Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 337)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Sabtu, 03 Desember 2022


Oleh, Dalem Tehang


PADA pembicaraan melalui video call tersebut, ku ceritakan pertemuanku dengan kepala rutan didampingi pegawai penanggungjawab blok, beberapa waktu sebeumnya. Juga keputusan yang aku ambil.


“Bismillah aja ya, ayah. Yakin kok bunda, tetep ada hikmah di balik semua ini. Yang penting, ayah tetep jaga kesehatan, terus sabar dan ikhlas. Bunda dan anak-anak selalu doain dan sayangi ayah,” kata istriku, seraya melepas senyum indahnya.


Ia mengingatkanku, pergeseran kamar bukanlah hal krusial, melainkan sesuatu yang biasa-biasa saja. Meski memang, aku harus melakukan adaptasi kembali dengan lingkungan yang baru.


“Anggep-anggep masuk ke lingkungan baru sebelum tempat lama kurang enak lagi. Malah bisa dapet suasana yang lain, yang mungkin lebih buat ayah nyaman,” kata istriku, tetap dengan tersenyum.


“Inshaallah, semuanya baik-baik aja ya, bunda. Ayah sih yakin, bisa adaptasi dengan cepet kok, mau seperti apa juga kondisi di kamar yang baru nanti,” sahutku, dengan percaya diri.


Suara adzan Dhuhur menjadi penghenti perbincanganku dengan istri. Kami sama-sama memahami, ketika panggilan untuk bersujud kepada Ilahi Rabbi berkumandang, semua aktivitas langsung dihentikan. Menghormati adzan dan melanjutkan dengan solat merupakan hal utama yang mesti segera dilaksanakan. 


Setelah menaruhkan kembali telepon seluler di balik rak, aku pun berwudhu. Diikuti Rudy. Selanjutnya berjalan bersama menuju masjid. Suasana Rumah Allah siang itu terasa lengang. Hanya sedikit penghuni rutan yang berjamaah. Termasuk anggota majelis taklim yang berjumlah sekitar 60-an orang, hanya belasan yang hadir di masjid. 


Aku tidak mengetahui, apakah ada dispensasi tidak wajib solat berjamaah bagi mereka pada hari Minggu. Ketika aku tanyakan kepada Rudy mengenai hal ini, ia pun hanya angkat bahu. Tidak tahu.


Selepas solat berjamaah, aku mengajak Rudy ke kantin. Mentraktirnya makan siang. Pada hari Minggu, kantin yang dikelola koperasi pegawai rutan, selalu menyediakan menu-menu spesial. Hari itu, tersedia berbagai masakan pepes dan pindang. 


Aku dan Rudy makan siang berlauk pindang baung dan pepes ikan belida. Nikmat sekali memang. Bahkan, kami sampai menambah nasi. Tentu harganya pun selangit. Empat kali lipat dibandingkan bayaran untuk makanan yang sama bila di luar rutan. 


“Alhamdulillah, enak bener makan siang ini, om. Selama di rutan, baru sekali ini makan pepes sama pindang. Cuma, mahalnya itu yang nggak ketulungan ya, om,” kata Rudy, ketika kami berjalan di selasar untuk kembali ke kamar.   


“Alhamdulillah aja, Rud. Jangan dipikirin harganya. Toh, masih bisa bayar. Disyukuri, kita masih bisa rasain makanan enak,” sahutku, sambil tersenyum.


Sesampai di kamar, aku merebahkan badan di lantai tempat tidur. Tanpa kasur dan alas apapun. Sambil menatap plafon kamar, pikiranku berputaran. Liar. Namun, akhirnya aku tertidur. Terasa ada lelah yang sangat. 


Aku terbangun menjelang adzan Ashar, dan langsung mandi. Dilanjutkan berangkat ke masjid, diikuti Rudy. Sekeluar dari solat berjamaah, aku melihat banyak WBP yang bermain volly. Aku pun tertarik untuk bergabung. 


Setelah menitipkan kain sarung dan kupluk kepada Rudy, aku bergabung dengan salah satu tim, dan bermain volly. Permainan petang itu semakin seru ketika hujan tumpah dari langit. Membuat kami kian bersemangat. Mengekspresikan indahnya menikmati kebebasan sesaat.   


Menjelang adzan Maghrib, baru kami menghentikan permainan olahraga tersebut, dan masing-masing kembali ke kamar. Karena pakaian basah kuyup, aku pun mandi lagi dan berganti kaos serta celana panjang. 


Dan setelah pakaian yang basah aku peras hingga setengah kering, ku masukkan ke dalam kantong plastik dan memasukkannya ke tempat pakaian kotor, yang ku tata rapih pada sebuah kantong plastik besar. Untuk dibawa pulang ke rumah, saat istriku melakukan kunjungan atau ku bawa ketika sidang besok.


“Kenapa dimasukin kantongan pakaian basahnya tadi, om. Biar Rudy bilas aja, kan baru dipakai juga. Belum kotor,” kata Rudy, saat melihatku menata dengan rapih pakaian yang ku pakai bermain volly dan hujan-hujanan digabungkan dengan pakaian kotor lainnya.


“Nggak apa-apa, biar dicuci di rumah aja, Rud. Selain biar jiwaku tetep ngerasa nyatu sama rumah, dengan cara ini istriku terus dapet pahala,” jawabku.


“Maksudnya kayak mana sih, om?” tanya Rudy, sambil menatapku.


“Seorang istri yang nyuciin pakaian suami itu, balasannya pahala lo, Rud,” ujarku.


“O gitu, beneran om?” tanya Rudy lagi, mengernyitkan dahinya.


“Ya beneranlah, Rud. Om pernah baca di sebuah buku, seorang ulama bernama Ibnu Mas’ud Ari bilang: ketika seorang istri mencucikan pakaian suaminya, Allah mencatat untuknya 1000 kebaikan dan mengampuni 1000 keburukannya. Meninggikan 1000 kali derajat untuknya dan semua barang yang berada di bawah sinar matahari, akan memohonkan ampunan untuknya. Begitu kata Ibnu Mas’ud Ari, dan om yakini kebenaran pernyataan beliau,” uraiku, sambil tersenyum. 


“Masyaallah, ternyata begitu banyak pahala istri cuma sekadar nyuciin baju suaminya aja ya, om,” tanggap Rudy, seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.


“Jangan bilang sekadar nyuciin baju gitu, Rud. Sekecil apapun atau seremeh apapun kelihatannya sebuah kebaikan, mesti kita hargai. Karena selalu ada pahala disana. Ada keagungan yang disiapkan Tuhan untuk yang melakukannya,” ujarku.


Adzan Maghrib menggema dengan kencangnya. Aku mengajak Rudy solat berjamaah di kamar. Baru saja kami selesai solat, seorang tamping regis masuk ke kamar. Memberitahu bila beberapa saat lagi aku akan pindah kamar. 


“Semua barang sudah siap diangkat kan, om. Tinggal kasur sama bantal guling aja ya,” kata Rudy, sambil menatapku.


“Iya, semua sudah masuk kantong plastik kok. Juga di tas om. Santai aja sih, Rud. Kayak om mau pergi kemana aja. Wong cuma pindah 10 kamar dari sini. Kalau pun ada yang ketinggalan, kan nggak jauh ngambilnya,” sahutku, seraya tersenyum.


Ketika adzan Isya terdengar, tamping regis dan seorang sipir mendatangi kamarku. Menunjukkan surat mutasi kamar. Dan selanjutnya, membantuku membawa barang-barang pribadi. Pindah ke kamar 30.  (bersambung)

LIPSUS