Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 335)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Kamis, 01 Desember 2022


Oleh, Dalem Tehang


KENAPA tertawa, dan. Ada yang aneh ya dari omonganku?” tanyaku, penasaran.


“Nggak ada yang aneh sih, pak. Cuma baru kali ini aku ketemu tahanan yang katanya patuh dan taat sama apa kata pimpinan rutan, tapi minta dia buat nindak anak buahnya yang kasih angin surga. Kalau nurut aku, pak Mario bukan nerima keputusan, tetapi ngajak bargaining. Tetep nunjukin tahanan yang nggak mau diperlakuin seenaknya,” tutur komandan, masih dengan tertawa.


“Ya kan emang nggak boleh tahanan diperlakuin seenaknya, dan. Kalau pimpinan rutan sampai ngancam atau neken-neken, aku pasti lapor juga ke atasannya,” kataku, sambil tersenyum.


“Inilah aku senengnya sama pak Mario. Tahu bener kapan bersikap lentur, ngalah, merendah, bahkan kayak nggak ngerti apa-apa, tapi juga paham kapan mesti nunjukin taring. Yang kayak gini nggak bakal dikerjain orang, nggak juga ditakuti orang, tapi disegeni banyak orang,” ucap komandan, dan menyalamiku.


“Kan komandan yang ngajari. Bagus-bagus bawa dan jaga diri disini. Yang kelihatan baik, belum tentu berniat baik. Yang kelihatan jahat, juga belum tentu mau berbuat jahat. Yah, akhirnya ngebuatku kayak layangan aja, dan. Ngikuti arah angin,” sambutku, seraya tertawa.


Kembali komandan pengamanan rutan tertawa. Pembicaraan pun bergeser ke masalah-masalah lain. Beberapa orang sipir masuk ke dalam ruangan pos penjagaan dalam. 


Perbincangan pun menjadi melebar. Bahkan penuh canda tawa dalam suasana kekeluargaan yang kental. Setelah hampir satu jam bercengkrama disana, aku pun berpamitan. Kembali ke kamar. 


Sarapan nasi uduk telah disiapkan Rudy di meja ruang depan. Juga secangkir kopi pahit, dan satu gelas air putih. Aku melihat, dia tengah bermain tenis meja di depan kamar 25. 


Sambil sarapan sendirian, pikiranku terus melayang. Membawa alur berbagai kemungkinan yang akan aku hadapi, terkait keputusan pimpinan rutan untuk aku segera pindah kamar. 


Jiwaku pun resah gelisah. Kesabaranku menjadi terusik. Berbagai pendapat orang, bila sabar itu ada batasnya, seakan membuncah. Menggerakkanku untuk melakukan perlawanan bila diperlakukan tidak selazimnya. 


Namun, batinku mengingatkan, jika Tuhan telah menyatakan di dalam Alqur’an surah Az-Zumar ayat 10: Sesungguhnya, hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.


Pikiranku kembali mengingat sebuah pelajaran. Dalam hal bertoleransi, jadilah seperti laut. Berlapang dada seluas-luasnya dan siap menampung pandangan atau sikap yang berbeda dengan tetap berpegang teguh kepada keyakinan.


“Sarapan kok sambil ngelamun sih, be,” sebuah suara membuyarkan lamunanku. Ternyata pak Edi yang bicara dan telah berdiri di balik jeruji besi sambil tersenyum.


“Emang lagi ada yang jadi pikiranku, pak. Sini masuk,” sahutku, pendek.


“Ada apa emangnya, be. Coba cerita, siapa tahu kita bisa sharing,” kata pak Edi, setelah duduk di kursi sebelahku.


Karena sudah mengenal pak Edi sejak pertama kali masuk sel di polres, bahkan saat itu ia menjadi kapten kamar, dan aku menggantikannya ketika ia pelimpahan kasusnya dan ditahan di rutan, tanpa segan aku pun menceritakan persoalan yang tengah aku hadapi.


Seusai mendengar ceritaku, pak Edi tersenyum. Sebuah senyum yang menurutku, menyimpan misteri. 


“Kok senyumnya kayak gitu, pak Edi?” tanyaku.


“Babe inget nggak. Dulu kan aku pernah cerita. Sebelum babe masuk kamar ini, aku sudah duluan disini. Ya sama kayak babe, bayarnya nggak sedikit. Tapi, sebulan disini, aku sudah nggak betah. Sebenernya sih, emang dibuat biar nggak betah. Akhirnya minta pindah. Kalau babe hampir tiga bulan bertahan. Sudah bagus. Dan waktu itu, aku juga sudah sampein ke babe, pasti ada aja cara buat nyingkirin babe dari kamar ini,” tutur pak Edi, panjang lebar. 


“Iya, aku inget cerita pak Edi waktu itu. Tapi, kalau pak Edi kan karena permainan Basri dan Dino, akhirnya nggak betah dan milih pindah kamar. Kalau aku, karena ada ketentuan yang belum jadi napi nggak boleh di kamar ini. Beda kasusnya,” tanggapku.


“Sudahlah, be. Nggak usah didebatin soal alasannya ya. Intinya, kalau Basri dan Dino pengaruhi bos di rutan agar kita dipindah, ya ada aja caranya. Masih bagus babe diajak ngomong, dikasih tahu dulu. Berarti, mereka masih ngehargai. Kalau aku waktu itu, mau dipindah gitu aja. Kebetulan ada tamping regis yang nyampein, jadi buru-buru aku ke kantor dan minta pindah duluan, sekaligus milih kamar,” lanjut pak Edi. 


“Jadi tetep Basri sama Dino itulah biang masalahnya ya, pak. Semua yang tinggal sama mereka di kamar ini dibuat nggak betah itu,” ujarku, menimpali.


“Kalau berdasar pengalamanku ya gitu, be. Karena selama aku disini, nggak mau aku keluar uang sama sekali buat urusan kamar. Apalagi kalau mereka minta dengan alasan ini-itu, nggak pernah aku kasih,” kata pak Edi lagi.


“Ya samalah, pak. Aku juga selama ini nggak pernah mau keluar uang sama urusan mereka. Ngapain juga,” sahutku, dengan cepat.


“Itu masalahnya, be. Berarti kita berdua sama. Basri dan Dino nggak dapet manfaat dari kita buat kepentingan mereka. Padahal, mereka itu dapet uang banyak lo ngelola blok ini. Mulai dari uang kunci, uang air, uang pindah kamar, sampai uang hp, kan mereka yang tangani. Jutaan mereka dapet tiap bulannya. Tapi masih aja pengen ngejejek kawan sekamarnya. Susah emang kalau ketemu orang serakah itu, be,” urai pak Edi.


“Jadi nurut pak Edi, aku harus gimana?” tanyaku, dengan serius.


“Terima keputusan ini. Pindah kamar aja. Kalau bisa, secepetnya. Nggak apa-apa kok. Tetep minta di blok ini, dan pilih kamar sendiri. Soal rencana mau minta pimpinan rutan kasih sanksi ke pegawai yang janjiian babe itu, terusin aja. Sudah kepalang tanggung,” jawab pak Edi.  


Setelah menaruh segelas air mineral buat pak Edi, aku tinggal ia yang masih duduk di ruang depan sambil menikmati rokoknya, untuk mandi. Selepasnya, kami melanjutkan perbincangan di taman depan kamarku.     


Di saat kami masih bercengkrama, seorang tamping datang. Memberitahu jika aku dipanggil pegawai penanggungjawab Blok B. Di tunggu di ruangannya, di kantor rutan. 


Seusai berganti kaos yang ada tulisan WBP-nya, memakai celana panjang jeans belel, dan bertopi, aku pun mengikuti langkah tamping yang menyusulku. (bersambung)

LIPSUS