Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 336)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Jumat, 02 Desember 2022


Oleh, Dalem Tehang


BISMILLAH, be. Tetep pede tapi slow aja,” ujar pak Edi, saat aku berpamitan. 


“Siap. Terimakasih support-nya, pak,” jawabku, pendek.  


Ketika aku keluar dari pos penjagaan luar setelah melapor, pegawai penanggungjawab Blok B telah berdiri di teras kantor rutan. Ia langsung mengajakku memasuki ruangan P-2-O dan menemui kepala rutan.


Ruangan kepala rutan yang demikan sejuk karena menggunakan AC, tetap tidak bisa mendinginkan hati dan pikiranku. Beragam rasa dan kekesalan mengendap. Seakan siap untuk tercuatkan. Namun, dengan gaya yang nguwongke dan nada perkataan yang lembut, kepala rutan mampu mendinginkan pikiran dan hatiku.


Dengan panjang lebar, kepala rutan menjelaskan persoalan yang memaksaku harus pindah kamar, dengan cara yang santun dan elegan. 


Ia pun menunjukkan dan memberiku kesempatan untuk membaca sendiri surat keputusan menteri mengenai penempatan tahanan. Isinya sangat detail. Dan memang, tahanan yang masih dalam masa persidangan tidak diperbolehkan menempati sel terbuka. 


“Jadi begitu, pak Mario. Saya jalankan ini semua karena perintah pimpinan. Dan pasti dipantau. Untuk selanjutnya, silakan bapak memilih kamar yang diinginkan,” ujar kepala rutan.


“Bagaimana dengan pegawai yang menjanjikan saya bisa di kamar terbuka hingga persidangan selesai, pak?” tanyaku, dengan suara bergetar.


“Tentu akan kami sanksi, pak. Apalagi saya dengar, dia meminta uang cukup besar kepada istri pak Mario,” jawab kepala rutan. Ada nada ketegasan disana. 


“Kalau boleh tahu, sanksinya kira-kira apa, pak?” tanyaku lagi. Penasaran.


“Minimal dipindah tempat tugasnya dari yang sekarang. Nanti kami susun formasinya. Yang pasti, akan dijauhkan dari segala kegiatan yang bersentuhan dengan tahanan,” kata dia lanjut.


“Terimakasih atas ketegasannya, pak. Saya harap, bisa cepat direalisasikan sanksi tersebut. Tentu, saya akan pantau juga,” tanggapku, sambil terus meredakan jiwa yang sesekali masih ada pergolakan.


“Tentu akan segera dilaksanakan apa yang sudah saya sampaikan. Kalau kita sudah sepakat, saya ingin tanya, pak Mario mau pindah ke kamar berapa? Agar bisa segera dieksekusi,” ujar kepala rutan, menatapku dengan pandangan serius.


“Ke kamar 30, pak. Kalau bisa, sore nanti sudah dieksekusi. Karena besok, saya akan sidang lagi,” sahutku, dengan cepat.


“Kenapa kamar 30, om?” tanya pegawai penanggungjawab Blok B, sambil menatapku.


“Nggak alasan apa-apa sih, pak. Kan sebelumnya di kamar 20, sekarang pindahnya ke 30. Lebih enak aja ngingetnya,” jawabku, santai.


“Kamar 30 itu saat ini isinya 11 orang, dengan beragam kasus. Mulai narkoba, debt collector, pemalsuan izin edar bahan makanan, pencabulan, sampai pencopet. Apa nanti om nggak kesulitan adaptasinya,” kata pegawai penanggungjawab Blok B, dengan terus menatapku.   


“Inshaallah, nggak sulit, pak. Mereka juga kan sama-sama manusia. Wong, ratusan makhluk halus di rutan ini aja sudah berkawan kok denganku,” sambutku, seraya tersenyum. Enteng.


Kepala rutan dan pegawai penanggungjawab Blok B ikut tersenyum. Mereka memahami, jika gaya bicaraku yang bercanda adalah ekspresi kekecewaan yang terbentur oleh sebuah ketentuan. Dan senang tidak senang, seorang tahanan wajib mengikuti apapun yang menjadi keputusan pihak pengelola rutan. 


Sekitar satu jam aku berada di ruang kerja kepala rutan. Banyak hal lain yang diperbincangkan bertiga. Juga disuguhi minuman dan makanan ringan. Suasananya frendly. 


Wajah sangar kepala rutan, ternyata, tidak senada dengan pembawaannya. Bahkan pegawai penanggungjawab Blok B yang berwajah manis, selama ini dikenal galak dan pemarah. 


Keluar dari ruang kepala rutan, aku menemui komandan pengamanan yang menjadi sahabatku. Yang masih berada di pos penjagaan dalam. Aku sampaikan semua hasil pembicaraan kami.


“Ya sudah kalau semuanya sepakat, pak. Cuma di kamar 30 itu, ada nggak yang pak Mario kenal,” tanggap komandan, sambil menatapku.


“Nggak ada, dan. Kalau wajah, iyalah pasti ngenali. Namanya satu blok, apalagi satu deretan posisi kamarnya. Aku yakin, nggak ada kendala nantinya,” ucapku, dengan santai.


Seusai berdiskusi beberapa saat, aku pamitan untuk kembali ke kamar. Saat memasuki ruang sel, Rudy tengah mengepel lantai. Buru-buru aku keluar lagi. Menunggu lantai kering. Duduk di taman depan kamar.


Ketika mataku melihat ke kamar 19, tampak pak Sibli dan pak Anas berdiri di jeruji besi sambil memandangku. Keduanya tersenyum saat mengetahui aku melihat mereka. Aku pun bergerak. Mendekat dan menyalami mereka. Menanyakan kabar. 


“Alhamdulillah, kami semua sehat, bang. Abang sehat terus ya,” sahut pak Sibli, dengan cerianya.


“Alhamdulillah, aku juga terus sehat. Itulah nikmat utama yang diberikan Tuhan,” sahutku, seraya tersenyum. 


Rudy memanggilku. Memberitahu jika lantai telah kering. Aku berpamitan kepada pak Sibli dan pak Anas. Kembali ke kamar. 


Aku sampaikan rencana pindah kamarku kepada Rudy. OD kamarku itu hanya diam. Menundukkan kepala dan tampak ada kesedihan di hatinya.


“Nggak ada alasan buat sedih jugalah, Rud. Om kan cuma geser tempat tidur aja. 10 kamar dari sini,” kataku, dengan menatap wajah Rudy yang terus menunduk. 


“Ya emang sih, nggak jauh juga pindahnya om nanti. Tapi Rudy ngerasa kehilangan pastinya. Nggak ada yang ngingetin buat solat atau baca buku,” ujarnya, dengan suara bergetar.


“Santai aja, Rud. Kalau mau keluar blok, kan tetep lewat depan kamar ini. Om bisa mampir. Atau kamu bisa kapan aja nemuin om,” lanjutku, membesarkan hatinya. 


Karena tidak ingin berlama-lama terbawa hawa kesedihan Rudy, aku mengajaknya membantuku merapihkan berbagai barang pribadiku. 


Mulai pakaian, alat makan, peralatan mandi, hingga Alqur’an, buku-buku, dan banyak lagi lainnya. Semuanya aku susun ke dalam kantong plastik sesuai jenisnya. Khusus bingkai foto, berbagai obat dan vitamin, kacamata, dan jam tangan, aku masukkan di dalam tas kecil kainku.


Setelah barang-barang pribadi tertata apik, aku meminta Rudy membantu mengambil telepon seluler yang tersimpan di balik rak. Dan sesaat kemudian, aku hubungi istriku. Yang langsung ia angkat hp-nya dalam panggilan ketiga. (bersambung)

LIPSUS