Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 338)

Dibaca : 0
 
Editor: Rizal
Minggu, 04 Desember 2022


Oleh, Dalem Tehang


RUDY ditemani seorang tamping lain, mengangkat kasurku. Yang memang besar dan berat. Beserta bantal dan gulingnya.


“Assalamualaikum,” kataku, ketika masuk ke kamar 30, dan langsung menyalami 11 penghuni kamar satu demi satu.


“Waalaikum salam. Om Mario tempatnya di atas. Kasurnya taruh di paling pinggir, nempel di tembok. Yang sebelumnya disana, geser sedikit ke tengah,” kata seorang pria berusia 45 tahunan yang aku tengarai sebagai kap kamar. 


Bersamaan dengan itu, seorang anak muda menanyakan dimana tempat untuk dia selanjutnya. Karena dengan masuknya aku, berarti ada satu yang harus turun dari lantai atas.


“Kamu di bawah, di deket lemari pakaian. Angkat kasur kamu kesana,” jelas pria berbadan besar dengan sorot mata tajam itu.


Setelah menaruhkan kasur, bantal, dan guling, Rudy beserta tamping yang membantunya, meninggalkan kamar 30. Pintu pun digembok. Aku diberi sebuah loker untuk menaruhkan pakaian. Berada di urutan paling atas dari lima loker yang berdiri tegak di sudut kamar bagian depan.


Acara perkenalan yang menjadi tradisi pun dimulai. Pria yang sejak awal aku tengarai sebagai kap kamar 30, ternyata memang pimpinan di kamar itu. Ia bernama Yasin.


Pria berambut gondrong ini terus terang mengaku, ia ada di dalam rutan karena tersandung kasus jual beli narkoba. 


Dan ini untuk kedua kalinya ia hidup di balik jeruji besi, setelah sempat menghirup udara bebas selama tiga bulan, seusai menjalani hukuman kasus pertamanya selama delapan tahun. Juga dalam jual beli narkoba.


Yasin memperkenalkan satu demi satu penghuni kamar beserta kasus yang melilitnya. Saat ia mengenalkan seorang pria berusia denganku, spontan aku terkejut. Ternyata pak Waras. Yang pernah sama-sama di kamar 8 penaling.


“O, pak Waras sudah disini ya? Sejak kapan?” tanyaku kepada pria yang tersangkut kasus perizinan produksi garam beryodium itu.


“Baru dua hari lalu, be. Rupanya aku dipindah kesini duluan buat nunggu babe masuk,” jawab pak Waras, seraya tertawa kecil.


Sebagai kap kamar, Yasin menyampaikan kewajiban bagi setiap penghuni sel tersebut. Masing-masing dalam satu pekan menyerahkan uang Rp 250 ribu untuk keperluan kamar dan penghuninya.


“Uang itu dipakai buat bayar uang kunci, uang air, uang pergantian penjaga, beli galon, dan catering. Semua tercatat dengan rapih oleh bendahara kamar. Nggak ada dusta di antara kita di kamar ini,” ucap Yasin, sambil menunjuk seorang pemuda berusia sekitar 26 tahunan yang menjadi bendahara kamar.


“Saya Anton, om,” kata bendahara kamar itu, sambil menganggukkan kepalanya ke arahku.


Seusai perkenalan, kami solat Isya berjamaah. Pak Waras menjadi imamnya. Memang tidak semua penghuni kamar melaksanakan solat, namun saat kami tengah menjalankan kewajiban seorang makhluk kepada Khaliqnya, mereka semua duduk dengan diam. 


Yasin memerintahkan tiga penghuni kamar untuk mengangkat semua kasur yang ada di lantai atas, disandarkan ke tembok. 


Tiga orang lainnya menyiapkan peralatan makan, dan satu orang yang bertugas sebagai OD menaruhkan dua tempat makanan dari catering dapur serta dua piring mie instan goreng. 


Juga terdapat tiga piring berisi nasi putih saja. Nasi cadong. Ditambah lauk beraneka jenis di dalam satu piring, yang merupakan lauk pada nasi cadong.


“Ayo, waktunya kita makan. Om Mario langsung ikut makan aja,” kata Yasin, setelah semua peralatan dan bahan makanan terhidangkan di lantai atas. 


Kami sebanyak 12 orang duduk berkerumun. Bak riungan. Makan besar bersama. Duduk berhimpitan, dan saling mengambil nasi serta lauknya dengan cara berebutan. 


Meski makan malam itu jauh dari mengenyangkan, namun kebersamaannya mempunyai nilai tersendiri. Selepas makan, semua bergantian ke kamar mandi. Mencuci piring dan gelas masing-masing. Dan menaruhkannya di tempat peralatan makan. 


Seusai kami makan bersama, dua orang penghuni kamar membersihkan lantai tempat makan. Menyapu dan mengepelnya. Dan menyusun kembali kasur-kasur yang sebelumnya disandarkan ke tembok. 


Selama lantai tempat tidur pada ruangan bagian dalam dibersihkan, kami duduk di ruang depan. Mayoritas menikmati rokok sebagai pelengkap dari makan malam. Selebihnya, berbincang ringan.  


“Anton, mulai besok pesen makan catering dapurnya tambah ya, jadi tiga. Kayaknya emang kurang banyak kalau bertahan di dua tempat aja,” ujar kap Yasin kepada bendahara kamar, Anton.


“Baiknya sih, empat cateringnya, kap. Jadi setiap tiga orang, makan dengan jatah satu tempat catering. Baru nggak ribut terus cacing di perut ini,” jawab Anton, sambil tertawa.


“Tapi, bisa ketutup nggak sama uang yang ada. Sampai sekarang aja, masih ada empat orang kan yang minggu ini belum bayar. Kalau nunggak bayar mingguannya kelewat banyak, repot juga kita semua. Masak iya, aku harus usulin pindah cuma gara-gara nggak bayar uang mingguan,” kata Yasin, dengan nada serius.


“Gimana kawan-kawan yang belum bayar minggu ini? Bisa nggak minggu besok langsung bayarnya buat dua minggu?” tanya Anton kepada empat penghuni kamar 30 yang belum membayar uang mingguan.


“Inshaallah aku bisa, Ton. Tadi sore sudah telepon istri, besok dia kesini,” jawab seorang pria berusia 35 tahunan yang sebelumnya diperkenalkan oleh Yasin, terlibat kasus pencopetan di sebuah pasar swalayan.


Tiga orang lainnya menyatakan akan segera menghubungi anggota keluarganya. Mendapat jawaban yang tidak berkepastian, Yasin menegaskan sikapnya, bila pembayaran uang kamar tidak dilakukan selama dua pekan berturut-turut, ia akan mengusulkan yang bersangkutan untuk dipindahkan dari kamar 30.


Mendapat ancaman semacam itu, spontan ketiga pria yang belum membayar uang mingguan, berubah wajahnya. Memucat. Dan tampak ada kegelisahan tersendiri pada jiwa mereka. 


Dan memang, biaya kehidupan di rutan lebih besar dibandingkan hidup di alam bebas. Ditambah sulit mendapatkan pemasukan selama menjalani pemenjaraan, akhirnya memaksa mayoritas tahanan membebani keluarganya. 


“Om Mario, inilah seninya ngurusin tahanan sama napi kelas receh. Kalau nggak sabar-sabar, juga nggak teges-teges, kita malahan yang dibuat susah sama mereka,” ujar kap Yasin, sambil memandangku, yang tengah duduk bersandar pintu kamar seraya menghisap sebatang rokok.


Aku hanya menganggukkan kepala sambil melepaskan sebuah senyuman. Benar kata istriku, lingkungan baru pasti akan membawa suasana dan situasi yang baru pula. Bahkan kian membuka mataku, betapa sulit mengemas penghuni rutan untuk bisa hidup selayaknya seorang manusia. Apalagi bisa merasakan kenyamanan. Sangatlah mustahil. (bersambung)

LIPSUS