ia meliuk berdansa
Sungai itu hijau tosca
Dari atas jembatan di Interlaken
aku menyapanya
Ia menoleh dan tersenyum
Begitu menggoda
Ah,
Seru sekali
aku ingin sekali terjun berenang
menikmatinya
Aare
Kau begitu jelita
Riangmu gadis remaja saat tertawa
Desember itu
salju bertumpuk
udara memeluk
Aku melayari Aare
hingga ke danau hening berbatas hutan
Terhenti kusebut namamu
Berlinang air mata
( O Pengembara,
Kau paham
Bahwa Rindu tak bisa pergi,
Tak pernah hilang dan tenggelam
Ia hanya sembunyi
menantimu di sana)

Abrory sebagai penyair seakan dekat sekali dengan Sungai Aare, keelokan, keindahan dan kesunyian yang tidak bisa membawanya pergi, ia ingin tetap di sana.
Pada bahagian akhir dari puisi ini Abrory mencoba menghubungkan dengan tragedi hilangnya Eril. Penyair ini mencoba memasuki keluarga duka yang selalu menunggu anaknya di Sungai Aare, yang seakan tidak percaya bahwa kemalangan itu menimpa.

Ketakjuban juga terlihat dari puisi Isbedy Stiawan ZS  "Sungai Ini Tak Akan Berhenti":

sungai ini tak akan berhenti
hanya di arus airnya; sebab kita
telah mencatat. biarpun perih
maupun riang
sungai ini tetaplah sungai. deru
airnya, elok tubuhnya. kita telah
basuh tubuh di sana. di dingin
ataupun lebih dari itu

Isbedy melihat ada duka yang mengalir bersama sungai, seperti sungai yang tetap mengalir, duka itu juga terus akan mengalir. Tragedi yang telah terjadi tak mungkin diubah, ia akan abadi di situ. Jadi, pada satu sisi memang harus disikapi secara rasional. Walaupun tragedi dan rindu dan duka tetap mengalir di Aare, namun sesorang, peduka bisa saja menyadari bahwa duka tak mungkin dikuti terus, karena ia akan terus membawa “kita” ke arusnya yang tetap mengalir.

Menurut Isbedy, “biarpun jauh pergi/ sungai ini tetap menyimpan namamu dalam arusnya.”

Tragedi Eril di Sungai Aare bukan hanya mengungkapkan keprihatinan tetapi lebih banyak penyair melihat dari sisi Ketuhanan. Ia menjadi perenungan keyakinan bahwa semua akan kembali kepadanya. Ada kesadaran yang melampaui keduniawian kita.
Tuhan adalah Maha Kuasa, di balik segalanya di alami ini yang menentukan adalah Tuhan dan manusia adalah ciptaan Tuhan dan kembalinya pun kepada Yang Maha Kuasa tersebut. Beberapa puisi yang dikaitkan dengan yang Maha Kuasa bisa dibaca dari puisi-puisi Ewith Bahar (Tempat Pulang Yang Sempurna), Pria Takari Utama (Sebening Air Aare), Mahfud Aly (Deras Arus Air Sungai Aare), Kurnia Effendi (Di Sungai Itu), Oce Satria (Pada Hari Engkau Diambil), Gusma (Aare dan Duka Kami), Adri Sandra (Sungai Kota Tua), Eddy Pranata PNP (Di Bendungan Engehalde), Denting Kemuning (Waktu), Atek Muslih Hati (Selamat Jalan Nanda Eril dan Kepergianmu), Emy Sui (Di Tubuh Aare, Eril Tiada), Alina Sukesi (Doa Untuk Eril), Hendra Idris (Aare Bermata Biru), Ence Sumirat (Membaca Aare), dan Mohammad Iskandar (Di Bawah Tanah Cimaung).

Setiap kematian lebih banyak membawa kita kepada masa depan yang gaib dan keheningan yang susah untuk diekspresikan, ini sering dilukiskan oleh penyair pada kedalaman puisi. Suatu hal yang menuntaskan pikiran dalam menyaksian kematian adalah keillahian, kepastian untuk kembali menghadap Sang Khalik.

Kematian adalah kepastian masa depan. Namun kepastian masa depan itu juga diiringi kengerian dan ketakutan. Itulah yang diungkapkan banyak penyair, ter-masuk dalam kumpulan ini. Kata penyair “Pada hari engkau tiada, kami ingin meniada dari luka dan sesal fana, menyusulmu Tapi, apakah kami sanggup berangkat tanpa bekal?” (Oce Satria, Pada Hari Engkau Diambil).

Puisi-puisi yang berkaitan dengan ayah dan ibu bisa kita baca antara lain pada puisi Ewith Bahar, (Seorang Ayah di Bibir Sungai), Akmal Nasery Basyral (Eril), Linda Djalil (Pergilah Jiwa Yang Tenang ke Tempat yang Nyaman), Fitri Angraini (Hati Ibu), Feed Jurney (Monumen Cinta Ibu), Atek Muslik Hati (Selamat Jalan Nanda Eril), Denny JA (Sungai Itu Mengharumkanmu Eril), Ririe Angreini (Kekuatan Sepasang Doa di tepi Aare), Azizah Abdul Kadir (Aku Masih di Sini), Christya Dewi Eka (Aozora di Atas Aare), dan Mahfud Aly (Deras Arus Sungai Aare).

Setelah disimak puisi-puisi yang ada dalam kumpulan ini maka terlihat betapa perempuan susah dipisahkan dengan rasa keibuan. Ucapan seorang ibu itu terasa walaupun diungkapkan dengan kata-kata yang sederhana. Umpama dalam kalimat “katakan pada Mama, apa warna air tempatmu berada” (Christya Dewi Eka). Ini sungguh ucapan sayang seorang ibu kepada anak ketika sang anak sedang dalam musibah. Begitu juga dalam puisi Fitri Angraini berikut:

kalau hati ibu terbuat
dari baja, akan lebur juga
ketika anak meninggalkan
di tepi aare ini, ingin dikuatkan
hati sekokoh baja
setegak gununggunung julang
tapi, luluh juga. meleleh
dan lebur juga” (Fitri Angraini, Hati Ibu).

Bagi Fitri, ibu adalah manusia kuat.            Berbeda dari perspektif umum masyarakat bahwa perempuan pada satu sisi dianggap lemah. Namun sekuat ibu dalam menanggung beban dunia lebur juga ketika anaknya diambil Sang Pencipta.

Perempuan tidak hanya mengikuti rasanya sebagai seorang ibu. Namun, ia juga bisa merasakan bagaimana dukanya seorang ayah. Itulah yang diungkapkan oleh Ewith Bahar.“Seorang ayah di bibir sungai/Kehilangan jejak, mencari sebuah alamat” (Ewith Bahar, Seorang Ayah di Bibir Sungai). Hampir sama dengan ekspresi Denny JA bahwa ia melirik dalam jiwa seorang ibu. “Ketika air mata pertama  ibumu menetes kehilanganmu, aku serasa menjadi air mata itu, ingin mengalir sejauhnya agar sampai pada jasadmu.”    (Denny JA).

Pada kumpulan ini “kita” juga bisa menemu-kan kedalaman dari suasana kejiwaan, ekspresi dan pikiran. Walaupun karya-karya ini muncul dari keterkejutan terhadap peristiwa kematian Eril. Namun, bukan saja melekat pada peristiwa itu, tapi melahirkan sajak-sajak yang hidup dan bisa menembus ruang dan waktu. Sangat banyak puisi-puisi yang dalam dan menarik dari kumpulan ini dan tentu memerlukan telaahan yang mendalam.
Satu puisi yang menarik dan dituliskan jauh dari Eropa. Yaitu di sebuah desa di Minagkabau ditulis oleh penyair Adri Sandra dengan judul Sungai di Kota Tua. Inilah keuntungan zaman internet kini. Seorang pengarang dengan cepat bisa mempelajari dan mendalami suatu tempat yang mungkin dia belum pernah pergi ke sana, namun bisa mengemas karya seakan sudah ada di sana. Idiom-idiom puisi ini membawa pembaca pada imajinasi lain tentang duka dan tragedi Sungai Aare. Begini Adri Sandra menulis:

siapakah yang menyaksikan sehelai daun gugur, tenggelam dalam mata burung Swift? di hadapan kota tua Bern dan sungai biru kristal lengkung kepaknya seperti bulan sabit, turun dari hijau hutan pegunungan Alpen, terjangkar di kaca-kaca gedung kota  barangkali, desah hujan dari jauh memudarkan pandangan (….….)
bulan hitam memancar di uap buihmu
kami tak melihat hujan sampai di sini
selain gerimis membasahi bulu-bulu
burung Swift, miang memisah dari kelopak tebu dan mendung tempat duka berteduh (…)”

Dalam puisi Adri Sandra ini, pembaca tidak hanya dibawa pada dunia sederhana dan arkaik, namun pada dunia lain di luar dunia yang sebenarnya. Penyair seakan mencoba menawarkan suasana duka dalam perspektif puitik. Ia membentuk dunia baru dalam puisi, yang tentu tidak sekedar mencatat peristiwa dan membentuknya menjadi frasa-frasa. Saya pikir suasana kedalaman puitik juga ditemukan dalam beberapa puisi, seperti dalam karya Handrawan Nadesul: “Kini hanya kulihat sehelai daun jatuh, jauh dari tanganku”.

Sebagai penutup saya ingin menyampaikan bahwa buku kumpulan puisi tentang Eril ini, hakikatnya adalah bagian dari keikutsertaan ketika duka, berhamburan bersama untuk menunjukkan putih hati “kita” dengan karya bersama. Tentu tragedi ini semakin menumbuhkan rasa cinta sesama manusia, walaupun duka itu abadi adanya.

Sesungguhnya dalam kumpulan karya ini para penyair telah menunjukkan cintanya yang abadi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh penyair Giyanto Subagio, Eril tenggelam dan hilang, tapi cintanya abadi di dasar sungai Aare (“Sungai Aare”).



*) Wannofri Samry, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang. Pendidikan S3 ia selesaikan di Pusat Kajian Sejarah, Politik, dan Strategi Universitas Kebangsaaj Malaysia (UKM) pada 2013. 
Tulisan ini merupakan epilog dari Antologi Puisi Kilau Sungai, Lelap Tidurmu... Eril, dalam puisi-puisi penyair Indonesia,  Penyusun Pria Takari Utama, penerbit Pustaka Pratamadia, Agustus 2022. 

LIPSUS