Cari Berita

Breaking News

Selamat Jalan Ibu (In Memoriam Prof Dr Edi Sedyawati)

Sabtu, 12 November 2022


Oleh Maman S. Mahayana


SELEPAS subuh, Sabtu, 12 November 2022, berita duka itu datang: Prof Dr Edi Sedyawati, berpulang. Inna lilahi wa inna ilaihi rojiun. Dan pagi itu, berbagai grup WhatsApp, juga facebook, menyebarkan berita kepulangannya. 
       
Secara pribadi, saya tak dekat dengan Ibu Edi. Tetapi, dalam beberapa kegiatan, kami kerap terlibat obrolan berbagai hal. Saya sangat menghormati sosok pribadinya: pada ketenangannya dalam berbincang dan bertutur sapa, pada kedalamannya sebagai ilmuwan, dan pada cara emongnya sebagai senior. Citranya sebagai perempuan Jawa yang anggun, teguh, dan mandiri adalah sisi lain dari respek saya kepadanya. Tetapi, lebih daripada itu, jika kebetulan kami jumpa entah di mana pun, Ibu Edi selalu menampilkan keramahan dan kebaikannya. Dua sikap itulah yang menjadikan respek saya kepadanya tidak pernah surut.
       
Terlalu banyak catatan atas kiprahnya: sebagai arkeolog, penari dan ahli tari, seniman, dan entah apa lagi. Dan saya tetap mengenangnya sebagai orang ramah dan baik hati.
 
Sebagai penyair, ada catatan kecil saya atas beberapa puisinya yang terhimpun dalam antologi Senandoeng Radja Ketjil (Jakarta: Kosa Kata Kita, 2010, viii + 248 halaman). Berikut saya tampilkan lagi di sini sebagai bahan ingatan kita. Selamat Jalan Ibu Edi ...

***

       Edy Sedyawati menyertakan sepuluh puisi, beberapa di antaranya berupa puisi-puisi pendek.  Dibandingkan dengan kebanyakan penyair lain, penyair ini, setidak-tidaknya berdasarkan ke-10 puisi yang terhimpun dalam antologi ini, sebagian besar menempatkan posisi aku lirik cenderung dalam hubungan subjek—objek dalam wilayah makrokosmos. Oleh karena itu, kita tidak melihat problem aku lirik dalam konteks hubungan sosial. Bahkan, pertalian aku—engkau, yang dalam kebanyakan puisi penyair lain sebagai engkau yang terkasih (suami—istri, kekasih, pacar gelap, sahabat, ayah-ibu, atau ibu—anak), dalam puisi-puisi Sedyawati—kecuali puisinya yang berjudul “Serpih Kaca” lebih terasa sebagai pertalian yang intens dengan jagat alam. Atau, jagat alam (makrokosmos) sengaja dihadirkan untuk menyembunyikan jagat kecil (mikrokosmos). Ada semacam jarak menempatkan posisi aku lirik sebagai subjek dan engkau alam sebagai objek. Demikian juga, saya tidak menangkap adanya percintaan atau kerinduan aku—Engkau dalam hubungan vertikal: manusia dan Sang Khalik. Maka, hasrat membuncah ingin jumpa, rindu suasana ketika mengalami ekstase, tenggelam dalam manunggal ing kawula-gusti, atau takjub atas kebesaran-Nya, tidak kita temukan dalam puisi-puisinya.
        
Tentu saja pilihan atas tema-tema itu adalah perkara kebebasan penyair. Demikian juga, cara pengucapan apa pun yang digunakan penyair adalah wilayah kekuasaannya. Tetapi, jika kita percaya bahwa sastra (: puisi) lahir dari sebuah gebalau dahsyat sastrawan ketika berhadapan dengan satu atau serangkaian peristiwa, takjub memandang alam, rindu bercinta atau sebaliknya, hendak melakukan pertengkaran dengan Tuhan, bahkan konflik dengan dirinya sendiri, maka pilihan tema yang diangkat penyair ini boleh jadi merupakan representasi dirinya yang merasa lebih dekat dengan alam daripada dengan dunia lain di luar itu. Jika begitu, apa maknanya puisi-puisi semacam itu bagi kita, pembaca, bahkan bagi kehidupan sosial kita?
         
Di situlah uniknya puisi. Tema apa pun yang diangkat penyair, lantaran ia tak terlepas dari persoalan makhluk manusia, bahkan juga lantaran itu merupakan bentuk komunikasi manusia, maka selalu saja ada cantelannya dengan kehidupan sosial. Alih-alih, puisi (yang baik) sebagai wilayah medan tafsir, memberi banyak kemungkinan memunculkan berbagai makna. Dengan demikian, puisi dengan tema apa pun, senantiasa menawarkan sesuatu. Maka, kembali, puisi sesungguhnya menyimpan mukjizatnya sendiri. Persoalannya tinggal, sejauh mana kita, pembaca, membuka diri menerimanya untuk menciptakan sebuah komunikasi yang baik, melakukan dialog dengan teks yang menawarkan begitu banyak ruang kosong yang dapat kita masuki, dan memberi apresiasi terhadapnya secara sepatutnya.
        
Mari kita cermati puisinya yang berjudul “Perjalanan Malam.”

bulan seujung kuku
merambat di langit berkabut
mengiringi perjalanan menembus malam
di sepanjang pegunungan dan jalan raya

bulan seujung kuku
turut memeram rinduku
yang berkepanjangan
dan mengering di ujung ngarai

Perhatikanlah citraan penglihatan yang dihadirkan di sana: bulan seujung kuku/ merambat di langit berkabut. Bulan yang melengkung kecil, tampak bergerak perlahan di antara kabut (awan). Puisi-puisi pendek memang memerlukan citraan yang kuat, jika tidak, ia akan gagal menghidupkan saklar imajinasi pembaca untuk membayang apa yang tertulis pada teks. Dalam banyak puisi, pemanfaatan bulan untuk menghadirkan citraan penglihatan atau penciptaan suasana, memang efektif. Ingat saja puisi Sitor Situmorang tentang “Malam Lebaran”: Bulan di atas kuburan// atau puisi Zawawi Imron: Bulan tertusuk ilalang//. 
      
Meski judul puisi itu “Perjalanan Malam” mempertimbangkan pemanfaatan persajakan dalam larik: perjalanan-malam (bandingkan dengan: malam-lebaran; bulan-kuburan; bulan-ilalang, atau haiku Jepang yang banyak dijadikan contoh kasus: katak-melompat), keseluruhan larik dalam puisi itu, lebih mengandalkan pada usaha penciptaan citraan. Tokh, dengan begitu, penciptaan citraan penglihatan dan penghadiran suasana, tetap kuat mengajak asosiasi pembaca membayangkan apa yang tertulis dalam teks.
       
Lalu, pesan apa yang terkandung di dalamnya? Oh, ternyata penyair hendak menegaskan, bahwa suasana temaram itu sesaat sempat menghadirkan kembali kerinduannya pada sesuatu, seseorang atau entah pada apa. Tetapi kerinduan panjang itu sesungguhnya sudah sejak lama tumpas, lantaran si aku lirik kerap berhadapan dengan kecemasan. Dalam bahasa psikologi, boleh jadi, si aku lirik seperti dihantui trauma, dan oleh karena itu, tak perlu memperpanjang kerinduan, jika yang dihadapi hanya kecemasan.
      
Kembali: puisi sebagai ekspresi individual dengan tema yang sangat personal, tetap saja memancarkan makna lain, ketika kita mencantelkannya dengan problem manusia. Bukankah yang dihadapi si aku lirik yang traumatik itu, sesungguhnya potret manusia yang sering dihadapkan pada kecemasan mengulangi kegagalan yang sama lantaran dulu pernah mengalami kegagalan? Meskipun kini atau di masa mendatang, kegagalan itu belum tentu terjadi lagi, setidak-tidaknya, bersikap lebih hati-hati, jauh lebih baik ketika seseorang melakukan pilihan atas kasus yang sama. Persoalannya tinggal: membenamkan kecemasan itu dengan risiko mengalam kegagalan lagi, atau memilih langkah paling aman, dengan tetap memelihara trauma itu.
       
Begitulah, puisi pendek itu sesungguhnya menyimpan persoalan besar tentang problem manusia traumatik. Tafsir ini, agaknya punya alasan lain, ketika kita coba mencermati puisi berjudul: “Serpih Kaca” berikut ini:

serpih-serpih kaca
di atas tilam
menolakku
untuk berbaring

biduk hatiku
telah tertambat
di bandar yang karam

Dengan kualitas citraan pecahan kaca yang tersebar di ranjang, di tilam atau di mana  pun, tentu saja siapa pun akan menolak tidur, telentang, atau berbaring di sana. Ternyata, penolakan itu sekadar simbol, sebab sudah sejak lama, si aku lirik menenggelamkan sedalam-dalamnya hasratnya itu. Dengan demikian, trauma sebagaimana yang dapat kita baca pada “Perjalanan Malam”, bukan sengaja hendak dipelihara, melainkan sudah menjadi sikap untuk mengubur masa lalu di tempat paling sempurna (bandar yang karam). Jadi, mengapa harus (coba) menghidupkan masa lalu, jika masa depan masih terbentang panjang?

Boleh jadi begitu!


*) Maman S. Mahayana, kritikus Indonesia dan pengajar di FIB Universitas Indonesia, dan Ketua Yayasan Hari Puisi Indonesia 

LIPSUS